Saturday, January 27, 2018

Sang Waktu 3

17



*Ini adalah lanjutan dari Sang Waktu dan Sang Waktu 2

"Jangan pulang dulu. Masih hujan"

Memangnya kenapa kalau hujan? 

"Berteduhlah barang sejenak, berhujan-hujan akan membuatmu sakit", lanjutnya. Aku kembali duduk disofa setelah menutup sibak tirai jendela. 

"Hujan tak pernah membuatku sakit, tenang saja", balasku dengan senyum yang sedikit ku permanis. Semut-semut yang sedari tadi sibuk berkerumun di remah-remah kue yang tertinggal di piring suguhan sejenak terdiam dan mulai memperhatikanku. 

Jika dahulu Ratu Semut menyuruh semut-semut untuk masuk kembali ke sarangnya agar tak diinjak Sulaiman alaihissalam dan balatentaranya, sepertinya sekarang Ratu Semut kembali menyuruh para semut untuk tak percaya dengan perkataanku. 

"Ayo terus bekerja, jangan hiraukan dan jangan percaya omongan dia! Cukup aku saja yang percaya! Perasaan ini berat, kalian tak akan kuat. Biar aku saja!", hentaknya pada para semut. Aku tersenyum, sebagaimana diceritakan jika Sulaiman juga tersenyum saat mendengar perkataan Ratu Semut. 

Ah, karya Mas Pidi Baiq mah, ternyata tak hanya dinikmati oleh manusia belaka.

"Sungguh aneh tapi nyata...", aku mencoba mencandai semut-semut dengan menyanyikan selirik nada. Mereka tak menghiraukanku, sementara Ratu Semut makin tersipu mendengar lantunanku. Sepertinya kau menyuruh anak buahmu untuk terus bekerja agar tak ada lagi yang memandangiku disini selain dirimu kan, Ratu? 

"Hey!"

"Hey hey halo! nglamun apa sih kok senyum-senyum sendiri", teriak Alya. 

Aku semakin memperlebar senyum. Alya bingung. Ratu Semut tak tak lagi tersipu, ia memicingkan mata pada Alya. Ah sudahlah Ratu, tak perlu cemburu. Dia bukanlah sainganmu. Kau seorang Ratu, sedangkan dia hanyalah...

"Hanyalah manusia yang padanya kau sering melabuh rinai rindu", potong Ratu, menggerutu. Kugaruk kepala, kulepas sedikit tawa. Alya semakin bingung. Ratu, semakin menggerutu. Cemburu.

"Jika hujan tak pernah membuatmu sakit, lalu mengapa kau sering sakit, wahai Tuan Pecinta Hujan?", tanya Alya

Aku hanya punya senyuman sebagai jawaban. Aku berpura-pura ingin tetap pulang. Kulangkahkan kaki kepintu setelah menyambar tas yang kuletakkan di atas galon dispenser biru.

"Jangan pulang! Akan kubuatkan susu hangat lagi", tahan Alya, setengah berteriak. Yap, strategiku berhasil.

"Nggak usah, Al. Aku sudah banyak minum dari tadi", terus saja kulangkahkan kaki.

"Aku punya gitar baru!", ujarnya. aku berhenti sejenak. "... dan harmonika. Ayolah, main dulu barang 1 atau 2 lagu", rengeknya seraya bergegas menuju kamar untuk mengambilnya.

Ah Alya, yang kuinginkan adalah kau menawarkan nasi goreng atau mie kuah. Bukan gitar dan harmonika. Memang, aku tak akan menolak gitar dan harmonika, namun jika yang kau tawarkan itu, jadinya aku kan nggak bisa dapat makanan gratis.

"Jangan merengek. Jelek", candaku, bohong. Kau tetap cantik bagaimanapun ekspresimu. "Kenapa tak dari tadi kau keluarkan gitar dan harmonikanya?"

"Kalau dari tadi kukeluarkan, mana bisa selesai konsep drama musikal untuk wisudamu besok, Tuan Yang Banyak Akal?"

Jangan bilang kalau kau sadar bahwa aku hanya berpura-pura mau pulang agar kau menahanku dengan tawaran nasi goreng atau mie kuah, Al.

"Oke oke, sini lemparkan gitarnya"

"Jangan! nanti jatuh"

"Kalau begitu, lempar saja tubuhmu padaku. Kau dapat menuntutnya pada Jaksa jika sampai aku gagal menangkapmu"

"Baik, tapi dengan tinju dan tendang yang mendarat dahulu", candanya seraya mendekat dengan gitar di tangan kirinya setelah harmonika yang ia pegang di tangan kanannya dilemparkan padaku.

"Bento, Mas", pintanya. "Setelah itu, Terlalu Manis dan Gembala Sapi", ia memintaku untuk memainkan lagu-lagu yang memang cocok untuk dimasuki irama blues harmonika.

Aku tertawa kecil. Kuraih gitar darinya setelah meletakkan harmonika. Sebenarnya bisa-bisa saja aku memainkan gitar dan harmonika tanpa holder harmonika. Tentu saja, hal itu akan memperburuk transisi nada di harmonika. Aku juga tak bisa bernyanyi jika harus tetap memaksa bermain tanpa holder karena bibirku harus tetap mencengkram harmonika. 

"Oh Iya, aku lupa belum beli holdernya. Sini biar aku saja yang main harmonikanya", Alya meraih harmonika yang baru saja kuletakkan di meja.

Aku mulai memainkan fingerstyle nada intro. Alya tak kunjung memainkan harmonika. Ia hanya terdiam setelah aku mulai menyanyikan bait pertama. 


"Tiba saat mengerti, jerit suara hati. Letih meski mencoba. Melabuhkan rasa yang ada...",

Aku sengaja memilih lagu yang tak Alya pinta, juga Lagu yang memang tak ingin ia dengar. Lagu yang ia benci. Paling ia benci jika aku menyanyikan lagu itu untuknya

Alya mengambil bantal sofa, mendekapnya diwajah. Ia mulai sesenggukan. Aku tetap saja melanjutkan. 


"Mohon tinggal sejenak, lupakanlah waktu, Temani air mataku, teteskan lara. Merajut asa, menjalin mimpi, endapkan sepi-sepi"

Ia semakin sesenggukan seiring menggemuruhnya hujan. 

Apa kau tahu, Al? Gemuruh hujan tak segemuruh dadaku. 

Tetap saja kucoba untuk melanjutkan lagu, sembari menahan.

Bukannya aku tak mau memberitahumu, Al. Hanya saja, memang ada beberapa hal yang tak bisa ku ceritakan, termasuk kemana tujuanku setelah wisuda. 

"Cinta 'kan membawamu, kembali disini, menuai rindu. Membasuh perih"

"Kamu akan kembali kesini kan, Mas? Iya kan? Kau tak perlu bercerita mengani tujuanmu selanjutnya, namun berjanjilah untuk pulang ke sini", ia berusaha menyusun kata, terbata-bata.

Kuhentikan permainan gitarku, lalu pamit dengan perlahan, tanpa menjawab pertanyaan, tanpa memberikan pernyataan.

Alya tak lagi menahanku pulang. 

Diluar masih hujan. Momen yang sempurna untuk pulang bagi pecinta hujan. Tanpa kupasang jas hujan, aku pulang.

Apa kau tahu apa alasanku mencintai hujan, Al? 


Karena hujan bisa menyamarkan air mata, meskipun tak sempurna, Al. 

Karena aku mencintaimu dan tak ingin terlihat lemah jika aku menangis dihadapanmu, Al.

*Lanjutan : Sang Waktu 4 (Tamat)


Tuesday, January 23, 2018

Goda-Menggoda

9


Hasrat memuncak, tertutuplah pintu rapat-rapat. 

Matanya mengerling merdu. Terkembang senyum manis madu. Wewangian berbaur mesra dengan engah nafas yang memburu. Beberapa berkas cahaya yang masih diam berdekam di beberapa sudut ruang yang harusnya gulita setelah tertutupnya pintu itu memberikan colour grading yang sempurna di sisi-sisi tubuh dan wajahnya, begitu ayu. 

"Kemarilah", ujarnya. Tak lagi hirau malu.

"Ma'aadzallaah. Aku berlindung pada Allah", tolak sang pemuda yang sedang berdua dengan wanita yang bahkan desah nafasnya pun begitu menggoda.

Betapa tidak ia digoda. Parasnya memang teramat rupawan, akhlaknya teramat menawan. Ia bak madu dingin dalam cawan. Semua berebut meneguknya. Beberapa bahkan tak lagi menganggapnya sebagai manusia, "Maha Sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Ini benar-benar malaikat yang mulia"

Namun, fitrahnya sebagai pemuda membuatnya sempat sedikit tertarik untuk "melakukannya" jua. Dan seketika itu Allah SWT memalingkannya. Begitu cepat. Jadilah ia berlari menjauh hingga terkoyak baju bagian belakangnya, karena wanita yang sudah dikuasai memburunya nafsu itu tak rela melepasnya.

*****

Masih di surat Yusuf, surat yang beberapa ayatnya terus membuat saya malu dengan diri saya sendiri tiap kali membacanya (kalau lagi fokus). 

Betapa tidak, kesempatan sedemikian rupa sudah didepan mata, dan Yusuf lebih memilih untuk lari daripada memperturutkan keinginannya. Ini juga bukan hanya tentang kesempatan, namun juga sebuah tekanan. Tekanan dari rasa sungkan karena selama ini, Yusuf alaihissalam tinggal dirumah itu dan wanita tersebutlah yang membesarkan dan merawatnya setelah Yusuf as dibeli dengan harga murah dari kafilah yang menemukannya di dasar sumur. Bertingkat-tingkatlah beban yang seharusnya mampu memposisikan Yusuf  untuk menuruti keinginan sang wanita. 

Ah betapa malunya saya yang justru menjadi kebalikan dari apa yang dilakukan Yusuf alaihissalam. Bagaimana tidak? Yusuf mampu bertahan dari godaan sedemikian rupa. Lah, saya malah mencari-cari kesempatan untuk menggoda. 

"Iyakah? Bukannya kamu kalau ketemu wanita selalu kaku ya?"

Nggak percaya? Saya sering kok nggoda-nggoda wanita. Namun nggodanya ya gitu-gitu aja di situasi yang kurang lebih seperti itu juga.

Kurang lebih seperti ini.

Saya : "Ayolah, plis. Mau yaa mau yaa?"
Dia : "Jangan mas, jangaaan"
Saya :  "Ayolah, masak kamu juga nggak kepengen sih?"
Dia : "Emmmmmm"
Saya : "Mau ya mau yaaa?"
Dia : "Nanti kalau ketahuan, saya bisa dimarahi banyak orang"
Saya : "Kita hadapi bersama"
Dia : "Iya, nanti yang enak kamu, Mas. Saya yang sengsara setelahnya"
Saya : "Masak sih nggak bisa? sedikiiit saja"
Dia : "Kalau maksa ngrayu buat nurunin harga, sana ke pasar mas!"
Saya : "Jadi mbak nggak mau ngasih potongan harga ya?"
Dia : "Mau, tapi mas harus punya kartu member"
Saya : "Oh ada, sebentar.... Ini"
Dia : "Kartu member Mas Toga mana bisa dipake di sini. Sini kan Gramedina -_-"
Saya : "Oh nggak bisa ya, kalo bukunya nggak pake kantung plastik, apa bisa dapat potongan harga?"
Dia : "Dapat mas. Potong bebek angsa sana!!! *sambil menggigit bantal*"

Yah begitulah godaan saya yang akhirnya gagal juga.

*****'

Mengenai "ketertarikan" Yusuf untuk "melakukannya", saya lebih setuju dengan apa yang disampaikan oleh Syaikh Subhi saat talaqqi, bahwa "tertarik" disitu bukan diartikan sebagai "tertarik" untuk melakukannya. Namun "tertarik" untuk mendorong wanita itu sehingga Yusuf memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Wallahu a'lam.

*Mungkin, anda pernah membaca beberapa potong kalimat serupa seperti yang saya tulis diatas. Saya memang pernah mempostingnya di salah satu media online, namun dengan bahasan yang berbeda. 

Wednesday, January 17, 2018

Tadabbur Surat Yusuf : Jalan Sukses

3



 "Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik” [Yusuf:3]

Kisah terbaik. Bukan main julukan yang Allah berikan pada kisah Nabi Yusuf Alaihissalam dan keluarganya. Julukan yang tidak berlebihan karena didalamnya, termuat kisah mengenai kasih sayang, kecemburuan, ujian, godaan, fitnah, kepercayaan, dengki, kebesaran hati, perwujudan mimpi, dan masih banyak lagi jika kita mau mentadabburinya lebih dalam lagi. Kisah yang saya cintai, kisah yang berawal dari mimpi dan berakhir dengan terwujudnya mimpi.

Berbicara mengenai “terbaik”. Mari kita kosongkan pikiran terlebih dahulu, lalu coba cari benang merah  antara “terbaik” dengan “sukses”, agar kita dapat memetik pelajaran dari jalan suksesnya Yusuf Alaihissalam.

Ketemu?

“Enggak”

Baik, saya beri contoh bagaimana cara mencari hubungannya.

Ada hubungan antara “senyum” dengan “tangis”. Bagaimana bisa? Jadi begini.

Suatu hari, akhwat bercadar tersenyum pada saya. Saya yang ke-GR-an, menganggapnya sebagai pertanda ia menyukai saya. Akhirnya saya menyiapkan segala buat mempersuntingnya. Di hari-H saat saya mencoba datang untuk melamarnya, eh ternyata dia tak menyukai saya, keluarganya juga tak menyukai saya. Tapi kucingnya menyukai saya, mungkin karena saya bau amis. Jadilah saya menangis dibuatnya.

Paham? Ada sebuah proses yang terjadi sebagai penghubung antara “senyum” dan “tangis”

Dan contoh diatas hanyalah contoh rekaan belaka. Lagian, mana bisa saya tahu apakah dia tersenyum atau tidak jika ia bercadar?

“Kan bisa memperhatikan rona matanya.”

Andaipun ketahuan dari  matanya, ya mana saya tahu? Saya kan sedang menundukkan pandangan saat itu. *eaaa

Kembali ke hubungan antara “Terbaik” dan “sukses”.  Ada dua ayat beredaksi hampir mirip, yang menjadi indikator kesuksesan yang diraih oleh Yusuf Alaihissalam.

Di ayat 21, Yusuf kecil yang dibenci saudaranya, dibuang di sumur nun jauh disana, dijual dengan harga seadanya... Allah tempatkan  di sebuah keluarga dimana Yusuf tak memiliki pilihan lain selain tinggal disana.

“Dan demikian itu, kami beri kedudukan pada Yusuf, agar Kami dapat mengajarkannya....”
  
Berselang 35 ayat setelahnya, Allah kembali mengulang ayat tersebut, dengan redaksi berbeda, 

Dan demikian itu, kami beri kedudukan pada Yusuf di Bumi, agar ia dengan tinggali dimana saja yang dia mau.....”

Diawal, Allah memberi Yusuf AS tempat tinggal tanpa Yusuf AS bisa memilihnya. Dan ayat kedua menunjukkan jika kini Yusuf AS bisa bertempat dimanapun sak penake, atau dalam artian lain, Yusuf AS sudah menjadi orang sukses karena sekarang ia bisa kemanapun, atau dalam istilah modern, mungkin seperti travelling, hiking, snorkling, dang –ing –ing yang lain.

Penak kan? Ya, mana ada sukses yang ra penak.

“Ada kok”

Sudah jangan berdebat disini. Jangan ngganggu saya nulis dulu.

Tentu saja, kesuksesan yang dialami Yusuf  AS itu tak ujug-ujug datang. 35 ayat yang berjejer diantara 2 ayat yang saya sebutkan diatas memberitahu kita, bahwa jalan menempuh kesuksesan itu dipenuhi dengan kebencian orang sekitar, tak dihargai, tak diperdulikan, banyak rayuan, banyak fitnah bertebaran, disalahkan padahal tak salah, dilupakan.

Mengerikan bukan?

Namun, bentang 35 ayat tersebut juga mengajarkan bahwa akan ada kesempatan untuk meraih kesuksesan, jika kita kita tetap menjadi orang yang ikhlas, jujur dan baik dalam melewati semua ujian diatas. Iya kan, Bu?


“Sebentar, sebentar. Saya dari tadi nggak paham dengan apa yang samean bicarakan mas. Kayak gak ada poinnya, nggak jelas juga. Pembahasan yang saya cari juga gak ada”

Memangnya apa yang kau cari?

“Tips menjadi ganteng ala-ala Nabi Yusuf”

Haish --'

Gak perlu jadi ganteng bro. Jadilah sukses. Jika Nabi Yusuf yang sukses bisa dengan bebas memilih kedudukan dimana saja, maka dengan kesuksesan, insyaaAllah kau akan dapat melabuhkan hatimu dimana saja, Bro.

Wallaahu a’lam 

"Judulnya nggak nyambung sama isi tulisannya mas, tadabburnya mana?"

Oh iya 

Tuesday, January 16, 2018

Sudah, Biar Aku Saja

1



Sebenarnya, rasa yang kau simpan telah kuketahui. Begitu pula dengan dirimu yang sepertinya juga telah mengetahui perasaanku. 

Hanyasanya, kita berdua sama-sama spesies pemalu. Kau malu untuk mengakui rasa itu, sedangkan aku juga terlalu malu untuk mengungkap bahwa sebenarnya, ini adalah rasa milikmu.

Apa perlu kulanjutkan? Aku dapat merasakan degup jantungmu mulai mengencang.

Sepertinya, kau tau bahwa aku lebih memilih untuk berpura-pura tak mengetahui perasaanmu dan lebih memilih untuk menanggung beban yang seharusnya kau yang menanggungnya. Sedikit mengutip dialog di salah satu scene film Dilan, “…berat. Kau tak akan kuat, biar aku saja”

Masih terbayang manisnya ekspresi berterimakasihmu , saat  kau melihat diriku membuat gestur seolah-olah menandakan aku yang memiliki rasa tersebut ; garuk-garuk kepala, terus saja tersenyum sambil sesekali meminta maaf pada beberapa orang disekitar kita yang terus saja memicingkan mata, murka. 

Sepertinya kau merasa sedikit iba. Sudah, tak usahlah kau berlaku demikian. Salah paham dan cemohan, aku terlalu terbiasa mendapatkannya. 


Hei, santai saja. Aku masih kuat. 


Kau meminta untuk menyudahinya? baiklah jika itu inginmu. 

Kalau begitu berdirilah sekarang. Angkat tangan dan mengakulah jika yang kentut dari tadi adalah dirimu, agar orang orang di halte yang sesak ini tak lagi memperhatikanku dengan pandangan yang kurang mengenakkan. 

Coba perhatikan, ada bapak-bapak yang bahkan menutup telinga dan memejamkan mata setelah lubang hidungnya ia sumbat dengan tutup bolpoin. Ada juga adik-adik yang sibuk menutup lubang-lubang di tasnya agar amoniakmu tak bersarang ditempat mereka meletakkan bekal makanan. Ada juga mas-mas yang menutup resletingnya, meskipun sepertinya bukan karena kentutmu, namun karena diingatkan bahwa resletingnya terbuka dari tadi.

Hei, kau mau pandangan murka mereka beralih kepadamu jika kau mengakuinya?


Iya kan? Sudah kubilang, kau tak akan kuat. Biar aku saja yang menanggung beban dari perasaan yang kau keluarkan dari tadi.

*Tentu saja ini bukan kisah asli.


Thursday, January 11, 2018

Kenangan Yang Terlambat Datang

1

Hujan yang turun berdentingan sedari tadi, kenapa harus datang dengan irama serindu ini?  

Sudah satu jam berlalu, namun langit masih saja abu pekat. Pun dengan angin yang terus bersiur berat. Tak ada satupun gelegar guntur. Atau mungkin ada namun aku saja yang tak menyadarinya. Sepertinya dari tadi yang terdengar hanyalah alunan rast khas Imam Al Mathrud yang diputar oleh masjid sebelah lamat-lamat. 

Dari balik pudar kepul uap temulawak yang baru saja kuseduh, aku menggerutu seorang diri. Bukan pada hujan, namun pada beberapa pendar kenang yang semakin kurang ajar menyita fokusku. 

Sialan. Kenangan macam apa pula ini. Jelas, ini bukan rindu, apalagi cinta yang akhir-akhir ini aku dikira sedang mengidapnya. Sama sekali aku tak tau ini apa. Gelisah benar aku dibuatnya.

Fokus semakin membuyar. Proposal yang bahkan latar belakangnya masih acak-acakan meskipun sudah lebih dari satu jam kukerjakan tak mampu lagi kulanjutkan. Ah biarlah. Kuraih HP, lalu kurebahkan badan dikursi panjang workspaceku.

"Fiq, di pondok hujan?", tanya seorang teman melalui pesan yang baru muncul sesaat setelah aku menghidupkan paket data. 

"Tolong angkatkan jemuran ya?", isi pesan temanku yang satu lagi.

Aku tak lekas membalas pesan mereka. Aku teringat sesuatu. Benar, bukan cinta maupun rindu yang menggelisahkanku. Ini juga bukan sebuah kenangan, melainkan ingatan yang sudah sekian hujan selalu terlambat datang.

Jemuran bajuku belum diangkat! (*)

*Gabungan dari beberapa kisah pribadi

Monday, January 08, 2018

Mencinta dan Laparlah

8

"Mau kopi?", ramah lelaki paruh baya padaku meski sepertinya kami tak saling mengenal. Kugeleng kepala dan kusungging senyum ringan-ringan. Bukannya tak mau, hanya saja Dokter menganjurkanku untuk berhenti meminum kopi. "Ngopi nggak ngopi kau itu tetap saja ngantukan. Daripada keluar uang terus tapi selalu gagal begadang, mending tak usahlah kau beli kopi lagi", anjur dokter saat itu.

Aku mulai duduk disamping lelaki paruh baya tersebut setelah helm dan jaket kuyupku tertanggal sempurna.

"Hati-hati sama cinta, Boy", ujarnya tiba-tiba dengan santai. Sesekali ia menyelentik rokok yang sebenarnya sudah mati, lalu menghisapnya seolah-olah masih menyala.

"Bisa gila kau dibuatnya, Boy", lanjutnya sambil menyeruput segelas kopi yang bahkan ampasnya pun sudah habis ia kunyah dan telan barusan. Aku mencoba untuk diam saja, menghemat energi agar ia bisa dikonsumsi oleh perut yang melilit-lilit sedari tadi.

"Aku dulu pernah jatuh cinta pada janda beranak 9, Boy. Entah kenapa, aku suka dengan sifat keibuannya. Coba bayangkan, Boy. Anaknya yang paling kecil--yang masih berusia 5 tahun--kalau mengompol di kasur, langsung saja ia cuci seprei beserta anaknya sekaligus di mesin cuci. Efektif dan efisien kan?." 

"Sedangkan anak ke 4 hingga 8 yang masih bersekolah baik di SD, SMP, dan SMA, tak pernah ia kasih uang saku. Masing-masing mereka dibawai golok oleh ibunya aga mereka minimal bisa memalak teman sekelas. Itu namanya mengajari kemandirian, Boy"

Cerita yang ia beberkan di kedai kopi tempatku meneduh dari hujan yang kian melebat, mulai agak menarik untuk disimak.

"Anak sulungnya meninggal saat kecil setelah memakan sayur kecubung buatannya, Sedangkan sisanya entah kemana. Kabarnya, mereka sengaja ditinggal di kereta oleh Ibunya karena ia tak tega membangunkan keduanya yang tengah lelap tertidur di bangku kereta"

Mananya yang keibuan? Itu tega namanya. Dan lagi, apa yang ia ceritakan terkesan mengada ada. Ingin sekali ku bertanya, tapi lebih kupilih untuk menghemat energi. Akhirnya, picing mata dan kernyit di dahi kutampakkan sebagai tanda tak percaya. Namun nampaknya, Ia tak memahami bahasa tubuhku. Ia melanjutkan cerita.

"Dulu, ia bercerai dengan suaminya karena suaminya tak kunjung memiliki mobil. Makanya, Boy, siang malam aku bekerja agar lekas lekas dapat membeli mobil untuk mempersuntingnya. Shubuh-shubuh aku keliling 5 desa untuk jualan sayur dan lauk pauk. Agak siang aku mulung sampah sampai sore. Sore sampai tengah malam aku jaga warnet. Tengah malam sampai shubuh, aku jadi pelayan di cafe. 1 bulan kemudian, aku mampu membeli Alphard, Boy"

Ceritanya semakin mengada-ngada. Mana mungkin ia bisa membeli mobil dengan pekerjaan seperti itu dalam waktu sesingkat ini?

"Di hari ke 27 aku kerja, aku menang togel besar, Boy. Langsung saja duitnya kubelikan mobil, sisanya kubelikan susu bear brand. Sudah lama aku tak meminumnya, Boy"

Kini, asal-usul mobil mulai tampak masuk akal.


"Lalu aku datang pada janda tersebut, Boy. Ternyata ia menolakku dengan alasan bahwa aku tak punya helm INK warna hitam. Ternyata dia sederhana sekali, Boy. Aku semakin menggebu untuk menuruti keinginannya. Aku lantas pulang dan menjual mobilku dengan harga murah agar cepat laku, lalu semua uangnya kubelikan helm INK hitam untuk memenuhi keinginannya. Saat aku kembali mempersuntingnya dengan helm, ia kembali menolakku, Boy. Dia malah minta dibuatkan candi dalam semalam. Emangnya aku Mark Zuckerberg apa", ujarnya sambil menggebrak meja. Rokok mati yang ia genggam ia masukkan ke mulutnya, lalu ia kunyah dengan geram. Perasaan yang bikin candi dalam semalam itu Sangkuriang. Sedangkan Mark Zuckerbeg itu yang dikutuk ibunya jadi batu. Ya, sepertinya begitu. 

Aku ingin tertawa, tapi tak kuasa. Meskipun terkesan mengada-ada, namun sepertinya benar juga jika cinta bisa membuat gila. Seperti orang disampingku ini yang tiba-tiba push up sembari tetap mengunyah rokok.

--------------------------------------------

Sebenarnya, seluruh cerita diataslah yang mengada-ada. Kecuali anjuran Dokter pada saya untuk berhenti meminum kopi, itu benar adanya.

Oke, saya mengakui jika cinta mampu kita melakukan hal-hal ekstra hingga membebani fisik dan pikiran secara berlebihan. Seperti halnya saya yang mencintai leyeh-leyeh. Tentu saja, mencintai leyeh-leyeh membuat saya terus bekerja keras dan berusaha untuk terus menerus leyeh-leyeh dengan berbagai cara hingga menemukan format leyeh-leyeh yang pas untuk saya praktekkan.

Hal-hal ekstra yang kita lakukan karena cinta, tentu saja mudah membuat tubuh kita lelah dan lapar.

Kesimpulannya (menurut saya) adalah, harusnya cinta itu maksimal membuatmu lapar. Janganlah sampai kau gila karena cinta.

Dan, sepertinya akhir-akhir ini saya sering lapar. 

Apakah itu dirimu, duhai keripik kentang gurih setoples yang telah membuatku jatuh cinta?

Wednesday, January 03, 2018

AYO NIKAH!

3

HP : "1 message unread" 

Me : pressing open key 

HP : "Message couldn't opened, please take a bath first"

Me : "hah?" 

*****

"Ayo nikah"

Saya termenung beberapa jurus. Waktu yang cukup untuk menjadikan saya menjadi daging 76 bagian jika saya terdiam selama itu di medan perang. Juga waktu yang cukup untuk bagi Joko Bandung untuk menyelesaikan sebuah villa zaman now untuk mengganti 1 candi yang gagal ia tepati pada Nawang Wulan di zaman old. 

Nama pengirim pesan tercantum di kontak hp jadul saya dan itu berarti saya mengenalnya. Konten singkat pesan tersebut membuat saya bingung memilih perasaan. Bukan antara senang, gembira, merasa akhirnya laku juga, atau bahkan jijik dan najis. Tapi antara heran dan sangat heran. Bagaimana tidak. Saya sepertinya bukan orang yang tepat untuk diajak nikah sedini ini. Jangankan tanggung jawab. Main romantis romantisan seperti yang anak-anak SD zaman sekarang lakukan pun saya tak akan bisa. Tak pernah dilatih soalnya. Umm, ada yang mau saya jadikan media berlatih romantis? Laki-laki boleh. Tapi sebagai samsak, media berlatih tendang tinju. 

Saya adalah tipe orang yang masih lebih memilih untuk main PS daripada mengumpulkan uangnya sebagai modal memproduksi tempe untuk kemudian dijual di Mesir, agar bisa bertemu dalam kisah roman dengan Ana Althafunnisa. Saya juga pasti lebih memilih untuk makan mie sedap kremes ayem daripada harus saling suap manja dengan kekasih. Iyalah, kekasih saya mana mampu menyuap cuapi saya, dengan manja pula. 

Kembali ke pengirim pesan. Hubungan yang terjalin diantara kami hanyalah hubungan pertemanan biasa. Sejak saya bersekolah di tingkat sekolah menengah, kami memang sering berkomunikasi, namun itupun sepertinya hanya sebatas bertukar informasi, juga bertukar pandangan mengenai novel dan buku. Komunikasi kami sempat terputus lama. Dan siang itu, pesan mengherankan itu muncul tanpa prolog apa-apa.

Saya lantas menghapus pesan tersebut dan tak mau membahasnya dengan pengirim pesan tersebut. Sepertinya, saat itu hpnya dibajak salah seorang temannya. Saya beranggapan demikian, karena sebelumnya, facebook salah seorang teman shalih saya yang kata-kata mutiara selalu menghiasi dindingnya, tiba-tiba memposting kata-kata aneh dan kotor. Seperti ini,

"Manusia menganggapku baik, padahal aku aneh dan kotor. Siapa lagi kalau bukan Engkau yang menutupi aibku, ya Rabb..."

Sebentar, itu sedang dibajak atau memang itu salah satu kata-kata mutiaranya yang rendah hati? 

abaikan. Mengenai status FB tersebut, saya hanya bercanda dan mengarang.

Suatu hari pula, saya membentuk isyarat love dengan kedua tangan, ditambah beberapa kedip pada seorang bocah SD didepan ibunya. Tentu saja, saya hanya bercanda. Namun kedip saya semakin cepat dan memerih, mungkin kelilipan. Saya sudahi simbol love dengan tangan untuk kemudian mengucek-ngucek mata.

"Jangan adiknya lah, Fiq. Kan ada mbaknya. Sekarang Syafiq umur berapa?", goda ibunya pada saya. Untuk kali ini, saya mengenal kakak dari adik kecil yang saya candai sebagai salah satu dari jajaran most wanted need for speed. Eh maaf, itu kan judul game. 

Tapi memang tak berlebihan jika saya mengkategorikannya sebagai Most Wanted disini. Umm, kalau saya menyebutkan ciri-ciri fisik maupun sifatnya, bisa-bisa saya tertangkap basah oleh para pndd. Pengagumnya dalam diam. Bahkan tanpa disebutkan seperti ini pun, sepertinya sudah ada yang tau ia siapa.

Saya tak berani menjawab pertanyaan ibu itu. Dijawabpun sepertinya ia tak akan percaya, mengingat muka saya yang lebih tua dari muka adik saya. *Iyalah*. Maksudnya, mengingat muka saya yang terlihat lebih tua dari umur saya.

Seketika, degup mengencang dan dengan derasnya keringat bercucuran. Saya berlari berlalu, panggilan ibu itu, saat itu tak lagi saya hiraukan. Namun saya yakin, itu cuma bercanda. Ia memahami saya seperti apa dan saya juga paham model candaannya bagaimana. Degup mengencang itu karena efek kopi, sedangkan saya belum sarapan. Keringat deras bercucuran, itu efek dari saya yang berlari-lari untuk mencari kabel olor dan menyiapkan pembukaan sebuah acara. 

********

Mungkin bagi sebagian orang, pertanyaan "kapan nikah?" adalah pertanyaan horor. 



Tapi percayalah, pertanyaan "kamu siap nikah sama aku" atau pernyataan "ayo nikah" sepertinya jauh lebih horor.

Jadi, apa kamu (yang entah siapa, dimana, apa, kapan, bagaimana dan mengapa) sudah siap saya hororin? Laki-laki boleh. Sebagai pencuci tumpukan baju yang baunya sudah menghorori lemari saya.