Wednesday, March 14, 2018

Surabaya dan Jangan Banyak Tanya!

6

"Mojokerto garing, Fiq!", keluh ustadz Syem.

"Garing piye mas?", timpal saya yang sedang ia bonceng menuju terminal Mojokerto.

"Yo garing iku ne, ora koyo ndek Jember", ujarnya, sambil berisyarat pada dua akhwat bersepeda motor yang kami lewati. "Mangkane, cah pengabdian Mojokerto durung ono seng nikah yo amergo kuwi, garing bro!", lanjutnya

Di antara rerimbun oksigen pagi, ditengah lengang jalan pesawahan Mojokerto, saya tak kuasa menahan tawa hingga keluar airmata.

Duh. Monggo-monggooo, bagi yang baca tulisan ini dan merasa memiliki kenalan akhwat Mojokerto dan sekitarnya, bisa nge-share tulisan saya pada mereka. 

Saya tidak sedang mencarikan jodoh untuk mereka dengan meminta pada anda untuk nge-share, karena urusan Jodoh sudah diatur oleh yang Kuasa. 

Tapi urusan blog pageview, jumlah pengunjung blog dan statistiknya kan beda wkwkwk

***

"Sebenarnya, saya sangat bersyukur dengan batalnya tiket kereta njenengan, Ustadz", terus terang saya saat beberapa yang lain menyesalkannya. "Soalnya, kalau Ustadz jadi naik kereta, mana bisa saya nunut (nebeng)? Kalau gini kan saya selain bisa ke Surabaya dengan hemat, saya juga bisa ikut njenengan ke Mojokerto dulu", tutur saya, mringis, menggaruk-garuk kepala.

"Wah iya, berkah buat kamu ini, Le", jawab Ustadz Abu, disusul dengan tawa kita yang bercampur ria. 

Jadi ceritanya, saya diberi misi oleh Pondok untuk nganu (rahasia) di Surabaya. Bertepatan dengan itu, Ustadz Abu ternyata juga punya jadwal mengisi Majlis Qur'an di Mojokerto. Tau akan jadwal beliau, terlintas di hati saya untuk nunut mobil beliau untuk menghemat biaya. 

Eh ternyata beliau sudah dipesankan tiket kereta. Tapi ternyata ada beberapa kendala, mulai dari salah pesan hari hingga harus mengganti hari, ada acara yang harus beliau hadiri di hari pengganti, hingga habisnya tiket di jam yang memungkinkan untuk beliau berangkat dengan kereta.

Akhirnya beliau memutuskan untuk naik mobil saja. Yeeey! Alhamdulillaah, Allah mengabulkan lintasan hati saya ^^

Akhirnya Sabtu pagi kami yang terdiri dari Bang Jek, Mamduh, saya dan beliau berangkat ke Mojokerto mengendarai Evalia. Bang Jek driver utama, Mamduh backingnya. Ustadz Abu menjadi navigator, juga sesekali mengemudi untuk memberi kesempatan istirahat pada Bang Jak yang sebenarnya baru saja datang dari Sidoarjo.

Sadar diri tak bisa mengemudi, saya turut mengambil aksi, berpartisipasi dalam perjalanan kami. Sungkan, sudahlah statusnya nunut, ndak ngapa-ngapain lagi. Akhirnya saya mengambil tugas untuk membantu Ustadz Abu menghabiskan camilan beliau, dan membantu driver untuk tetap fokus. Bagaimana caranya? ya saya tidur saja. Dengan saya tidur, saya tak akan mengganggu driver. Dengan driver tak terganggu, ia akan bisa tetap fokus mengemudi.

Ah, dipikir-pikir, betapa vital peran saya di mobil. Sudah-sudah... jangan memuji-muji, saya nggak enak sendiri :p

Pengabdian Mojokerto
Akhirnya kami sampai di Ibka 4 Mojokerto sekitar jam 1 lebih. Lebih 2 jam. Hahaha. Yaa sekitar jam 3 lebih itu lah. Lebih 1 jam an. Haha. Tepatnya adalah sekitar setengah lima sore.

Ustadz Abu mengisi kajian dari ba'da maghrib hingga jam 8 malam, kemudian pulang ke Jember jelang tengah malam. Sedangkan saya berangkat ke Surabaya di pagi harinya.

Sesampainya di Surabaya, hal yang pertama saya lakukan adalah bernafas. Ya, tak bernafas dapat membuat hilang nyawa. Fatal bos. Setelah itu saya mengorder Gojek untuk riwa-riwi menjalankan misi. Ada hal unik yang terjadi di tiap saya naik Gojek. Saya selalu berlalu terlebih dahulu sambil tetap memakai helm Gojek dikepala, hingga kelima Pak Gojek tersebut selalu setengah berteriak dengan mengatakan hal yang intinya, "Mas mas, helmnya mas!".

5 kali naik Gojek, dan kelima-limanya berakhir dengan mringis terpampang diwajah saya.

Mungkin saya lupa karena saya terbiasa dengan beban pikiran yang berat dikepala, hingga beban helm yang cuma sekian yard itu tidak terasa.

Eh, yard itu ukuran satuan berat kan?

Bukan ya? sudahlah tak usah dipikir.

Ada seorang Gojek driver yang berkesan bagi saya. Jadi, ia membersihkan helm penumpang dan memasukkannya kedalam pembungkus helm tiap selesai mengantarkan penumpang. "Biar bersih, mas", ujarnya saat saya tanya mengapa. Masyaa Allaah,

Bergerak cepat dan efektif, akhirnya tugas saya selesai sebelum jam 1 siang. Setelah itu, saya bergegas menemui mas Amin yang juga sedang di Surabaya untuk pulang bersama.

Namun diperjalanan pulang, asatidz Mojokerto menghubungi kami dan meminta kami untu mampir dahulu. Akhirnya, kami putuskan untuk menginap barang semalam disana.

Kembali ke Moker
Sesampainya disana, kami dijamu dengan hangat dan dengan yang hangat-hangat. Mantap. Singgahnya kami ke Mojokerto ternyata membawa banyak kemudahan. Ustadz Agus yang malam itu sedang dalam perjalanan ke Surabaya meminta saya dan Mas Amin untuk kembali ke Surabaya, untuk menemui beliau disana. Bertepatan dengan itu, salah seorang ustadz meminta saya untuk melakukan sesuatu lagi di Surabaya.

Akhirnya, saya dan mas Amin bersepakat untuk berangkat lagi di keesokan harinya. Coba saja kemarin kami bablas hingga Jember, pasti tak akan mudah bagi kami untuk segera kembali ke Surabaya di keesokan harinya.

Seusai sarapan, kami diantar ke stasiun terdekat, tanpa mengetahui jadwal kereta. Ternyata, sampainya kita disana pas sekali dengan kereta yang akan berangkat ke Sidoarjo. Alhamdulillaah.

bersama Fawwaz
Nah... Mumpung di Sidoarjo, kami sempatkan untuk mengunjungi kediaman Fawwaz Hafidz Indonesia Cilik yang masyaaAllaah. Biografinya bisa dilihat di internet. Namun kami tak bisa Berlama-lama disana, karena selain waktu kami terbatas, Fawwaz juga harus segera ke bandara jam 11 untuk syuting di RCTI. Ibunda Fawwaz lantas memberi kami cindera mata yang sangaaat berharga, yaitu At Tibyan fii Mutasyaabihaatil Qur'an. Beliau juga menawarkan pada kami untuk menambah uang transport kami, namun kami berusaha untuk menolaknya karena sungkan sekali. Akhirnya beliau menggantinya dengan memberi kami masing-masing sebungkus coklat. Tak mungkinlah bagi kami untuk menolaknya kali ini. Jarang-jarang makan coklat sih...

Sebelum menuju ketempat ustadz Agus di Surabaya, kami terlebih dahulu mampir ke rumah teman mas Amin yang ia kenal waktu umroh beberapa saat yang lalu. Ternyata temannya adalah seorang ibu-ibu. Berkah silaturrahmi kali ini adalah, kami dijamu dengan Siomay Tuna. Beliau juga menawarkan untuk mengantarkan kami ke Halte Trans setelah kami berdiri untuk undur diri.

Kami mengorder go-car untuk menuju tempat Ustadz Agus setelah kami turun dari bus Trans Sidoarjo di Bungurasih. Disana, beliau menyampaikan banyak hal yang intinya adalah, "untuk saat ini, cukup antum berdua yang tau", tutur beliau. Kami juga tak bisa berlama-lama disana karena saya harus melakukan satu hal lagi sebelum pulang, sedangkan kereta berangkat pukul 16.15. Akhirnya kami pamit saat azan ashar berkumandang.

Saya dan mas Amin kembali mengorder go-car. Namun mas Amin turun di Stasiun Gubeng untuk memesankan tiket, sedangkan saya lanjut ke suatu tempat untuk menjalankan misi. Setelah selesai dengan urusan saya, saya mengorder gojek tanpa order karena benar-benar mengejar waktu. Driver gojek memakluminya dan kami langsung berangkat menuju Stasiun Gubeng Baru. Awalnya, kesepakatan kami adalah saya harus membayar hampir 2x lipat dari harga order. Namun akhirnya ia malah meminta seadanya saja kepada saya setelah kami sampai tujuan. Hahaha.

Akhirnya, kami pulang :)

"Sebentar, kamu gak mandi ya bro? kok nggak ada keterangan-keterangan kamu mandi sih di tulisan diatas?"

Ya masak saya harus menuliskan sedetail mungkin dari berapa kali saya berak, berapa menit sekali saya membuang mucus, berapa kali saya memaki harga asus ROG yang tak mampu terbeli dengan uang tabungan kaleng saya, berapa jumlah 6x4, berapa persen kemungkinan dadu menunjukkan angka 3 jika ia dikocok 12 ribu kali, berapa jumlah lubang ditubuh spongebob dan lain lain.

Kata Al-Qur'an, jangan banyak tanya hal gak penting. Jangan tanyakan apa-apa yang  bisa jadi malah menyusahkanmu jika hal tersebut dijelaskan padamu.

"Jadi mandi itu nggak penting bro?"

Bukan begituuu. Aaarrgh, sudahlah saya mau istirahat dulu. Ada sesuatu yang sedang menanti saya untuk saya kerjakan.

"Mengerjakan apa bro?"

Hmm, baru aja dijelaskan, ndak usah banyak tanya!

"Berarti yang kamu kerjakan itu nggak penting ya?"

Duh. Mboh


*Ditulis diperjalanan menggunakan laptop pinjaman Moker dan samsung J3..

Wednesday, March 07, 2018

Kematian di Paud Kece ☠

5

Baru pertama kali ini nyoba nulis thriller, inipun karena ada request. Hahaha. Monggo dinikmati :)

***

“Aaaaaaa!!!”

Terdengar teriakan balita perempuan dari arah kamar mandi. Sontak saja, beberapa balita lainnya segera keluar kelas untuk menuju sumber suara.

“Mutia, kenapa kamu menjerit?”, tanya Ali setibanya di depan kamar mandi.

“Ituuu…”, tunjuk Mutia kearah kamar mandi dengan memalingkan muka. Ali dan Hida mendekat.

“Aaaaa!!!”, mereka berdua juga berteriak.

Melihat Ali dan Hida berteriak, beberapa balita lainnya bersama-sama mendekat kearah kamar mandi.

“Aaaaaaaaaaaa!!!”, mereka serentak berteriak.

Kelas B Paud Kece (Kecambah Cendikia) geger besar pagi itu. Kegegeran itu dimulai dari Umi Anis yang meninggalkan kelas karena ada telepon mendadak sehingga bocah-bocah jadi bebas berkeliaran. Sebenarnya Umi Anis sudah meminta bantuan pada Ami Syafiq untuk menjaga mereka. Namun nampaknya Ami Syafiq tak terlalu menghiraukan apa yang mereka kerjakan karena sedang  menulis konten blognya di kantor Paud.

“Alah, tak mungkin lah mereka menghancurkan bangunan Paud, biarlah mereka berkreasi”, begitu pikir Syafiq yang lebih asyik dengan laptop milik ustadz Asnajib dan camilan yang di bawa bu Nova.

Ditengah jeritan mereka, ada suara berwibawa yang meredakan suasana.

“Teman-teman, tenang!”, seru Ibrahim. Seketika suasana menjadi tenang.

“Adek kebelet pipiiis”, celetuk Nabila. Ia langsung saja main serobot menembus kerumunan menuju kamar mandi.

“Aaaaaa!!”, Nabila mengurungkan niatnya untuk pipis dikamar mandi setelah melihat sebuah kucing tergeletak mati di kamar mandi. Jadilah Nabila pipis di celana.

Rupanya, penemuan kucing mati tersebutlah yang ternyata membuat mereka geger.

“Coba kita analisa. Bisa jadi kucing tersebut mati sendiri, bisa jadi ia dibunuh lalu dimasukkan kamar mandi untuk menghilangkan jejak”, Wardah mengutarakan pemikirannya.

“Jadi teman-teman, kira-kira mana yang lebih mendekati kebenaran?”, Ibrahim meminta pendapat pada semuanya.

Semuanya terdiam, fokus berpikir.

“Ali, adek pipis di celanaaa”, rengek Nabila pada kakaknya, memecah keheningan murid kelas B yang sedang mengerahkan daya otaknya untuk berpikir. “Aduh adeeek. Jangan pipis dicelana lah deeek, kayak anak kecil aja”, keluh Ali.

“Adek kan emang masih keciiil… Huaaaa, Abiii, Abiiii…”, Nabila mulai menangis dan pergi mencari Abinya.

"Mutia, apa tadi kamu melihat sesuatu yang mencurigakan disini?", tanya Ali, mencoba mengintrogasi.

Mutia mulai menceritakan kronologi kejadian. Namun hanya sebatas ia kebelet pipis, lalu pergi ke kamar mandi untuk pipis, namun tidak jadi pipis karena ada kucing mati.

Mereka memperhatikan sekitar sekali lagi. Lalu mereka melihat Yusuf yang sedang bermain pasir di depan kantor. Ibrahim menuju kearah Yusuf dan menanyakan pertanyaan serupa yang ditanyakan Ali pada Mutia.

"Ablablababaalabla ah glu glu", jawab Yusuf. Meskipun Ibrahim pernah menjadi batita, ia tetap saja kesulitan mengurai sandi yang diucapkan Yusuf. 

Tiba-tiba Wardah teringat sesuatu. Ia sampaikan apa yang ia ingat pada Ibrahim, bahwasanya sebelum Mutia keluar kelas, Gazi terlebih dahulu keluar dengan membawa tas.

"Ustadz Nizam! Ustadz Nizam!", seru bocah-bocah yang sedari tadi berpikir keras, seakan-akan mereka berpikir bahwa Ustadz Nizam lah pelakunya. Baru saja Ibrahim hendak bertanya apa penyebab mereka berpikir bahwa Ustadz Nizam adalah pelakunya, eh ia terlebih dahulu melihat Ustadz Nizam sedang lewat membawa piring. Ternyata mereka berteriak Ustadz Nizam Ustadz Nizam karena dia sedang melintas dihadapan mereka untuk mengambil sarapan. Beberapa bocah tersebut mulai mengerumuni Ustadz Nizam.

Ibrahim dan Ali lantas mendekati Gazi yang ikut berkerumun di Ustadz Nizam, lalu menanyakan pertanyaan tadi pada Gazi.

Gazi bercerita jika ia hanya pergi ke kamar mandi untuk memperbarui wudhu dan mencuci sesuatu, setelah itu keluar lagi.

Ibrahim dan Ali dilema. Tak mungkin lah mereka menuduh orang baik-baik dengan tuduhan yang bukan-bukan. "Kita lapor Ami Syafiq yuk, Im", ajak Ali pada Ibrahim. Ali merasa bahwa permasalahan ini haruus diserahkan ditangan yang tepat.

Uhuk. Ehm ehm. 

"Amii, Amii Syafiiq", Ibrahim dan Ali menggedor-gedor pintu kantor sambil memanggil-manggil Ami Syafiq. Baru saja pintu terbuka, Ami Syafiq langsung dicecar denga perkataan yang baginya kurang bisa dipahami. Sebenarnya mereka berkata cukup jelas. Hanya saja, Ami Syafiq memang terlalu lemot loading otaknya. 

"aouaglhbgpawtlwtjhgb'oluglugwaasdgasgh", semacam itulah terdengarnya bunyi yang disampaikan secara berebutan oleh dua bocah kecil pada Ami Syafiq. Tak mau ambil pusing, Ami Syafiq mengambil handphone dan menelpon Umi Anis untuk segera ke Kantor karena ada keributan disini.

Sesuai dugaan mereka, Ami Syafiq benar-benar mengambih langkah yang tepat.

Beberapa menit kemudian, Umi Anis datang dan langsung menyeru murid-muridnya untuk berkumpul. "Ada apa ini... ada apa?", tanya Umi Anis

"Begini, ustadzah...", putranya--Ali--maju kearahnya untuk menjelaskan kejadian tadi. 

Umi Anis sedikit merinding mendengar penjalasan tersebut, karena ia juga pernah mendapati kamar mandi yang hanya bisa ditutup dari dalam tersebut terkunci seharian, Angker lah pokoknya.

Khawatir dengan kejadian itu, bersegeralah Umi Anis menuju TKP untuk memastikan kejadiannya. Ia mulai berjalan berjingkat-jingkat ke kamar mandi setelah jaraknya tinggal 10 meter.
Lututnya menjadi lemas setelah ia melihat kucing mati tersebut.

"Anak-anaaak, ayo berkumpuuul disini", seru Umi Anis setengah berteriak.

"Anak-anak, ini bukan kucing mati, ini cuma boneka", papar Umi Anis setelah mereka terkumpul semuanya. "Dan boneka ini sepertinya milik Gazi, iya kan Gazi?"

Gazi hanya tersenyum dan berjalan menghampiri Umi Anis untuk mengambil bonekanya. Lalu Gazi mulai menjelaskan, jika tadi ia juga sempat mencuci bonekanya yang terkena cat air. Umi Anis memakluminya dan menyangka, mungkin saja boneka itu terjatuh ketika Gazi hendak memasukkannya dalam tas.

"Seharusnya, kalian teliti dulu. Masak kalian tidak tahu kalau kucing itu adalah boneka?", tanya Umi Anis dengan gemas.

"Tau ustadzah...", jawab mereka serempak.

"Nah, kenapa mesti ditakuti dan dipermasalahkan?"

"Tapi kan itu memang kucing mati, Ustadzah. Bentuknya seperti kucing dan kondisinya juga tidak memiliki nyawa karena itu benda mati, iya kan ustadzah?", celetuk Wardah

Umi Anis semakin gemas, lututnya semakin melemas.

"Lagi pula, sebenarnya dari tadi kami hanya beradegan saja, Ustadzah. Kami berlatih drama untuk pementasan wisuda mendatang agar lebih baik lagi persiapannya, agar Ustadzah tidak perlu lagi berteriak-teriak hingga kehabisan suara saat melatih kami", Ibrahim menjelaskan keadaan yang sebenarnya terjadi.

Sedang dihadapan mereka, Umi Anis setengah menganga tak percaya, tak tau lagi harus berkata apa.

***

Katanya thriller. Lah... Thrillernya dimana -_- 


Sang Waktu 4 (Tamat)

19


“Kamu manis”

“Aku tau”, sahut Alya sembari memalingkan muka. Terkembang rindang senyum di wajah yang rona. Teduh sekali memandangnya.

Lalu kami terdiam cukup lama. Merasa belum mendapat jawaban yang pas, kuulangi pertanyaanku pada Alya, kali ini dengan kalimat yang lebih lengkap.

“Eh, Jus Alpukat yang kamu pesan itu mau dibikin manis atau enggak?”

Alya menolehkan raut wajah yang bingung. Aku turut bingung saat melihat kebingungannya.

“Hah?! Jadi tadi itu pertanyaan? Bukan pernyataan?”, jawab Alya setelah terdiam agak lama seraya memicingkan mata.

“Kamu GR?”, aku mulai memahami situasi tadi. Ku eja huruf W dan K tiga kali. “Wkwkwk”

“Ih nyebelin!!!”

“Haha”

Aku buru-buru berlari kembali ke lapak penjual jus buah, menjauh darinya yang sudah bersiap-siap melemparkan botol air mineral kosong kearahku. Tetap saja ku berlari sekalipun aku  tau ia tak akan tega melemparkannya.

Semut yang menggigitmu saja tak kau lukai, apalagi aku yang kau cintai?

***

“Kamu manis”

Alya diam saja. Kali ini tak ada senyum maupun tawa. Namun terlihat jelas mukanya mulai memerah tersepuh rona.

“Hey?”, aku menjentikkan jari dua kali didepannya.

“Mau bikin jebakan kata-kata apa lagi?”, seloroh Alya seraya melempar selirik mata.

“Jebakan kata-kata? Maksudnya apa, Al?”

“Itu lho, sepertiyang dikantin beberapa minggu lalu. Jus buah. Ingat?”

Aku tertawa kecil, sambil berpura-pura mencari sesuatu disekililing Alya. Sepertinya 
aman, aku tak menemukan apa-apa. Kulanjutkan tawa dengan sedikit garukan dikepala

“Kamu nyari apa?”, heran ALya

“Nyari apapun yang sekiranya bisa kamu lemparkan ke aku, dan sepertinya aman. Karena ini akan jadi jebakan kata-kata lagi hahaha”

Alya mencopot sepatunya, berencana melemparnya

Aku buru-buru berlari dahulu.

“Dasar sensitif!”, teriakku dari kejauhan. Dan ia benar-benar melemparkan sepatunya. Tentu saja lemparannya tak mencapai diriku. Lhawong dia cuma melempar ke bawah, membantingnya.

Andai kau minta, aku mau kok berdiri didekatmu dan diam saja, agar kau dapat melemparku sekeras-kerasnya. Asal baju ini kau yang mencuci, Al.

***

“Hai maniiis!!!”, teriakku dari kejauhan sambil melambaikan tangan. Puluhan pasang mata memandangku. Sepertinya semuanya memandang dengan terheran, kecuali sepasang mata milik seseorang diantara mereka yang malah memalingkan muka, bersembunyi, menahan sipu sendiri. Sialnya, mereka sepertinya menyadari jika aku meneriakkannya pada seseorang diantara mereka yang sekarang tengah tersipu.

Mereka juga memandang heran padanya. Ia semakin tersipu.

Sadar bahwa ia menjadi pusat perhatian,aku langsung melakukan rolling maju mundur tiga kali, kemudian push up 20 kali. Kulanjut dengan memperagakan gerakan kera dengan harapan agar mereka menganggapku orang gila, agar Alya yang tengah tersipu tak terlalu malu. Kuperhatikan sejenak, sepertinya keheranan mereka menjadi berlipat-lipat. Syukurlah, setidaknya itu tak ditujukan pada Alya. 

Sedang Alya--pemilik sepasang mata yang tadi menahan sipu--kini mulai menahan tawa.

Tak ingin mengganggu pelatihan handcraft yang dibimbing Alya di gazebo kayu halaman sekolah, aku berlalu dengan lega setelah membuatnya tertawa.

Jika dengan berpura-pura giladan dianggap gila dapat membuatmu bahagia, aku mau melakukannya tiap hari untukmu, Al.

***

“Sok manis”, aku melempar canda

“Maksudnya apa?”

“Ngapain kamu senyum-senyum ke arahku di tengah rapat bersama ibu-ibu tadi?”

“Biar kamu nggak tiba-tiba jadi kera seperti seminggu lalu, Mas”, jawab Alya, tertawa.

“Ups”, pungkasnya sembari menutup bibir dengan tangan kanannya. 2 lesung pipit di masing-masing pipi dan satu lagi disamping bibir kanannya tak ikut tertutup. Aku yang kemudian menutup mata.

Tapi jangan banyak-banyak tersenyum terlebih dahulu padaku, Al. Seperti katamu, terlalu banyak mengkonsumsi gula bisa berbahaya bagi kesehatan. Dan terlalu banyak memandangmu bisa berbahaya bagi akal, Al.

***

Teruntuk yang manis, Alya.

Kepergianku  
Dan 
Dunia tak akan pernah serumit itu, Al 
Matahari akan tetap terbit dari segelas kopi 
Dan tenggelam diantara riuh peluh petani 
Aku hanya melanglang  
Untuk sekedar mencari makna pulang 
dan menyemogakan 
Agar kelak dapat kutemukan  
maknanya pada sepasang mata dan senyummu sekembang  

Semoga kau sempat membaca sepotong puisi yang akan kutempal dijendela kamarmu sebelum kepergianku malam ini. Iya, aku akan tetap pergi sekalipun aku belum siap merindumu.

 ***

"Kamu manis, dik", ujar seorang pria, menggamit lengan Alya, mesra-mesra.

Alya tercekat. Kata 'manis' membuat kenang yang sudah ia simpan rapi dalam kepala menghambur kemana-mana. Alya tak berusaha untuk merapikan atau sekedar memungutinya. ia hanya berharap kenamgan-kenangan tersebut leleh bersamaan dengan air mata yang mulai merinai di pipinya.

"Loh, kok adik nangis? Kita sekarang sedang disorot banyak kamera lho, Dik", tenang lelaki yang sedang menyandingnya di kursi pelaminan, begitu ramah.

"Aku menangis bahagia kok, mas", bohong Alya terbata-bata. Tangannya kirinya menyeka luruh kenang dipipinya. Tangan kanannya tetap tergamit mesra. 

***
....Faktanya, kau tak memberi kabar apa-apa 
Aku tak tahu kapan kau akan pulang 
Aku tak tahu juga apa kau masih menyimpan rasa yang sama 
Dan aku juga tak mungkin menunggumu terlalu lama, Mas 
Maaf... I left, because you never asked me to stay, Mas... 
Tenang saja, aku tak akan menyalahkanmu untuk semua ini. Aku hanya akan menyalahkan diriku yang telah menjadikanmu begitu istimewa di hati.
 

Tulis Alya dalam diarynya seminggu sebelum akad nikahnya, berharap aku membacanya. 

Aku, yang memang tak akan pernah 'kembali' padanya





***************

Akhirnya tamat juga bro. Hahaha, eh kalau merasa bingung, mohon dibaca semua seri-nya ya? Ini dia...

Sang Waktu

Sang Waktu 2

Sang Waktu 3 

Dan sepertinya, saya kurang bisa menulis cerpen. Tapi kalau misalkan masih ada yang berkenan membaca cerpen2 ecek ecek yang ndak mendidik dan ndak berkualitas seperti diatas, bilang ya? hehe. Bisa japri, bisa lewat komentar.