Friday, November 20, 2015

Sang Waktu

0




SANG WAKTU


........................ Sudahlah, itu saja curahan hatiku. Mungkin ini terakhir kalinya aku menulis untukmu, Mas Fahri.. Terimakasih atas semua hal yang telah kau ajarkan padaku. Terimakasih atas seluruh cintamu yang kau bungkus rapi hanya untuk menyembunyikan bagaimana perasaanmu. Namun kau terlalu bodoh untuk menyembunyikannya Mas. Aku tahu jika kau mencintaiku. Tapi cukup sampai disini Mas. Kita tak mungkin lagi bersama. Doakan aku ya Mas, sama seperti doa yang kau lafadzkan tiap kali kau selesai mengajari kami mengaji. Aku juga akan selalu berdoa untukmu, agar kau selalu bahagia dengan kehidupanmu yang baru :)

            Hampir 2 lembar kertas ia gunakan untuk menulis diary kali ini. Alya menutup diarynya dengan terisak. Ia mencoba tersenyum, namun lagi-lagi air mata bercucuran dalam senyumnya. Sementara, rintik hujan yang semakin deras diluar sana menjadi bukti gagalnya mega menyembunyikan tangisnya.

**

            Membaca buku, tertidur, lalu terbangun. Kepalaku pening, mulutku kering, Ah rasanya panas sekali cuaca kali ini. Beberapa butir keringat terlihat berlomba-lomba menuruni wajahku. Langsung saja bibirku menyeruput air mineral dalam botol sedikit demi sedikit untuk menghematnya.
            Belum sampai lima detik mataku terbuka, aku mencium keberadaan dari benda yang sangat kubenci. Asap rokok. Seketika hati dan pikiranku menggerutu. Menggerutu pada bapak-bapak di depan dan belakang kursi bis yang kududuki. Bapak-bapak yang tak acuh, bahkan tertawa-tawa sambil memegang rokok yang sesekali mereka isap. Yang lebih membuatku sebal adalah, saat aku sadar bahwa disamping kiriku, ada seorang ibu yang tengah berjibaku dengan ujung selendang untuk menghalau asap rokok, selendang yang juga ia gunakan untuk menggendong seorang bayi dengan wajah memerah kepanasan.
            “Njenengan mboten pindah kursi mawon bu?”, aku mengambil ancang-ancang untuk berpindah tempat duduk, sambil menyarankan agar ibu tersebut  berpindah pula, daripada ia dan anaknya harus menanggung akibat dari asap rokok yang mendekam di paru-paru mereka, asap yang selalu mengintai dan mencari saat yang tepat untuk menghancurkan inangnya.
            Ibu tersebut diam saja, ia seperti tak menganggapku ada. Setelah aku berpindah ke kursi belakang, ia memanggil seorang bapak didepannya yang tengah asyik mengisap rokoknya untuk duduk disampingnya. Oh, ternyata bapak yang merokok tersebut adalah suaminya. Meskipun mereka telah duduk dalam satu deret kursi, bapak tersebut masih saja merokok. Si Ibu tersebut mulai kewalahan menyingkirkan asap rokok yang mengebul kesana kemari tanpa dosa. Ah aku tak habis pikir, ayah macam apa yang tega merokok didepan istri dan anaknya yang masih bayi?
            Aku kembali larut dalam buku Nalar Ayat-Ayat Semesta karya Agus Purwanto. Hanya sekedar membaca-baca ringan. Nampaknya tidak ada ibrah[1] yang bisa kuserap dalam kondisi seperti ini, pikiranku sedang tidak fokus. Terlalu banyak hal yang diproses secara bersamaan dalam otakku. Huh rasanya RAM otak yang begitu kecil ini sudah mulai menampakkan gejala-gejala overload. Akhirnya kembali tidur menjadi pilihan terakhirku untuk menghabiskan waktu di bis sebelum sampai di tujuan. Saat itu aku tak sadar, jika ternyata ada sepasang mata milik wanita berkerudung biru yang terus memperhatikanku dari tadi.
            Tiba-tiba seluruh ruangan bis menjadi silau, aku merasakan tubuhku bergetar hebat dalam sesaat. Kelopak mataku menutup dengan paksa, mulutku terkatup rapat tak bisa kubuka. Aku tak punya kesempatan untuk bertanya-tanya. Hei, apakah gerangan yang terjadi?

 **

            Srak-srek... srak srek. Alya masih saja sibuk membolak-balik buku paket fisikanya yang tak kunjung ia mengerti. Sesekali ia berbaring, sekedar membalas beberapa mention di twitter dan pesan BBM yang tak henti meraung-raung sedari tadi. Di depannya, laptop asus putih miliknya nampak mengiba. White coffee di sampingnya pun juga mulai enggan merayu agar segera dinikmati. Uap panas kopi tersebut mulai memudar. Tak peduli uap kopi atau apapun itu, Sang Waktu memang selalu tega merenggut apapun sesuka hati.
            Wajah ayunya merengut, dahinya berkerut, isi kepalanya makin berkecamuk. Tugas membuat cover design untuk majalah bulanan sekolah masih belum tersentuh, pelajaran fisika yang akan diujikan tak kunjung ia pahami, belum lagi mengenai tarian tradisional yang harus ia tampilkan untuk penilaian besok. Jam dinding yang bertuliskan Bank BNI membentuk sudut 30°, menunjukkan bahwa hari baru kurang sekitar satu jam lagi. Ia mencoba memejamkan mata sejenak setelah memasang alarm agar berbunyi 20 menit kemudian. Alarm memang berbunyi kencang, namun adzan shubuhlah yang kemudian membangunkannya. Ia terbangun dengan penuh penyesalan karena telah terlena dengan lelah raganya. Kali ini ia memasang mimik sedih pada wajah ayunya. Sepertinya Alya cukup cemas dan panik. Belum ada pekerjaan yang tuntas ia selesaikan, begitu pula dengan beberapa hal yang harus ia persiapkan seperti ulangan fisika dan tarian yang harus ia tampilkan hari ini. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin tiba-tiba bermunculan dari tengkuknya. Sayangnya, raut muka yang ia pasang dan kondisi yang ia alami belum bisa mengambil alih pesona dirinya.
            Hanya berjarak beberapa kedip mata, jarum kecil dari jam dinding tiba-tiba dengan berani menunjuk angka 7. Yang mulanya beranjak terang, tiba-tiba langit menjadi pekat. Gelap, matahari seperti memancarkan cahaya hitam, menghapus keberadaan tiap-tiap cahaya yang mencoba menjadi pahlawan. Mungkin Sang Waktu sedang berulah. Detik berdetak dengan cepatnya. Bahkan jam tangan dan jam dinding yang mati pun mencoba memaksakan diri mereka hanya untuk ikut memutar jarum mengikuti kehendak Sang Waktu. Tak terasa, 5 tahun terloncati begitu saja.                       
            Kini Alya menjadi seorang gadis yang bisa dibilang cukup sukses. Sempat menunda kuliah selama 2 tahun, kini ia menjadi owner dari sebuah usaha Garment yang paling tersohor se-saentero kota. Ia menjalankan usahanya sambil berkuliah. Tak hanya itu, ia juga menjadi guru mengaji di sekitar tempat tinggalnya. Sang Waktu menempanya menjadi gadis dengan paras ayu, berprestasi, berpenghasilan, religius pula. Bahkan dengan uang yang ia kumpulkan, Alya hampir menyelesaikan pembangunan suatu lembaga pendidikan berbasis wirausaha dan keagamaan khusus untuk anak yatim piatu.
            Dengan tingkat kesuksesan seperti itu di usia mudanya, ia masih merasa tidak tenang. Ya, ia belum menikah. Seluruh keluarganya terus mendesak agar Alya segera menikah. Sebenarnya banyak yang telah meminangnya, mulai dari golongan konglomerat sampai para pemuda dari kaum marjinal, mulai dari manusia yang memiliki trah darah biru, sampai manusia terpuruk yang kesehariannya hanya dihabiskan dengan menonton film biru. Tak sedikit pula yang mundur karena karena merasa minder pada Alya. Entahlah, Alya selalu memiliki alasan yang tak jelas saat menolak mereka semua.
            Angin berhembus tak beraturan. Ia memaksa dedaunan untuk gugur segugur-gugurnya. Suhu menjadi sangat dingin, lalu menjadi sangat panas di beberapa detik berikutnya. Nampaknya Sang Waktu punya banyak cara untuk mempermainkan kehidupan. Lagi-lagi, 2 tahun berjalan bagai beberapa kedipan mata saja. 
            Aku terjaga dari tidurku. Buku Nalar Ayat-Ayat Semesta masih terletak di atas pahaku, tergenggam  dengan tangan kiriku. Kembali ku seruput air mineral yang tinggal ¼ dari wadahnya. Kuperhatikan sekitar, nampaknya susunan dari penumpang bis sedikit berubah. Sekelebat teringat dalam kepalaku, rasanya tadi ada cahaya yang sangat menyilaukan disini, ah entahlah, mungkin hanya halusinasi semata. Beberapa menit setelah terbangun, seorang perempuan dengan kerudung biru berjalan mendatangiku dengan wajah berbinar.
            “Assalamu'alaikum. Mas Fahri kan? Sampean masih ingat saya mas?”, perempuan itu menyapaku terlebih dahulu, lalu duduk tepat disampingku. Wajahnya memang terlihat familiar, namun aku gagal menemukan nama perempuan tersebut dalam ratusan folder yang sudah lama tidak pernah kubuka dalam otakku. Aku menyerah.
            “Hehe, maaf saya lupa, anda siapa ya?”, aku menjawabnya dengan bahasa sehalus mungkin. Wajahnya yang semula berbinar, sekarang terlihat sedikit meredup. Aku mengutuk salah satu kelemahan dari diriku yang fatal, yaitu mudah melupakan nama dan wajah seseorang.
            “Ihh mas ini kok lupa sih, aku Dini mas, Sukma Andini Raharja”, ujarnya riang. Dini, ya aku mengingatnya. Hei, apakah wajahnya berubah? Ah aku lupa. Seingatku, Dini adalah temanku dari SD hingga SMA. Dini, anak yang telah mempermalukanku dihadapan seluruh anggota OSIS dan teman yang lainnya saat SMA. Anak yang telah menemukan dan membaca puisi rahasiaku secara terbuka di kantin. Puisi yang ku tulis mengenai Alya. Belasan puisi yang mengisahkan suatu keanggunan yang tak pernah bisa digapai oleh diriku yang sarat akan kehinaan.
            “Gimana kabarnya mas? Eh kemana aja sih kok gak ada kabar dalam 7 tahun terakhir?”, lanjutnya. Aku mulai menjelaskan panjang lebar. Apa yang kulakukan dalam beberapa tahun terakhir, alasanku menonaktifkan seluruh akun media sosial, mengganti nomer handphone, dan banyak lainnya. Dini menyimak dengan seksama, sambil sesekali bertanya beberapa hal yang lainnya.
            “Oh iya mas, masih ingat ke Alya? Dia baru saja nikah lo minggu kemarin”, tiba-tiba Dini mengatakan hal yang sangat tidak ingin kudengar. Dia mengatakannya seperti seorang anak kecil yang tengah memberi tahu ibunya bahwa dia memperoleh nilai sempurna di tiap-tiap mata pelajaran ujian. Lututku lemas, jantungku berdegup semakin cepat. “Sayang mas, padahal selama ini sampean lah orang yang ditunggu Alya. Tau nggak, dia sudah nolak belasan perasaan pria yang ingin melamarnya, hanya untuk menunggu kedatangan dan pinangan dari sampean, eh ternyata yang ditunggu-tunggu malah ga ada kabar sama sekali. Payah sampean mas!”, tutur Dini, dengan nada kekecewaan. Aku tak perlu mengkonfirmasi kebenaran cerita tersebut. Aku berteman dengannya mulai SD hingga SMA, aku mulai mengingat tentang dirinya, aku ingat bagaimana jujurnya Dini dalam menyampaikan berita.
            Dadaku terasa sesak. Ternyata Alya selama ini menunggu diriku. Andai aku tahu perasaannya terhadapku, aku pasti tak perlu merasa minder untuk menyatakan perasaanku padanya. Ah bodohnya, bodohnya aku yang hanya berani menyapanya lewat media sosial. Betapa bodohnya aku yang hanya berani berkomunikasi dengannya saat ia memintaku untuk mengajarinya berbagai mata pelajaran, itupun melalui media sosial. Bodohnya aku yang hanya bisa melukis impian untuk bisa bersamanya dalam berbagai puisi rahasia. Ah andai aku bisa kembali ke masa saat SMA, aku pasti akan …
            Belum sempat menyelesaikan kalimat perandaianku, petir menyambar membabi buta. Secara ajaib, jalanan dipenuhi air berwarna hitam. Bis yang kutumpangi menbunyikan klakson dengan irama nada yang aneh. Para penumpang menoleh padaku, lalu menertawakanku dengan tawa yang menyeramkan. Tubuhku seperti terpaku, aku tak bisa melarikan diri. Apa yang hendak Sang Waktu perbuat kali ini? Pandanganku menjadi kabur, semakin gelap, puncaknya, aku tidak bisa melihat. Lalu aku terhuyung entah kemana.
            Saat aku membuka mata, suasana terasa damai. Aku sangat terkejut saat mengetahui bahwa waktu kembali ke empat tahun yang lalu, aku mengetahuinya setelah melihat kalender di warung Cak To, warung yang terletak persis di sebelah rumahku. Aku mengecek handphoneku untuk memastikan tanggal dan tahun. Ternyata cocok!. Aku menanyakan tentang keanehan waktu yang kualami hari ini pada Mbak Astiti, istri dari Cak To yang sedang menjaga warung hari ini. Dia sama sekali tidak menghiraukanku. Aku lalu beranjak keluar dari warung, untuk menuju rumahku.
            Tidak seperti biasanya, rumahku dipenuhi orang. Aku penasaran, kupercepat langkahku. Diluar rumah, banyak sekali teman SMA ku yang saling diam. Aku semakin penasaran. Aku bertanya-tanya pada orang sekitar, namun tidak ada yang menjawabnya. Aku bertanya pada Ayahku yang sedang duduk di kursi teras, ia malah beranjak pergi meninggalkanku tanpa berucap sepatah katapun.
            Aku benar benar lemas saat mengetahui ada seseorang yang tengah tersenyum, terbujur kaku, dalam balutan kain yang menyelimutinya seperti seorang mayat. Seseorang tersebut memakai tubuhku, memiliki wajah seperti wajahku. Dia adalah diriku. Apakah aku mati? Aku mati?  Aku mendapati Ibuku menangis tersedu-sedu, begitu pula dengan Alya yang menangis sambil terkulai lemas. Aku mulai menitikkan air mata. Aku mulai paham, mengapa kondektur bis tidak meminta uang tiket padaku. Aku jadi tahu, mengapa ibu di bis tersebut tidak mengacuhkan pembicaraanku, mbak Astiti yang tidak menjawab pertanyaanku. Apakah aku sudah mati? Aku benar-benar tidak paham. Lantas bagaimana dengan Dini? Bagaimana ia bisa berbincang-bincang denganku? Pikiranku kacau. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku dengan lembut.
            Sayup-sayup kudengar suara symphony, mengalunkan instrumen requiem dengan nada sedih yang mencekam. Di seberang jalan luar rumahku, ada banyak barisan orang berbaju serba putih yang tersenyum tipis, seakan bahagia menyambut kedatanganku. Mereka semua melayang! Aku bingung, sekaligus takut bukan kepalang.
            “Din? Apa maksud semua ini?”, ya, Dini lah yang menarik tanganku. Ia hanya tersenyum, ia tak menjawab pertanyaanku. Aku dibawanya terbang keatas. “Din?”, tanyaku sekali lagi. Ia mengenakan sepasang sayap putih yang amat indah. Semakin menjauh, semakin menjauh, semakin menjauh dari permukaan bumi.
            Sang Waktu sepertinya tengah tergelak, aku dapat mendengar tawanya yang menggelegar. Apakah aku benar-benar mati? Ratusan tanda tanya masih saja terus bermunculan memenuhi otakku. Apakah maksud dari semua ini?





[1] Pelajaran



0 komentar:

Post a Comment