*Ini adalah lanjutan dari Sang Waktu dan Sang Waktu 2
"Jangan pulang dulu. Masih hujan"
Memangnya kenapa kalau hujan?
"Berteduhlah barang sejenak, berhujan-hujan akan membuatmu sakit", lanjutnya. Aku kembali duduk disofa setelah menutup sibak tirai jendela.
"Hujan tak pernah membuatku sakit, tenang saja", balasku dengan senyum yang sedikit ku permanis. Semut-semut yang sedari tadi sibuk berkerumun di remah-remah kue yang tertinggal di piring suguhan sejenak terdiam dan mulai memperhatikanku.
Jika dahulu Ratu Semut menyuruh semut-semut untuk masuk kembali ke sarangnya agar tak diinjak Sulaiman alaihissalam dan balatentaranya, sepertinya sekarang Ratu Semut kembali menyuruh para semut untuk tak percaya dengan perkataanku.
"Ayo terus bekerja, jangan hiraukan dan jangan percaya omongan dia! Cukup aku saja yang percaya! Perasaan ini berat, kalian tak akan kuat. Biar aku saja!", hentaknya pada para semut. Aku tersenyum, sebagaimana diceritakan jika Sulaiman juga tersenyum saat mendengar perkataan Ratu Semut.
Ah, karya Mas Pidi Baiq mah, ternyata tak hanya dinikmati oleh manusia belaka.
"Sungguh aneh tapi nyata...", aku mencoba mencandai semut-semut dengan menyanyikan selirik nada. Mereka tak menghiraukanku, sementara Ratu Semut makin tersipu mendengar lantunanku. Sepertinya kau menyuruh anak buahmu untuk terus bekerja agar tak ada lagi yang memandangiku disini selain dirimu kan, Ratu?
"Hey!"
"Hey hey halo! nglamun apa sih kok senyum-senyum sendiri", teriak Alya.
Aku semakin memperlebar senyum. Alya bingung. Ratu Semut tak tak lagi tersipu, ia memicingkan mata pada Alya. Ah sudahlah Ratu, tak perlu cemburu. Dia bukanlah sainganmu. Kau seorang Ratu, sedangkan dia hanyalah...
"Hanyalah manusia yang padanya kau sering melabuh rinai rindu", potong Ratu, menggerutu. Kugaruk kepala, kulepas sedikit tawa. Alya semakin bingung. Ratu, semakin menggerutu. Cemburu.
"Jika hujan tak pernah membuatmu sakit, lalu mengapa kau sering sakit, wahai Tuan Pecinta Hujan?", tanya Alya
Aku hanya punya senyuman sebagai jawaban. Aku berpura-pura ingin tetap pulang. Kulangkahkan kaki kepintu setelah menyambar tas yang kuletakkan di atas galon dispenser biru.
"Jangan pulang! Akan kubuatkan susu hangat lagi", tahan Alya, setengah berteriak. Yap, strategiku berhasil.
"Nggak usah, Al. Aku sudah banyak minum dari tadi", terus saja kulangkahkan kaki.
"Aku punya gitar baru!", ujarnya. aku berhenti sejenak. "... dan harmonika. Ayolah, main dulu barang 1 atau 2 lagu", rengeknya seraya bergegas menuju kamar untuk mengambilnya.
Ah Alya, yang kuinginkan adalah kau menawarkan nasi goreng atau mie kuah. Bukan gitar dan harmonika. Memang, aku tak akan menolak gitar dan harmonika, namun jika yang kau tawarkan itu, jadinya aku kan nggak bisa dapat makanan gratis.
"Jangan merengek. Jelek", candaku, bohong. Kau tetap cantik bagaimanapun ekspresimu. "Kenapa tak dari tadi kau keluarkan gitar dan harmonikanya?"
"Kalau dari tadi kukeluarkan, mana bisa selesai konsep drama musikal untuk wisudamu besok, Tuan Yang Banyak Akal?"
Jangan bilang kalau kau sadar bahwa aku hanya berpura-pura mau pulang agar kau menahanku dengan tawaran nasi goreng atau mie kuah, Al.
"Oke oke, sini lemparkan gitarnya"
"Jangan! nanti jatuh"
"Kalau begitu, lempar saja tubuhmu padaku. Kau dapat menuntutnya pada Jaksa jika sampai aku gagal menangkapmu"
"Baik, tapi dengan tinju dan tendang yang mendarat dahulu", candanya seraya mendekat dengan gitar di tangan kirinya setelah harmonika yang ia pegang di tangan kanannya dilemparkan padaku.
"Bento, Mas", pintanya. "Setelah itu, Terlalu Manis dan Gembala Sapi", ia memintaku untuk memainkan lagu-lagu yang memang cocok untuk dimasuki irama blues harmonika.
Aku tertawa kecil. Kuraih gitar darinya setelah meletakkan harmonika. Sebenarnya bisa-bisa saja aku memainkan gitar dan harmonika tanpa holder harmonika. Tentu saja, hal itu akan memperburuk transisi nada di harmonika. Aku juga tak bisa bernyanyi jika harus tetap memaksa bermain tanpa holder karena bibirku harus tetap mencengkram harmonika.
"Oh Iya, aku lupa belum beli holdernya. Sini biar aku saja yang main harmonikanya", Alya meraih harmonika yang baru saja kuletakkan di meja.
Aku mulai memainkan fingerstyle nada intro. Alya tak kunjung memainkan harmonika. Ia hanya terdiam setelah aku mulai menyanyikan bait pertama.
"Tiba saat mengerti, jerit suara hati. Letih meski mencoba. Melabuhkan rasa yang ada...",
Aku sengaja memilih lagu yang tak Alya pinta, juga Lagu yang memang tak ingin ia dengar. Lagu yang ia benci. Paling ia benci jika aku menyanyikan lagu itu untuknya
Alya mengambil bantal sofa, mendekapnya diwajah. Ia mulai sesenggukan. Aku tetap saja melanjutkan.
"Mohon tinggal sejenak, lupakanlah waktu, Temani air mataku, teteskan lara. Merajut asa, menjalin mimpi, endapkan sepi-sepi"
Ia semakin sesenggukan seiring menggemuruhnya hujan.
Apa kau tahu, Al? Gemuruh hujan tak segemuruh dadaku.
Tetap saja kucoba untuk melanjutkan lagu, sembari menahan.
Bukannya aku tak mau memberitahumu, Al. Hanya saja, memang ada beberapa hal yang tak bisa ku ceritakan, termasuk kemana tujuanku setelah wisuda.
"Cinta 'kan membawamu, kembali disini, menuai rindu. Membasuh perih"
"Kamu akan kembali kesini kan, Mas? Iya kan? Kau tak perlu bercerita mengani tujuanmu selanjutnya, namun berjanjilah untuk pulang ke sini", ia berusaha menyusun kata, terbata-bata.
Kuhentikan permainan gitarku, lalu pamit dengan perlahan, tanpa menjawab pertanyaan, tanpa memberikan pernyataan.
Alya tak lagi menahanku pulang.
Diluar masih hujan. Momen yang sempurna untuk pulang bagi pecinta hujan. Tanpa kupasang jas hujan, aku pulang.
Apa kau tahu apa alasanku mencintai hujan, Al?
Karena hujan bisa menyamarkan air mata, meskipun tak sempurna, Al.
Karena aku mencintaimu dan tak ingin terlihat lemah jika aku menangis dihadapanmu, Al.
*Lanjutan : Sang Waktu 4 (Tamat)











