Friday, December 04, 2015

Sudahlah, Husnudzon aja...

2




Jauhnya saya dari televisi dan jarangnya saya berinteraksi secara positif dengan internet sukses menggagalkan keinginan saya menjadi anak yang kekinian. Sebenarnya sih, saya lumayan sering internetan. Tapi mangamint.com, facebook.com, dan samehadaku.net selalu saja menjadi pelabuhan tombol enter di keyboard laptop saya.

1 Dollar AS seharga Nasgor Istimewa Plus Plus + Es Buah Rumput Laut Nanang 99[1], kebakaran hutan yang disengaja disana (nunjuk entah kemana), pergolakan mengenai Freeport, skenario pertemuan Jokowi dengan anak pedalaman, sampai skandal pak Pasha Ungu dengan bu Angel Karamoy. Huh, mana saya tau semua itu selama ini?

Berawal dari beberapa link yang tersebar di facebook mengenai nyeplosnya Ustadz Anu (Nama disamarkan) yang katanya merakyat dan mudah diterima masyarakat, pintu hati saya jadi terbuka. Lambat laun, history browser saya tidak hanya didominasi oleh 3 alamat diatas.

Jama’aaaah oooo jama’aaah...

Perlu diketahui wahai jama’ah, sebelum saya ber-uzlah, saya dulunya gemar sekali nonton tv. Once upon a time, saat jari saya salah memencet tombol remote tv, saluran berganti pada suatu acara dakwah yang pematerinya belum pernah saya lihat sebelumnya. Sejak awal saya menonton acara dakwah itu, kelima panca indra saya sudah meronta-ronta untuk segera mengganti channel ke saluran lain. Tapi tiap kali saya menggantinya, ibu saya langsung memasang muka melas untuk menggantinya kembali ke acara dakwah tadi. Meskipun saya bukan orang yang paham mengenai agama dan sangat butuh pendalaman mengenai hal tersebut, namun rasa nggak sreg’e ati memang sulit untuk dihindari. Akhirnya saya memilih untuk meninggalkan tv, lalu membuka laptop dan memainkan PES 2013 bajakan.

Ketidakcocokan hati saya terhadap beliau terbukti benar. Beragam kontroversi bermunculan. Mulai dari nangkring di atas mimbar dan fatwa celotehan mengenai ketidakharusan memilih pemimpin yang Islam, dimana beliau kemudian membuat sebuah penganalogian pemilihan pemimpin itu seperti pemilihan pilot pesawat terbang. Whooops, api tersulut, ajang penghujatan publik dimulai. Ajang yang bebas dan tanpa syarat untuk menjadi peserta itu sontak membuat lautan manusia mengikutinya. Mulai dari para manusia yang pengetahuan agamanya sudah berada dalam level “jangan diragukan lagi”, sampai para manusia dengan level sangat meragukan bersatu padu, bahu membahu menghujat si Ustadz Anu.

Sek, tunggu sebentar

Jama’aaaah oooo jama’aaah, tahukah anda kalau nabi Muhammad SAW yang kepribadiannya beyond imagination juga pernah ditegur oleh Allah beberapa kali?

“Mana mungkin Nabi Muhammad nglakuin kesalahan? Goblok elu yak? Dasar Islam KTP!”
“Eh tau dari mana lu? Jangan ngawur kalo ngomong!”

Aduh. Mboten percados? Monggo dibaca Al-Qurannya... Bahkan Allah SWT tanpa segan-segan mencantumkan teguran tersebut didalam Al-Qur’an.
Surat apa? Ayat berapa? Nggak usah sok ribet ngekhatamin Al-Quran sekaligus baca artinya. Nggak usah susah-susah mempelajari Asbab An Nuzulnya, apalagi tafsir-tafsirnya. Nggak usah update status,
”Alhamdulillaah, baru aja khatamin Al-Quran. Hafalanku sekarang juga nambah 2 Juz. Semoga berkah dunia akhirat aamiiiin #keepFighting #Khataman #SemangatMenghafalAlQur’an.” 
Pesantren Al-Google siap menampung ketidaksempatan kita akan membaca dan mempelajari Al-Qur’an karena urusan dan pencarian akan kepuasan dunia...

Jama’aaah ooo jama’aaah, ayo dipikir. Nabi Muhammad yang semulia itu saja pernah ditegur Allah, apalagi ustadz Anu yang notabene hanya sebatas manusia yang terlalu biasa?

Namun saya curiga... 

Jangan-jangan ini memang skenario dari ustadz Anu agar kita semua mempelajari dalil mengenai masalah kepemimpinan dalam Islam. Gimana?Metode dakwah  bil hikmah beliau keren kan?

Nabi Musa AS mempunyai mu’jizat membelah lautan hanya dengan bermodalkan sebilah tongkat. Bahkan Nabi sekelas beliaupun ternyata masih gagal paham atas apa-apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir. Sekaliber Umar bin Khattab, yang keberadaannya mampu membuat para Setan tunggang langgang pun tidak sadar jika manusia tampan yang datang dan menanyakan pengertian Islam, Iman dan Ihsan pada Rasulullah adalah malaikat Jibril. Lalu, apalah daya kita menangkap pesan mulia dibalik tindakan dan ucapan dari ustadz Anu?

Jama’aah ooo jama’aaah...

Sudahlaaah. Saya memohon dengan amat sangat, janganlah kalian  menghujat beliau lagi. Kalau seumpamanya beliau nesu lalu mutung dakwah karena terus-menerus kalian hujat, siapa lagi ulama’ yang akan menyadarkan Para Pencari Tu(h)an yang semakin merajalela?
Sisi baik saya akhirnya memaksa membuat saya menyimpulkan kalau kontroversi yang beliau cuatkan ke permukaan hanyalah sebuah propaganda belaka! Itu semua adalah cara dan pengorbanan beliau agar kita mempelajari Islam lebih dalam lagi, sekalipun hanya belajar di Pesantren Al-Google.
Husnudzan memang selalu indah kan, Mblo?





[1] Menurut data dari msn.com pada tanggal 26 September 2015, nilai 1 Dollar AS setara dengan Rp. 13.755,00

Wednesday, November 25, 2015

Kerasukan

0

Aku menyimpan wajahmu dalam getir waktu, menjadi butir gerimis yang menjatuhkan bulir tangis mataku. (@Ojinx_) 
*** 
Sialan sialan sialaan... Satu persatu bayang-bayang rindu yang bertalu-talu mulai mengambil alih diriku. Hampir tiga jam kuhabiskan hanya untuk melamunkan berbagai memoar, lengkap dengan pergantian senyum dan beberapa butir air mata yang tak ku sadari mulai menggerayang. Dari dalam tempat yang suci, aku beranjak menepi, bersembunyi dalam sepi...


Aneh, tanpa diketahui sabab-musababnya, aku mulai merindukan omelan ibu karena kemalasanku mencuci piring, rengekan adikku, sambal buatan bapak, rujak mbak Ni, ah segala hal yang berbau kampung halaman memang selalu sukses merangsang aktifnya sisi melankolisku yang ingin kusembunyikan dari dunia.

Aku juga mulai merindukan merdunya tilawah mas Adi dan mas Parto, perdebatan dengan mas Idin, hinaan mas Wahyu, keperkasaan Tama bermain PES, kemisteriusan mas Fatoni, permainan futsal mas Fian, kentut mas Abid, seruan gibol mas Fadli dan masih banyak lagi. Juga bagaimana kecanggungan kami kepada ustad Laghani ketika mendengar beliau melantunkan adzan saat tidak ada satupun anak yang berada di masjid untuk menyerukan kalimat-kalimat suci yang kini mulai terabaikan. Al Fanani, kau harus bertanggung jawab atas kerinduan ini!

Tak hanya berhenti disitu. Betapa menyebalkannya sikap Anang membuatku merindu. Begitu pula berbagai kenangan bersama dengan Ilham, Tiko, Rio dan sambal gorengnya, duo Rijal, Widy, Memet, Aho dan kiriman nasinya, Agil, Puguh, mas Ajis, mas Tirto, mas Shindu, mas Bustenji, mas Wildan, mas Rijal, mas Amilin, mas Fikri dll. Berbagai momen mengenai betapa konyol dan panasnya rivalitas antara kamar wetan dengan kamar lor
Tak ketinggalan pula pak Kyai, bu Nyai dan mbak Dinda yang jadi "perebutan" kami kendati dia sudah bersuami. Oh ya, jangan khawatir, lesung pipit senyumane samean isih tergambar jelas dimemoriku mas Pur, semoga kau bahagia disana...

Tak ketinggalan Reyhan, Yusron, Udin, Faruq, Yogi, Romi, ah seluruh teman sekelas dan lain kelas pokok'e wes. Kompetisi PES, Jebakan tipe-x, saling menyembunyikan buku lalu menggambar "anu" dibuku teman-teman yang disembunyikan, persekongkolan untuk ngetrek-ngetrek Ponidi, kebejatan Dodon dkk, "kefasihan" Vicky saat membaca teks dengan cepat, saling tuduh dan fitnah atas adanya kentut maupun "mengada-adanya" kentut dalam kelas. 
Hahaha. Juga masih tergambar jelas, bagaimana perbedaan air muka kalian saat melihat pak Khol** dengan melihat bu Khoir. 
Kenangan akan dosa pada banyak guru, terutama pada bu Indah. Heh wes njaluk sepuro a rek? 
Atas semua itu, bagaimana mungkin aku melupakannya? Hei, Yovie masih kalian ingat kaaan? 

Militansi yang diajarkan mas Nuzur, pak Hadi, mas Hutri, bang Apoy dan banyaaaak lagi teman-teman aktivis dari berbagai golongan lainnya juga turut serta menyumbang haru yang harus ku jalani sendiri.

Begitu pula dengan kekonyolan saat SMP, khususnya di kelas SOGE. Huh, tidak ada yang bisa kuungkapkan mengenai kalian. You are simply the best!
Lebih khusus lagi untuk Ajiji, Yudha, Mamak. Eh tenan sepurane rek lek aku ngilang, gak tau ngabari, gak tau silaturrahmi. Sepuraneeeee. Penjalukan sepuraku isih durung kasep kan? 

Ah sialan, entah apa yang merasukiku sekarang. Tengah malam sudah terlewati. Aku lantas berbaring. Pojok kanan masjid Al Falah memang paling nyaman untuk melelapkan diri. 
***
Kelak, jika kau tak ditakdirkan bersamaku, simpanlah kita pada tempat paling bahagia. (@bilangansenja)

Friday, November 20, 2015

Sang Waktu

0




SANG WAKTU


........................ Sudahlah, itu saja curahan hatiku. Mungkin ini terakhir kalinya aku menulis untukmu, Mas Fahri.. Terimakasih atas semua hal yang telah kau ajarkan padaku. Terimakasih atas seluruh cintamu yang kau bungkus rapi hanya untuk menyembunyikan bagaimana perasaanmu. Namun kau terlalu bodoh untuk menyembunyikannya Mas. Aku tahu jika kau mencintaiku. Tapi cukup sampai disini Mas. Kita tak mungkin lagi bersama. Doakan aku ya Mas, sama seperti doa yang kau lafadzkan tiap kali kau selesai mengajari kami mengaji. Aku juga akan selalu berdoa untukmu, agar kau selalu bahagia dengan kehidupanmu yang baru :)

            Hampir 2 lembar kertas ia gunakan untuk menulis diary kali ini. Alya menutup diarynya dengan terisak. Ia mencoba tersenyum, namun lagi-lagi air mata bercucuran dalam senyumnya. Sementara, rintik hujan yang semakin deras diluar sana menjadi bukti gagalnya mega menyembunyikan tangisnya.

**

            Membaca buku, tertidur, lalu terbangun. Kepalaku pening, mulutku kering, Ah rasanya panas sekali cuaca kali ini. Beberapa butir keringat terlihat berlomba-lomba menuruni wajahku. Langsung saja bibirku menyeruput air mineral dalam botol sedikit demi sedikit untuk menghematnya.
            Belum sampai lima detik mataku terbuka, aku mencium keberadaan dari benda yang sangat kubenci. Asap rokok. Seketika hati dan pikiranku menggerutu. Menggerutu pada bapak-bapak di depan dan belakang kursi bis yang kududuki. Bapak-bapak yang tak acuh, bahkan tertawa-tawa sambil memegang rokok yang sesekali mereka isap. Yang lebih membuatku sebal adalah, saat aku sadar bahwa disamping kiriku, ada seorang ibu yang tengah berjibaku dengan ujung selendang untuk menghalau asap rokok, selendang yang juga ia gunakan untuk menggendong seorang bayi dengan wajah memerah kepanasan.
            “Njenengan mboten pindah kursi mawon bu?”, aku mengambil ancang-ancang untuk berpindah tempat duduk, sambil menyarankan agar ibu tersebut  berpindah pula, daripada ia dan anaknya harus menanggung akibat dari asap rokok yang mendekam di paru-paru mereka, asap yang selalu mengintai dan mencari saat yang tepat untuk menghancurkan inangnya.
            Ibu tersebut diam saja, ia seperti tak menganggapku ada. Setelah aku berpindah ke kursi belakang, ia memanggil seorang bapak didepannya yang tengah asyik mengisap rokoknya untuk duduk disampingnya. Oh, ternyata bapak yang merokok tersebut adalah suaminya. Meskipun mereka telah duduk dalam satu deret kursi, bapak tersebut masih saja merokok. Si Ibu tersebut mulai kewalahan menyingkirkan asap rokok yang mengebul kesana kemari tanpa dosa. Ah aku tak habis pikir, ayah macam apa yang tega merokok didepan istri dan anaknya yang masih bayi?
            Aku kembali larut dalam buku Nalar Ayat-Ayat Semesta karya Agus Purwanto. Hanya sekedar membaca-baca ringan. Nampaknya tidak ada ibrah[1] yang bisa kuserap dalam kondisi seperti ini, pikiranku sedang tidak fokus. Terlalu banyak hal yang diproses secara bersamaan dalam otakku. Huh rasanya RAM otak yang begitu kecil ini sudah mulai menampakkan gejala-gejala overload. Akhirnya kembali tidur menjadi pilihan terakhirku untuk menghabiskan waktu di bis sebelum sampai di tujuan. Saat itu aku tak sadar, jika ternyata ada sepasang mata milik wanita berkerudung biru yang terus memperhatikanku dari tadi.
            Tiba-tiba seluruh ruangan bis menjadi silau, aku merasakan tubuhku bergetar hebat dalam sesaat. Kelopak mataku menutup dengan paksa, mulutku terkatup rapat tak bisa kubuka. Aku tak punya kesempatan untuk bertanya-tanya. Hei, apakah gerangan yang terjadi?

 **

            Srak-srek... srak srek. Alya masih saja sibuk membolak-balik buku paket fisikanya yang tak kunjung ia mengerti. Sesekali ia berbaring, sekedar membalas beberapa mention di twitter dan pesan BBM yang tak henti meraung-raung sedari tadi. Di depannya, laptop asus putih miliknya nampak mengiba. White coffee di sampingnya pun juga mulai enggan merayu agar segera dinikmati. Uap panas kopi tersebut mulai memudar. Tak peduli uap kopi atau apapun itu, Sang Waktu memang selalu tega merenggut apapun sesuka hati.
            Wajah ayunya merengut, dahinya berkerut, isi kepalanya makin berkecamuk. Tugas membuat cover design untuk majalah bulanan sekolah masih belum tersentuh, pelajaran fisika yang akan diujikan tak kunjung ia pahami, belum lagi mengenai tarian tradisional yang harus ia tampilkan untuk penilaian besok. Jam dinding yang bertuliskan Bank BNI membentuk sudut 30°, menunjukkan bahwa hari baru kurang sekitar satu jam lagi. Ia mencoba memejamkan mata sejenak setelah memasang alarm agar berbunyi 20 menit kemudian. Alarm memang berbunyi kencang, namun adzan shubuhlah yang kemudian membangunkannya. Ia terbangun dengan penuh penyesalan karena telah terlena dengan lelah raganya. Kali ini ia memasang mimik sedih pada wajah ayunya. Sepertinya Alya cukup cemas dan panik. Belum ada pekerjaan yang tuntas ia selesaikan, begitu pula dengan beberapa hal yang harus ia persiapkan seperti ulangan fisika dan tarian yang harus ia tampilkan hari ini. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin tiba-tiba bermunculan dari tengkuknya. Sayangnya, raut muka yang ia pasang dan kondisi yang ia alami belum bisa mengambil alih pesona dirinya.
            Hanya berjarak beberapa kedip mata, jarum kecil dari jam dinding tiba-tiba dengan berani menunjuk angka 7. Yang mulanya beranjak terang, tiba-tiba langit menjadi pekat. Gelap, matahari seperti memancarkan cahaya hitam, menghapus keberadaan tiap-tiap cahaya yang mencoba menjadi pahlawan. Mungkin Sang Waktu sedang berulah. Detik berdetak dengan cepatnya. Bahkan jam tangan dan jam dinding yang mati pun mencoba memaksakan diri mereka hanya untuk ikut memutar jarum mengikuti kehendak Sang Waktu. Tak terasa, 5 tahun terloncati begitu saja.                       
            Kini Alya menjadi seorang gadis yang bisa dibilang cukup sukses. Sempat menunda kuliah selama 2 tahun, kini ia menjadi owner dari sebuah usaha Garment yang paling tersohor se-saentero kota. Ia menjalankan usahanya sambil berkuliah. Tak hanya itu, ia juga menjadi guru mengaji di sekitar tempat tinggalnya. Sang Waktu menempanya menjadi gadis dengan paras ayu, berprestasi, berpenghasilan, religius pula. Bahkan dengan uang yang ia kumpulkan, Alya hampir menyelesaikan pembangunan suatu lembaga pendidikan berbasis wirausaha dan keagamaan khusus untuk anak yatim piatu.
            Dengan tingkat kesuksesan seperti itu di usia mudanya, ia masih merasa tidak tenang. Ya, ia belum menikah. Seluruh keluarganya terus mendesak agar Alya segera menikah. Sebenarnya banyak yang telah meminangnya, mulai dari golongan konglomerat sampai para pemuda dari kaum marjinal, mulai dari manusia yang memiliki trah darah biru, sampai manusia terpuruk yang kesehariannya hanya dihabiskan dengan menonton film biru. Tak sedikit pula yang mundur karena karena merasa minder pada Alya. Entahlah, Alya selalu memiliki alasan yang tak jelas saat menolak mereka semua.
            Angin berhembus tak beraturan. Ia memaksa dedaunan untuk gugur segugur-gugurnya. Suhu menjadi sangat dingin, lalu menjadi sangat panas di beberapa detik berikutnya. Nampaknya Sang Waktu punya banyak cara untuk mempermainkan kehidupan. Lagi-lagi, 2 tahun berjalan bagai beberapa kedipan mata saja. 
            Aku terjaga dari tidurku. Buku Nalar Ayat-Ayat Semesta masih terletak di atas pahaku, tergenggam  dengan tangan kiriku. Kembali ku seruput air mineral yang tinggal ¼ dari wadahnya. Kuperhatikan sekitar, nampaknya susunan dari penumpang bis sedikit berubah. Sekelebat teringat dalam kepalaku, rasanya tadi ada cahaya yang sangat menyilaukan disini, ah entahlah, mungkin hanya halusinasi semata. Beberapa menit setelah terbangun, seorang perempuan dengan kerudung biru berjalan mendatangiku dengan wajah berbinar.
            “Assalamu'alaikum. Mas Fahri kan? Sampean masih ingat saya mas?”, perempuan itu menyapaku terlebih dahulu, lalu duduk tepat disampingku. Wajahnya memang terlihat familiar, namun aku gagal menemukan nama perempuan tersebut dalam ratusan folder yang sudah lama tidak pernah kubuka dalam otakku. Aku menyerah.
            “Hehe, maaf saya lupa, anda siapa ya?”, aku menjawabnya dengan bahasa sehalus mungkin. Wajahnya yang semula berbinar, sekarang terlihat sedikit meredup. Aku mengutuk salah satu kelemahan dari diriku yang fatal, yaitu mudah melupakan nama dan wajah seseorang.
            “Ihh mas ini kok lupa sih, aku Dini mas, Sukma Andini Raharja”, ujarnya riang. Dini, ya aku mengingatnya. Hei, apakah wajahnya berubah? Ah aku lupa. Seingatku, Dini adalah temanku dari SD hingga SMA. Dini, anak yang telah mempermalukanku dihadapan seluruh anggota OSIS dan teman yang lainnya saat SMA. Anak yang telah menemukan dan membaca puisi rahasiaku secara terbuka di kantin. Puisi yang ku tulis mengenai Alya. Belasan puisi yang mengisahkan suatu keanggunan yang tak pernah bisa digapai oleh diriku yang sarat akan kehinaan.
            “Gimana kabarnya mas? Eh kemana aja sih kok gak ada kabar dalam 7 tahun terakhir?”, lanjutnya. Aku mulai menjelaskan panjang lebar. Apa yang kulakukan dalam beberapa tahun terakhir, alasanku menonaktifkan seluruh akun media sosial, mengganti nomer handphone, dan banyak lainnya. Dini menyimak dengan seksama, sambil sesekali bertanya beberapa hal yang lainnya.
            “Oh iya mas, masih ingat ke Alya? Dia baru saja nikah lo minggu kemarin”, tiba-tiba Dini mengatakan hal yang sangat tidak ingin kudengar. Dia mengatakannya seperti seorang anak kecil yang tengah memberi tahu ibunya bahwa dia memperoleh nilai sempurna di tiap-tiap mata pelajaran ujian. Lututku lemas, jantungku berdegup semakin cepat. “Sayang mas, padahal selama ini sampean lah orang yang ditunggu Alya. Tau nggak, dia sudah nolak belasan perasaan pria yang ingin melamarnya, hanya untuk menunggu kedatangan dan pinangan dari sampean, eh ternyata yang ditunggu-tunggu malah ga ada kabar sama sekali. Payah sampean mas!”, tutur Dini, dengan nada kekecewaan. Aku tak perlu mengkonfirmasi kebenaran cerita tersebut. Aku berteman dengannya mulai SD hingga SMA, aku mulai mengingat tentang dirinya, aku ingat bagaimana jujurnya Dini dalam menyampaikan berita.
            Dadaku terasa sesak. Ternyata Alya selama ini menunggu diriku. Andai aku tahu perasaannya terhadapku, aku pasti tak perlu merasa minder untuk menyatakan perasaanku padanya. Ah bodohnya, bodohnya aku yang hanya berani menyapanya lewat media sosial. Betapa bodohnya aku yang hanya berani berkomunikasi dengannya saat ia memintaku untuk mengajarinya berbagai mata pelajaran, itupun melalui media sosial. Bodohnya aku yang hanya bisa melukis impian untuk bisa bersamanya dalam berbagai puisi rahasia. Ah andai aku bisa kembali ke masa saat SMA, aku pasti akan …
            Belum sempat menyelesaikan kalimat perandaianku, petir menyambar membabi buta. Secara ajaib, jalanan dipenuhi air berwarna hitam. Bis yang kutumpangi menbunyikan klakson dengan irama nada yang aneh. Para penumpang menoleh padaku, lalu menertawakanku dengan tawa yang menyeramkan. Tubuhku seperti terpaku, aku tak bisa melarikan diri. Apa yang hendak Sang Waktu perbuat kali ini? Pandanganku menjadi kabur, semakin gelap, puncaknya, aku tidak bisa melihat. Lalu aku terhuyung entah kemana.
            Saat aku membuka mata, suasana terasa damai. Aku sangat terkejut saat mengetahui bahwa waktu kembali ke empat tahun yang lalu, aku mengetahuinya setelah melihat kalender di warung Cak To, warung yang terletak persis di sebelah rumahku. Aku mengecek handphoneku untuk memastikan tanggal dan tahun. Ternyata cocok!. Aku menanyakan tentang keanehan waktu yang kualami hari ini pada Mbak Astiti, istri dari Cak To yang sedang menjaga warung hari ini. Dia sama sekali tidak menghiraukanku. Aku lalu beranjak keluar dari warung, untuk menuju rumahku.
            Tidak seperti biasanya, rumahku dipenuhi orang. Aku penasaran, kupercepat langkahku. Diluar rumah, banyak sekali teman SMA ku yang saling diam. Aku semakin penasaran. Aku bertanya-tanya pada orang sekitar, namun tidak ada yang menjawabnya. Aku bertanya pada Ayahku yang sedang duduk di kursi teras, ia malah beranjak pergi meninggalkanku tanpa berucap sepatah katapun.
            Aku benar benar lemas saat mengetahui ada seseorang yang tengah tersenyum, terbujur kaku, dalam balutan kain yang menyelimutinya seperti seorang mayat. Seseorang tersebut memakai tubuhku, memiliki wajah seperti wajahku. Dia adalah diriku. Apakah aku mati? Aku mati?  Aku mendapati Ibuku menangis tersedu-sedu, begitu pula dengan Alya yang menangis sambil terkulai lemas. Aku mulai menitikkan air mata. Aku mulai paham, mengapa kondektur bis tidak meminta uang tiket padaku. Aku jadi tahu, mengapa ibu di bis tersebut tidak mengacuhkan pembicaraanku, mbak Astiti yang tidak menjawab pertanyaanku. Apakah aku sudah mati? Aku benar-benar tidak paham. Lantas bagaimana dengan Dini? Bagaimana ia bisa berbincang-bincang denganku? Pikiranku kacau. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku dengan lembut.
            Sayup-sayup kudengar suara symphony, mengalunkan instrumen requiem dengan nada sedih yang mencekam. Di seberang jalan luar rumahku, ada banyak barisan orang berbaju serba putih yang tersenyum tipis, seakan bahagia menyambut kedatanganku. Mereka semua melayang! Aku bingung, sekaligus takut bukan kepalang.
            “Din? Apa maksud semua ini?”, ya, Dini lah yang menarik tanganku. Ia hanya tersenyum, ia tak menjawab pertanyaanku. Aku dibawanya terbang keatas. “Din?”, tanyaku sekali lagi. Ia mengenakan sepasang sayap putih yang amat indah. Semakin menjauh, semakin menjauh, semakin menjauh dari permukaan bumi.
            Sang Waktu sepertinya tengah tergelak, aku dapat mendengar tawanya yang menggelegar. Apakah aku benar-benar mati? Ratusan tanda tanya masih saja terus bermunculan memenuhi otakku. Apakah maksud dari semua ini?





[1] Pelajaran



Wednesday, June 17, 2015

Dinginnya Kumbolo dan Hangatnya Pertemanan Kami

9

Aku termenung, cukup lama. Sebatang spidol hitam dan secarik kertas putih lusuh dengan sobekan yang tak simetri seakan mempergunjingkan sebab diamku. Aku yang biasanya menulis sajak-sajak dengan lanyahnya, kini hanya bisa terdiam, bergulat dengan bayang yang hanya datang sekelebat. Bayang yang selalu lenyap sebelum selesai kutekuri per centimeternya untuk memastikan siapakah dia.


Tuesday, June 09, 2015

Tuesday, May 05, 2015

Murattal per 1/2 Hizb (per seperempat) Juz

3

Assalaamu'alaikum wa rahmatullaah wa barakaatuh

Alhamdulillaah, beberapa saat yang lalu, saya mendapatkan link untuk mendownload murattal per seperempat juz Al-Qur'an.
Kemudian saya berinisiatif untuk mempermudah pen-download-an dengan menaruh murattal tersebut dalam satu folder di GoogleDrive milik saya.

Murattal ini dibawakan oleh salah satu Imam favorit saya yaitu Syaikh Abdurrahman As Sudais, salah seorang imam di Masjidil Haram Makkah.
Suaranya yang mengalir merdu beserta penghayatan ditiap irama rast yang ia bawakan, sungguh membuat hati tenang saat mendengarkannya.

Murattal per seperempat juz ini sangat cocok bagi teman-teman yang ingin menghafalkan Al-Qur'an. Soalnya anu... aduh rasain sendiri wes hahaha

langsung sajaaa, ini link downloadnya...
DOWNLOAD MUROTTAL PER SEPEREMPAT JUZ SYAIKH ABDURRAHMAN AS SUDAIS



Sumber murattal : murottalperjuz.blogspot.com








>

Monday, April 13, 2015

Fahri dan si Somat ~ Cinta

6

--ATTENTION GUYS--
---- Cerita ini bukan fiktif belaka. Apabila ada unsur kesamaan nama, kejadian dan tempat, mungkin hanya kebetulan bos----



“He goblok! Kon iku sopo?!”, ucapku geram, pada diriku sendiri. Sungguh berkecamuk isi kepalaku sekarang. Mencoba untuk menenangkan pikiran, kuputar murattal Syaikh Nabil Rifa’I keras-keras, membaringkan diri, menunggu lelap mengambil alih raga yang sungguh rapuh akan lena dunia.

Betapa bodohnya –aku–sebut saja Fahri (mengambil nama tokoh dalam film Ayat-Ayat Cinta)–  seorang insan yang benar-benar harus bertekuk lutut, tumbang dalam mempertahankan janji yang kubuat pada diriku sendiri. Janji untuk tidak akan pernah memberikan rasa bahagia dan cinta kecuali pada keluarga dan calon istriku kelak.

Bermula dari sebuah sms, berlanjut dengan komunikasi yang lumayan intens di medsos, lalu akhirnya bertemu karena ada sebuah permintaan bantuan. Pada awalnya aku yakin, setan tak akan mampu membujukku untuk melanggar janjiku. 

Woi woi ,  gaya tenan koe nantang setan yang jelas-jelas wes urip ribuan taun Ri Fahri!!!


Cerita mengenai Bahira, Yusuf dan Zulaikha, Ali dan Fathimah,  terngiang-ngiang di kepalaku, cerita yang rasanya seperti mengejek kelemahan imanku.



**

Hari itu, kami berjanji bertemu di sebuah perumahan. Awalnya hanya untuk saling bertukar laptop, aku memperbaiki laptopnya, dan sementara waktu, dia memakai laptopku. Sebenarnya, aku sangat malu, malu dan takut pada Tuhan, juga malu pada diri sendiri dan janji yang telah kubuat.

Meh 6 taun nggak ketemu kan? Ayo wes, sekalian silaturrahmi”, setan sedang mencari ‘pembenaran’, lalu membisikkan pengaruhnya padaku menggunakan bahasa yang lembut, persuasive banget. 

Apa daya, ragaku mengiyakan. Alibi silaturrahmi membuat rasa takut dan maluku pada Tuhan berkurang. Sayup-sayup terdengar, setan yang tertawa terpingkal-pingkal melihatku yang baru saja melanggar sebuah perintah Al Quran untuk jangan mendekati zina.

“heh Jon, sawangen cah kui. Piye to, sholat, qur’an lan hadits e tiba’e isik urung iso njogo de’e  soko nyedek i maksiat” ujar si Somat, kapten setan Divisi Zina.


“wak wak wak, mbok apakno to cah kui Mat kok sampek lali marang wedine ndek Gusti Pengeran”, ujar setan lainnya sambil menyeka airmata yang tumpah sembari tertawa terbahak-bahak.

Yah begitulah kira-kira dialog setan setelah berhasil merayuku.

Beberapa menit kemudian, kami benar-benar bertemu setelah sekian tahun lamanya berpisah.

Baru 2 detik memandang, getaran dihati rasanya menghebat, badanku panas dingin,lidahku kelu. Sungguh, kebanggaanku sebagai seorang yang sedang berusaha menjaga kalam Allah dalam diri seakan dirobek-robek oleh penampilannya saat itu. Damn! She made me speechless!.

Pakaian syar’i yang menyelubungi gadis pemilik wajah ayu itu, ditambah tahi lalat kecil dibawah bibir yang meronakan senyum menawan. Penampilan yang sungguh anggun. Dia benar-benar tahu cara mengeksploitasi kelemahan terbesarku!

“langsung ke kosan tah?” ujarnya, membuka pembicaraan, membangunkan diriku yang hampir lenyap dalam lamunan. Ah, aku hampir tidak mengenali suaranya.

“Iya wes ayo” balasku. Lagi-lagi terdengar suara setan yang cekikikan, lebih keras dari tadi.

Dari rumah saudaranya, aku mengantarkan –dirinya–sebut saja namanya Aisha(lawan main Fahri)–  menuju kosan yang ia tempati . Berboncengan, berduaan. Aku berupaya sebisa mungkin untuk merenggangkan jarak untuk menghindari terjadinya sentuhan antara lengannya dengan punggungku.

 “Lo lo nanggung ngger, ayo nggolek cara, piye kirane ben Aisha meluk koe!” canda si Somat.

“Lek soal ngono iku, ojo ngarep koe menang soko aku Mat!” aku menjawab candaan si Somat.

“Lo piye to? Aku lo wes menang mulai mau ngger, pikiren, aku seng telah nggarai koe wani nggonceng arek iku hahahaha” Kelakar si Somat, tidak mau mengalah.

**

Setelah sampai, kami hanya bertukar laptop. Kemudian aku pulang, menyisakan degup kencang yang tak kunjung hilang.

Dihadapannya, kepribadian sanguinis-plegmatisku serasa berubah menjadi kepribadian lain. Didepannya, rasanya aku tidak bias apa-apa, kuthu’ tenan.  

Mak, opo iki rasane tresno? Piye iki mak, piye? Tole sik cilik, sik urung pantes ngrasakne hal macem iki.

Namun segala puji bagi Tuhan, yang mungkin tak ingin cinta-Nya diduakan. Sepertinya ada seseorang yang telah menempati hati beserta harddisk laptop si Aisha (maafkan kelancangan saya membuka isi laptop anda). Ngerti gak, rasane ono seng nyandet nde’ dodo pas digae ambekan rek!.

Lah, koe iki sopo? Gak mungkin arek seng mek smsan(ikupun jarang), gak pernah ketemu, gak  pernah nggae bahagia, gak pernah ngeke’i opo opo, gak pernah berbagi suka duka, gak mungkin iso ngganteni “02juni2014” ndek urip e Aisha, goblok tenan koe Ri Fahri!

Ah sudahlah, saat ini memupus sepertinya lebih baik daripada memupuk harapan. Benar-benar bagai pungguk merindukan galaksi Andromeda, unreachable!. [paragraph paling gak jelas]

****

Da’uniy, da’uniy. Cukuplah kita sisakan satu pertemuan saja hanya untuk mengembalikan masing-masing laptop, lalu berpisah.

Da’uniy, da’uniy. Cukuplah kau kujaga dalam doa pada-Nya. Jadi, berhentilah untuk mencoba masuk kedalam waktu percintaanku dengan-Nya. Kau sudah teramat lancang karena tlah menampakkan dirimu dalam shalatku.

Faktafiy, faktafiy. Sungguh aku menyukaimu, namun bukan ini  yang kuinginkan. Aku telah berjanji untuk menggenapkan seluruh suka ku pada istriku kelak, jika kau tak mau berhenti membuatku menyukaimu, maka tolong,  bertanggungjawablah atas rasa ini esok.

Faktafiy, faktafiy. Sungguh cinta ini tak tertahankan. Maka dari itu, marilah berpisah, jangan sampai kita memulai hubungan dengan cara yang tidak diridlai oleh Tuhan.

Dzarniy, dzarniy. Bukan berarti aku tak memperjuangkan, tapi biarlah aku menyimpan hingga kelak aku merasa pantas untuk mengutarakan

Dzarniy, Dzarniy. Andai Sang Maha Cinta tidak memperkenankan kita menjalin hubungan halal esok hari, aku tetap mendoakan yang terbaik. Semoga kau mendapatkan pasangan yang tetap dapat menyangga sayap anggunmu, memelihara terang cahayamu yaa Mar.atul Jannah :')





Sunday, March 22, 2015

Thursday, March 12, 2015

Thursday, January 08, 2015

Ayo berzina !

Pikiran saya tak bisa berhenti berkecamuk. Untaian-untaian hikmah yang saya baca dari kitab Al Hikam, benar-benar membuat saya merasa seperti rusa tak berdaya yang dikejar singa, cheetah dan gerombolan serigala secara bersamaan. Saya benar-benar ketakutan.