Banyuwangi. Kota ini (Banyuwangi itu kota,
tah?) memang tak seperti Jogja yang katanya tersusun dari kenangan, maupun seperti Jember
yang tersusun dari polisi tidur. Namun setelah pertama
kali mengunjunginya, tiba-tiba beberapa memoar meminta tempat yang
khusus di hati untuk menetap disana, meminta agar mereka tak dilupakan begitu
saja.
Akhirnya, 11 Juli 2016 lalu saya
berkesempatan untuk kembali mengunjunginya bersama dengan Pakdhe Ruhul, Syamsul, dan Marwan. Kami membawa dua sepeda motor. Saya
(terus-menerus) membonceng Pakdhe Ruhul, sedangkan Syamsul dan Marwan saling
bergantian menyetir.
Niat awal kami
sebenarnya hanyalah bersilaturrahmi pada teman-teman yang bertempat tinggal di
Banyuwangi. Setelah dipikir-pikir, muncul niat-niat lain yang sepertinya kurang
pantas dan terlalu vulgar bila disebutkan di sini. Hahaha, mau tau tah?
Kami berangkat di
hari senin menjelang ashar, dan baru sampai di rumah Fariz yang terletak di
Karangharjo-Glenmore sekitar jam lima sore. Harusnya perjalanan bisa ditempuh
lebih cepat jika kami tidak diguyur hujan di sepanjang jalan.
Di Garahan, hujan
mulai turun menyapa. Kami menepi sebentar untuk memakai jas hujan yang dibawa
oleh Syamsul. Apesnya, jas hujan yang saya pakai tersebut ternyata bau kencing
kucing. Karena mendesak sekali, akhirnya terpaksa saya memakainya. Beberapa
saat kemudian, hujan yang semakin deras memaksa kami untuk menepi sebentar.
Tidak tahan
dengan bau kencing kucing yang menyengat, saya melepasnya. Sesaat setelah saya
melepas jas hujan tersebut, saya teringat dengan adanya jas hujan yang cukup
nyaman dalam sepeda motor yang saya naiki. Padahal sebelum berangkat, saya
sudah mengingat-ingat kalau ada jas hujan di sepeda motor tersebut.
Entah untuk
keberapa kalinya saya mengutuk betapa pelupanya diri ini. Akhirnya saya memakai
jas hujan yang nyaman, dan jas hujan yang bau itu dipakai Marwan.
Sesampainya di
rumah Fariz, saya baru sadar jika jaket yang saya kenakan mulai berbau kencing
kucing. Tentu saja, jaket Marwan mengalami kondisi yang sama dengan jaket saya.
Akhirnya jaket tersebut kami tinggalkan dirumah Fariz dengan harapan jaket
kami akan dicucikan oleh keluarganya :p.
Disana, kami
disuguhi berbagai macam makanan dan beberapa wejangan dari bapaknya Fariz.
Sebenarnya, kami hendak melanjutkan perjalanan setelah makan dan beristirahat
sebentar disana. Namun dikamar Fariz, kami tergoda saat melihat pemandangan yang
jauh lebih menggiurkan dari aurat wanita, yaitu dua buah stik PS. Walaupun
sudah dijamah, dipegang, diremas dan dipencet-pencet oleh puluhan lelaki, stik
PS tetap saja terlihat menggoda bagi kami.
Stik tersebut
masih menancap dilaptop dengan spesifikasi keren, dan game PES 2013 update
terbaru tinggal menunggu klik saja untuk dimainkan. Budyal!
Awalnya kami
sudah berjanji akan menghentikan permainan setelah bermain dua kali. Namun janji
hanyalah janji. Siapa sih yang tahan dengan rayuan PES? Apalagi tidak adanya
ustadz-ustadz senior dari kesantrian membuat permainan kami semakin tak
terhentikan. Tidak ada yang akan merampas stik PS kami kali ini! Ayo sikat wes!
Malam selasa. Dari sekitar jam 7 malam kami bermain
PES 2013 dan baru berhenti bermain sekitar jam 12 malam, kemudian rehat
sebentar untuk “menebus dosa”. Setelah selesai, saya, Fariz dan Pakdhe Ruhul
melanjutkan permainan. Saya selesai sekitar jam 2, sisanya baru tertidur di jam
3 pagi. Beberapa jam kemudian, kami berempat ditambah Fariz, meluncur menuju
kediaman Mas Amin di Bangorejo.
Mas Amin sendiri
adalah...........
*Saya kurang bisa
mendeskripsikan Mas Amin hanya dalam satu atau dua paragraf singkat. Kurang afdhal
rasanya. Sebenarnya sudah ada beberapa anak yang menginginkan saya
untuk menulis mengenai Mas Amin. Jika ada lima orang lagi yang meminta hal yang
sama, insyaallah saya akan menuliskannya. Jadi paragraf diatas di skip saja
yaaaa?
Rumah Mas Amin
kemudian menjadi “markas” kami berempat selama di Banyuwangi. Jika
diingat-ingat, kami hanya melakukan 7M disana. Mbadhok (makan; bahasa
kasar), Mbatang (tidur terus; aduh agak sulit nyari translatenya), Mblakrak
(artinya seperti bepergian; agak sulit nyari arti yang tepat), Mbolang (jalan-jalan),
Mbangkong (tidur hingga siang), Mbrojot (BAB), Mblolak-mblolok
(hanya Pakdhe Ruhul yang mengalami ini. Dijamin, anda akan terpingkal
setelah mendengar ceritanya)
Duh duh...
Perlakuan Mas
Amin dan Ibunya yang baiiiik sekali semakin menambah ke-sungkan-an kami selama disana. Kami merasa
malu sekalipun muka-muka kami pada hakikatnya sudah teranyam dari bambu (rai
gedhek).
Malam rabu. Kami mengunjungi rumah Mas Najib.
Sepulangnya dari sana, kami “menyita” laptop Mas Najib karena ia tertangkap
basah memiliki drama korea Descendant of the Sun.
Sesampainya di
rumah Mas Amin, kami menonton drakor Descendant of the Sun dari jam sebelas
malam hingga jam tiga pagi, beristirahat sebentar hingga shubuh, kemudian
setelah shubuh langsung menonton lagi hingga jam setengah empat sore. Itupun terhenti
gara-gara laptopnya tiba-tiba ceket dan sama sekali nggak bisa
diapa-apakan. Akhirnya kami memutuskan untuk mem-force shutdown dan
mendiamkannya beberapa saat. Jam lima sore kami menyalakannya lagi dan
menontonnya kembali hingga sekitar pukul sembilan malam.
*Segala rencana
yang telah tersusun di hari itu buyar gara-gara kami menonton Descendant of the
Sun. Jika belum nonton, saya sarankan untuk tidak menontonnya! awas kecanduan!
Malam kamis. Seusai kami mematikan laptop, kami meluncur
menuju rumah Mas Niam di Mangir. Rencananya, esok pagi kita akan melihat
sunrise di pantai boom. Namun karena kami mengamalkan 7M, rencana tersebut
tinggallah sebuah rencana. Kami tak jadi berangkat. Setelah shubuh kami malah mbatang
dan akhirnya mbangkong. Karpet yang membalut spon empuk memang
rasa-rasanya terlalu sia-sia jika ditinggalkan terlalu cepat. Setelah terbangun,
kami mbadhok dan mbrojot. Kami baru berangkat mbolang dan mblakrak
sekitar jam 10 pagi. Mas Niam ikut dalam rombongan kami kali ini.
Siang itu,
rencananya kita hendak ke pantai Watu Dodol. Namun apalah daya, cegatan polisi
menggagalkan rencana kami kali ini. Padahal tinggal sak-encrutan lagi
kami sampai kesana. Apes. Akhirnya kami kembali dan berhenti di pesarean Datuk
Ibrahim untuk berziarah sekaligus sholat dhuhur. Padahal yang meminta ke pesarean
adalah Pakdhe Ruhul. Namun setibanya disana, hanya Mas Amin, Syamsul, dan
Marwan yang “berziarah”. Saya dan Pakdhe Ruhul malah saling melakukan tasmi’
ringan. Mas Niam sibuk membetulkan hpnya yang agak rusak.
Setibanya disana,
kami disambut oleh anak-anak kecil yang ternyata adalah adik-adik Shofi dan
teman-teman bermainnya. Sesuai tebakan saya, adik-adik Shofi sudah terlihat
cantik sekalipun belum remaja. Yah nggak heran lah, lha wong Shofi nya aja
nggantengnya kayak gitu.
Namanya Nisa dan
Aini. Karena si Nisa sudah agak besar, jadi saya hanya berani mencium si Aini. Ia
berbicara dengan bahasa osing. Ketidakmengertian saya akan bahasanya semakin
menambah keimutan dirinya. Tiap kali ia berbicara, ia selalu tersenyum. Tiap
kali ia tersenyum, Aini terhias oleh lesung pipit mungil disebelah kanan
bibirnya. Duh duh, maning-maning isun, mung sewates angen, kembyang-kembyang
kertas, klendai paran!
Di perjalanan
pulang, kami—tanpa Shofi—mampir ke rumah Mas Dana di Rogojampi. Kami sampai
dirumahnya sekitar pukul lima sore. Disana kami kembali bertemu dengan Mas
Najib yang kemudian menagih siapapun yang menonton Descendant of the Sun di
laptopnya untuk masing-masing membayar 10.000 rupiah, kemudian dinaikkan
menjadi 20.000 rupiah karena terjadi suatu masalah kecil pada laptopnya.
Kami juga
berjumpa dengan Mas Arip dan Mas Sholeh yang tengah berkunjung kesana.
Seusai makan
bakso yang ditraktir oleh keluarga Mas Dana, kami pamit pulang ke Bangorejo.
BERSAMBUNG...
BERSAMBUNG...




0 komentar:
Post a Comment