Monday, July 18, 2016

7M di Banyuwangi Part 1

0

Banyuwangi. Kota ini (Banyuwangi itu kota, tah?) memang tak seperti Jogja yang katanya tersusun dari kenangan, maupun seperti Jember yang tersusun dari polisi tidur. Namun setelah pertama kali mengunjunginya, tiba-tiba beberapa memoar meminta tempat yang khusus di hati untuk menetap disana, meminta agar mereka tak dilupakan begitu saja.

Akhirnya, 11 Juli 2016 lalu saya berkesempatan untuk kembali mengunjunginya bersama dengan Pakdhe  Ruhul, Syamsul, dan Marwan. Kami membawa dua sepeda motor. Saya (terus-menerus) membonceng Pakdhe Ruhul, sedangkan Syamsul dan Marwan saling bergantian menyetir.

Niat awal kami sebenarnya hanyalah bersilaturrahmi pada teman-teman yang bertempat tinggal di Banyuwangi. Setelah dipikir-pikir, muncul niat-niat lain yang sepertinya kurang pantas dan terlalu vulgar bila disebutkan di sini. Hahaha, mau tau tah?

Kami berangkat di hari senin menjelang ashar, dan baru sampai di rumah Fariz yang terletak di Karangharjo-Glenmore sekitar jam lima sore. Harusnya perjalanan bisa ditempuh lebih cepat jika kami tidak diguyur hujan di sepanjang jalan.

Di Garahan, hujan mulai turun menyapa. Kami menepi sebentar untuk memakai jas hujan yang dibawa oleh Syamsul. Apesnya, jas hujan yang saya pakai tersebut ternyata bau kencing kucing. Karena mendesak sekali, akhirnya terpaksa saya memakainya. Beberapa saat kemudian, hujan yang semakin deras memaksa kami untuk menepi sebentar.

Tidak tahan dengan bau kencing kucing yang menyengat, saya melepasnya. Sesaat setelah saya melepas jas hujan tersebut, saya teringat dengan adanya jas hujan yang cukup nyaman dalam sepeda motor yang saya naiki. Padahal sebelum berangkat, saya sudah mengingat-ingat kalau ada jas hujan di sepeda motor tersebut.

Entah untuk keberapa kalinya saya mengutuk betapa pelupanya diri ini. Akhirnya saya memakai jas hujan yang nyaman, dan jas hujan yang bau itu dipakai Marwan.

Sesampainya di rumah Fariz, saya baru sadar jika jaket yang saya kenakan mulai berbau kencing kucing. Tentu saja, jaket Marwan mengalami kondisi yang sama dengan jaket saya. Akhirnya jaket tersebut kami tinggalkan dirumah Fariz dengan harapan jaket kami akan dicucikan oleh keluarganya :p.

Disana, kami disuguhi berbagai macam makanan dan beberapa wejangan dari bapaknya Fariz. Sebenarnya, kami hendak melanjutkan perjalanan setelah makan dan beristirahat sebentar disana. Namun dikamar Fariz, kami tergoda saat melihat pemandangan yang jauh lebih menggiurkan dari aurat wanita, yaitu dua buah stik PS. Walaupun sudah dijamah, dipegang, diremas dan dipencet-pencet oleh puluhan lelaki, stik PS tetap saja terlihat menggoda bagi kami.

Stik tersebut masih menancap dilaptop dengan spesifikasi keren, dan game PES 2013 update terbaru tinggal menunggu klik saja untuk dimainkan. Budyal!

Awalnya kami sudah berjanji akan menghentikan permainan setelah bermain dua kali. Namun janji hanyalah janji. Siapa sih yang tahan dengan rayuan PES? Apalagi tidak adanya ustadz-ustadz senior dari kesantrian membuat permainan kami semakin tak terhentikan. Tidak ada yang akan merampas stik PS kami kali ini! Ayo sikat wes!

Malam selasa. Dari sekitar jam 7 malam kami bermain PES 2013 dan baru berhenti bermain sekitar jam 12 malam, kemudian rehat sebentar untuk “menebus dosa”. Setelah selesai, saya, Fariz dan Pakdhe Ruhul melanjutkan permainan. Saya selesai sekitar jam 2, sisanya baru tertidur di jam 3 pagi. Beberapa jam kemudian, kami berempat ditambah Fariz, meluncur menuju kediaman Mas Amin di Bangorejo.

Mas Amin sendiri adalah...........

*Saya kurang bisa mendeskripsikan Mas Amin hanya dalam satu atau dua paragraf singkat. Kurang afdhal rasanya. Sebenarnya sudah ada beberapa anak yang menginginkan saya untuk menulis mengenai Mas Amin. Jika ada lima orang lagi yang meminta hal yang sama, insyaallah saya akan menuliskannya. Jadi paragraf diatas di skip saja yaaaa?

Rumah Mas Amin kemudian menjadi “markas” kami berempat selama di Banyuwangi. Jika diingat-ingat, kami hanya melakukan 7M disana. Mbadhok (makan; bahasa kasar), Mbatang (tidur terus; aduh agak sulit nyari translatenya), Mblakrak (artinya seperti bepergian; agak sulit nyari arti yang tepat), Mbolang (jalan-jalan), Mbangkong (tidur hingga siang), Mbrojot (BAB), Mblolak-mblolok (hanya Pakdhe Ruhul yang mengalami ini. Dijamin, anda akan terpingkal setelah mendengar ceritanya)

Duh duh...

Perlakuan Mas Amin dan Ibunya yang baiiiik sekali semakin menambah ke-sungkan-an kami selama disana. Kami merasa malu sekalipun muka-muka kami pada hakikatnya sudah teranyam dari bambu (rai gedhek).

Malam rabu. Kami mengunjungi rumah Mas Najib. Sepulangnya dari sana, kami “menyita” laptop Mas Najib karena ia tertangkap basah memiliki drama korea Descendant of the Sun.

Sesampainya di rumah Mas Amin, kami menonton drakor Descendant of the Sun dari jam sebelas malam hingga jam tiga pagi, beristirahat sebentar hingga shubuh, kemudian setelah shubuh langsung menonton lagi hingga jam setengah empat sore. Itupun terhenti gara-gara laptopnya tiba-tiba ceket dan sama sekali nggak bisa diapa-apakan. Akhirnya kami memutuskan untuk mem-force shutdown dan mendiamkannya beberapa saat. Jam lima sore kami menyalakannya lagi dan menontonnya kembali hingga sekitar pukul sembilan malam.

*Segala rencana yang telah tersusun di hari itu buyar gara-gara kami menonton Descendant of the Sun. Jika belum nonton, saya sarankan untuk tidak menontonnya! awas kecanduan!

Malam kamis. Seusai kami mematikan laptop, kami meluncur menuju rumah Mas Niam di Mangir. Rencananya, esok pagi kita akan melihat sunrise di pantai boom. Namun karena kami mengamalkan 7M, rencana tersebut tinggallah sebuah rencana. Kami tak jadi berangkat. Setelah shubuh kami malah mbatang dan akhirnya mbangkong. Karpet yang membalut spon empuk memang rasa-rasanya terlalu sia-sia jika ditinggalkan terlalu cepat. Setelah terbangun, kami mbadhok dan mbrojot. Kami baru berangkat mbolang dan mblakrak sekitar jam 10 pagi. Mas Niam ikut dalam rombongan kami kali ini.

Siang itu, rencananya kita hendak ke pantai Watu Dodol. Namun apalah daya, cegatan polisi menggagalkan rencana kami kali ini. Padahal tinggal sak-encrutan lagi kami sampai kesana. Apes. Akhirnya kami kembali dan berhenti di pesarean Datuk Ibrahim untuk berziarah sekaligus sholat dhuhur. Padahal yang meminta ke pesarean adalah Pakdhe Ruhul. Namun setibanya disana, hanya Mas Amin, Syamsul, dan Marwan yang “berziarah”. Saya dan Pakdhe Ruhul malah saling melakukan tasmi’ ringan. Mas Niam sibuk membetulkan hpnya yang agak rusak.

Karena perut sudah agak lapar, jadinya kami melanjutkan perjalanan ke rumah Shofi.

Setibanya disana, kami disambut oleh anak-anak kecil yang ternyata adalah adik-adik Shofi dan teman-teman bermainnya. Sesuai tebakan saya, adik-adik Shofi sudah terlihat cantik sekalipun belum remaja. Yah nggak heran lah, lha wong Shofi nya aja nggantengnya kayak gitu.
 
Syafiq besar-Nisa-Aini-Syafiq kecil-Gaktau namanya-Mas Amin-Marwan-Syamsul
Namanya Nisa dan Aini. Karena si Nisa sudah agak besar, jadi saya hanya berani mencium si Aini. Ia berbicara dengan bahasa osing. Ketidakmengertian saya akan bahasanya semakin menambah keimutan dirinya. Tiap kali ia berbicara, ia selalu tersenyum. Tiap kali ia tersenyum, Aini terhias oleh lesung pipit mungil disebelah kanan bibirnya. Duh duh, maning-maning isun, mung sewates angen, kembyang-kembyang kertas, klendai paran!

Sesuai dengan prediksi dan harapan kami, Kami dijamu dengan (nasi) hangat disana. Hehe. Seusainya, kami—ditambah dengan Shofi—langsung  meluncur ke Taman Suruh untuk berenang. Diantara kami semua, cuma saya yang nggak berenang. Sebenarnya saya ingin sekali berenang, namun... alah nggak usah curhat deh.

Di perjalanan pulang, kami—tanpa Shofi—mampir ke rumah Mas Dana di Rogojampi. Kami sampai dirumahnya sekitar pukul lima sore. Disana kami kembali bertemu dengan Mas Najib yang kemudian menagih siapapun yang menonton Descendant of the Sun di laptopnya untuk masing-masing membayar 10.000 rupiah, kemudian dinaikkan menjadi 20.000 rupiah karena terjadi suatu masalah kecil pada laptopnya.

Kami juga berjumpa dengan Mas Arip dan Mas Sholeh yang tengah berkunjung kesana.

Seusai makan bakso yang ditraktir oleh keluarga Mas Dana, kami pamit pulang ke Bangorejo.

BERSAMBUNG...


0 komentar:

Post a Comment