![]() |
| https://m2indonesia.com/wp-content/uploads/sites/2/2015/07/bengawan-solo.jpg |
Ketika keadaan mengharuskan saya untuk pergi ke Solo, saya mengingat sesuatu, bahwasanya dulu Solo menjadi kota yang paling ingin saya kunjungi. Lha bagaimana tidak, banyak sekali penyanyi terkenal favorit saya yang menyematkan 'Solo' sebagai gelar mereka. Ada Afgan, Agnes, Ebiet G Ade dan masih banyak lagi. Ya, mereka-mereka adalah penyanyi solo. Itu dulu, saat saya masih suka bermain dan mendengarkan musik.
Haha. Bercanda. Bukan karena itu kok.
Jadi, dulu sewaktu saya masih aktif berlatih bersama grup musik Kroncong yang lumayan sering diundang di luar kota, saya dikenalkan pada lagu Bengawan Solo. Lagunya terasa familiar, mungkin karena sering didendangkan dimana-mana. Apalagi Bengawan Solo sering sekali muncul di pelajaran SD saya. Beberapa hal tersebut bahu-membahu membuat saya ingin tahu, 'memangnya Solo itu seperti apa?'. Btw, saya pernah diminta jadi vokalis lho. Dulu suara saya sempat merdu nan melengking tinggi. Ndak percaya juga ndakpapa, toh sekarang saya juga tak akan bisa membuktikannya. Namun permintaan itu tak pernah saya lakukan, karena saya harus bersekolah di Jember. Rasanya juga tidak mungkin bila seminggu sekali pulang ke Lumajang hanya untuk berlatih kroncong. Akhirnya saya pensiun dini.
Kembali ke Solo.
Seringkali Solo dikaitkan dengan kehalusan. Entah itu perangainya, tutur katanya, bahkan mungkin hingga kapas-kapas yang dijual disana. Semuanya halus. Memang sih, sama sekali saya tak menemui adanya kekasaran-kekasaran selama 2 hari yang saya habiskan di Solo kemarin. Lha ketika kemarin kami mengikuti agenda Dr Muinudinillah, kami memarkir motor pinjaman seharian didepan warung tanpa membeli apa-apa. Sewaktu kami mengambilnya, ada kertas terselip bertuliskan ''bukan parkir umum, nekad, gemboos!" di setir sepeda motor. Saya juga mendapat sepotong senyuman dari ibu-ibu yang saya duga menjadi pemilik warung tersebut. Eh tapi motornya tidak digembosi kok.Alus tenan kan?
Keramahtamahan juga selalu kami dapatkan dimana-mana. Entah itu dari teman-teman Mamduh yang kos-kos mereka menjadi tempat istirahat kami selama disini, entah itu dari Dr Muinudinillah dan putra-putranya, entah itu dari ibu-ibu penjual makanan, tukang parkir, kucing, burung, bahkan semut pun juga menunjukkan keramahtamahannya.
Solo juga sering dikaitkan dengan budaya Jawa. Ketika kami kemarin berkesempatan memasuki hotel Royal Surakarta Heritage, kami melihat banyak sekali benda-benda yang sepertinya bernilai budaya seperti guci-guci besar, topeng-topeng kayu, batik dan banyak lagi hal-hal yang menonjolkan kesan budaya. Kalau ndak salah, saya juga sempat melihat ada lembaga pendidikan batik ketika menyusuri jalan di sana.
Solo juga sering dikaitkan dengan Al mukarrom Jokowi. *Ndaknyambung
Ohya, masjid-masjid disini bagus-bagus. Ah betapa senangnya jikalau kelak dapat tinggal disini. Mau ke masjid manapun rasanya oke oke saja. Hal ini membuat saya menduga, mungkin Solo terbentuk dari kata Arab 'sholluu' yang berarti sholatlah kalian. Makanya, masjid-masjid ya dibuat bagus-bagus untuk mengimbangi kata perintah tersebut biar ndak timpang. Sholluu! Sholluu!
Ohya. Saya masih bingung. Sebenarnya Surakarta dan Solo itu bedanya dimana ya? Yowislah, tak browsing dulu. Tulisan ini sampai disini saja.
Terimakasih
Probolinggo-Leces, diatas nggronjal-nggronjalnya jalan raya, di dalam bus Jogja-Bwi dan ditengah batuk yang menjadi-jadi


0 komentar:
Post a Comment