Hujan yang turun berdentingan sedari tadi, kenapa harus datang dengan irama serindu ini?
Sudah satu jam berlalu, namun langit masih saja abu pekat. Pun dengan angin yang terus bersiur berat. Tak ada satupun gelegar guntur. Atau mungkin ada namun aku saja yang tak menyadarinya. Sepertinya dari tadi yang terdengar hanyalah alunan rast khas Imam Al Mathrud yang diputar oleh masjid sebelah lamat-lamat.
Dari balik pudar kepul uap temulawak yang baru saja kuseduh, aku menggerutu seorang diri. Bukan pada hujan, namun pada beberapa pendar kenang yang semakin kurang ajar menyita fokusku.
Sialan. Kenangan macam apa pula ini. Jelas, ini bukan rindu, apalagi cinta yang akhir-akhir ini aku dikira sedang mengidapnya. Sama sekali aku tak tau ini apa. Gelisah benar aku dibuatnya.
Fokus semakin membuyar. Proposal yang bahkan latar belakangnya masih acak-acakan meskipun sudah lebih dari satu jam kukerjakan tak mampu lagi kulanjutkan. Ah biarlah. Kuraih HP, lalu kurebahkan badan dikursi panjang workspaceku.
"Fiq, di pondok hujan?", tanya seorang teman melalui pesan yang baru muncul sesaat setelah aku menghidupkan paket data.
"Tolong angkatkan jemuran ya?", isi pesan temanku yang satu lagi.
Aku tak lekas membalas pesan mereka. Aku teringat sesuatu. Benar, bukan cinta maupun rindu yang menggelisahkanku. Ini juga bukan sebuah kenangan, melainkan ingatan yang sudah sekian hujan selalu terlambat datang.
Jemuran bajuku belum diangkat! (*)
*Gabungan dari beberapa kisah pribadi


masyaAllah,, ceritane lucu abiz,,
ReplyDelete