Thursday, May 12, 2016

Maafkan Kami :'(

1



Keterlaluankah hamba-Mu ini yaa Rabb?
Sakit sedikit mengeluh
Sial sedikit melenguh
Sementara diluar sana
Saudara kami
Saudara kami...
Berlarian jauh
Menangis bersimpuh
Tak berupa lagi wajah mereka
Bukan lagi daki yang mengotorinya
Namun darah bercampur peluh
Tubuh penuh lepuh
Tiap detik riuh
Tiap jam dihujani bom-bom yang angkuh
Tiap hari bangunan runtuh

Keterlaluankah hamba-Mu ini yaa Rabb?
Yang tak acuh
Tiap hari bermain,tak jenuh
Sementara diluar sana
Saudara kami
Saudara kami...
Terbunuh
Negrinya gaduh

Keterlaluankah hamba-Mu ini yaa Rabb?
Yang hatinya tak luluh
Yang tak berusaha menolong, merengkuh
Saudara kami
Tubuhnya tak lagi utuh
Airmatanya keruh

Maafkan kami, maaf.






Wednesday, May 11, 2016

Sang Waktu 2

12

“Apa yang kau lakukan sekarang, Al?”

“Tentu saja membaca diarimu, Bodoh”, Alya menjawab dengan lirih. Ia tak benar-benar mengucapkan bodoh pada orang yang menyukainya. Ia mengucapkan kata bodoh sembari tertawa dengan menggemaskan, kedua kelopak matanya menyempit, kadar manis dalam tawanya bertambah berkali-kali lipat kala ketiga lesung pipit Alya mulai nampak. Ya, Alya memiliki tiga buah lesung pipit. Dua di masing-masing pipinya, satu di samping bibir kanannya. Sempurna!

Banyak teman kita—termasuk aku sendiri---yang menyamakan Nina Zatulini dengan Alya. Hanya saja Alya lebih muda dan sedikit lebih kecil tubuhnya, dan memiliki tiga buah lesung pipit tentunya. Satu lagi perbedaannya, jika Nina Zatulini adalah seorang artis, maka Alya sama sekali tak bisa disuruh untuk berakting. Itu bukanlah kelemahan. Bukankah menyenangkan memiliki seorang teman yang jujur?

“Ups maaf hehehe”, ia menutup bibir mungilnya yang terbuka saat tertawa dengan tangan kanannya. Tawanya berganti senyum yang tak kalah menawan. Tiga lesung pipitnya belum memudar.

Aku mengingat kejadian beberapa tahun lalu, tahun dimana aku pertama kali melihat Alya tersenyum sangat dekat. Waktu itu, sebelum pulang sekolah, Roni si ketua kelasku memberikan handphonenya padaku. Tanpa diberi kesempatan bertanya, ia menyuruhku untuk membaca sms yang tertera di hp nya.

Mas Ron, bilangin ke mas Fahri ntar pulang sekolah jangan sampai dia pulang dulu. Tunggu aku didepan Sanggar Pramuka. Trimakasih mas ^_^ “

Tentu saja ia memanggil kami “mas”. Kami kelas XII, dan Alya masih kelas XI. Namun pesona yang ia miliki membuat ia dinobatkan menjadi Putri Sekolah. Suatu ajang nggak resmi buatan paguyuban laki-laki kelas XI dan XII. Penobatannya tiap hari. Tak perlu menunggu bulan, apalagi tahun. Dan pemenangnya tiap hari adalah Alya. Walaupun Alya sedang tidak masuk sekolah, ia tetap dinobatkan sebagai Putri Sekolah. Edan.

“Oh”, aku menghela nafas sejenak, “Okelah, eh tapi ada apa sih?”, tanyaku berpura-pura penasaran. Aku sebenarnya sudah tau maksud Alya, tadi waktu istirahat Dini memberitahuku. Ah sialan si Roni bisa smsan dengan Alya. Namun mengingat posisinya sebagai Ketua OSIS dan kapten tim futsal SMA kita, rasanya bakal percuma iri padanya. Nggak akan merubah apa-apa.

Dia hanya mengangkat bahu dan menggelengkan kepala, ketus. Ah biarlah, yang penting aku dapet momen bareng Alya haha.

Ternyata benar apa kata Dini. Alya meminta bantuanku untuk mengiringi dia berlatih beberapa lagu.

“Mau tau? Gak usah tau deh, ntar kutraktir makan di kantin Bu Tim 3 hari berturut-turut”, ia tak mau memberikan alasan kenapa dia memintaku. Padahal banyak anak yang lebih baik skill gitarnya daripada aku di SMA ini. Ia kemudian tertawa, dekat sekali. Kami hanya berjarak sebuah kursi. Persetan dengan Einstein dan segala teori relativitasnya. Suatu saat aku akan membuat teori bahwa waktu bisa berhenti beberapa detik saat Alya tertawa.

“Ups maaf”, ia meminta maaf atas tawa lepasnya sambil menutup bibirnya menggunakan tangan kanannya.

“Nggak usah di traktir deh Al, kayaknya tawamu sudah lebih dari cukup buat membayarnya”, sialan. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Setan macam apa yang kau rasukkan padaku, Al? Untungnya Alya tak menjawab, rona merah diwajahnya cukup menjawab selorohku tadi.

Gitar akustik merk Fender milik sekolah sudah berada dipangkuanku. Alya “mencurinya” dari ruang musik. Ia memintaku mengiringinya berbagai macam lagu, beberapa kali pula ia memintaku untuk masuk mengisi suara 2 nya. Perfect-nya Simple Plan, Pelangi di Matamu- Jamrud, Terlalu Manis-Slank, Kisah Kasih di Sekolah-Chrisye, dan banyak lagu-lagu lainnya kami mainkan bergantian.

“Suaramu fals, Al”, aku menggodanya.

“Baru tau? Hahaha, apa jangan—jangan kamu baru tau juga kalo suaramu lebih fals dari suaraku, mas?”, ia membalas candaanku. Lagi lagi tawa nan indah lepas dari bibirnya. Aku semakin larut dalam momen ini. Kami berbagi tawa dan canda. Sementara, beberapa pasang mata yang mengamati kami mulai mengetik di browser laptopnya yang sudah tersambung wi-fi sekolah. Beberapa menulis pencarian yang senada dengan “Cara menyantet mudah”, ada pula yang menulis “Bacaan untuk merusak hubungan seseorang”. Haha tentu saja mereka iri padaku. 

Berawal dari itu, aku dan Alya berteman semakin erat. Hingga suatu saat, kelulusan sekolah memisahkan kita. Dan beberapa tahun berikutnya kami dapat bertemu kembali.

Alya masih saja membaca diariku. Temaram lampu dan rembulan yang bersinar remang saling membahu memberikan pencahayaan yang cukup bagi Alya di bangku taman rumahnya.

“Kamu hari ini cantik, Al. Dan setiap hari adalah hari ini. Jadi kamu cantik tiap hari”

Alya tersenyum, air mata mulai membasahi pipinya.

“Uang sakuku habis Al, dan senyummu tidak bisa membuatku kenyang. Maaf aku menarik kata-kataku, apakah janjimu mentraktirku di Bu Tim masih berlaku?”

“Tahukah kau apa penyebabku dihukum saat itu Al? Kau bertanya padaku kenapa rambutku digundul. Akulah yang mengaku pada Pak Dendi kalau aku yang meminjam gitar itu tanpa izin. Setidaknya, aku menyelamatkan dirimu dari sebuah hukuman. Sebagai balasannya, bolehkah aku.......”

Alya semakin sesenggukan.

“Apa yang kau lakukan sekarang, Al?”

Alya membaca tulisanku di halaman itu dari atas lagi.  

“Apa yang kau lakukan sekarang, Al?”

Alya mulai menangis, keras. Ia menjawabnya dengan terbata-bata.

“Menangisimu, Bodoh”, Alya tak kuasa lagi menahannya. Ia menutup diariku, memeluknya, tak begitu erat, namun hangat.

Bulan yang paham situasi tersebut meredupkan sedikit cahayanya, memberikan kode pada alam sekitar. Angin yang tanggap dengan hal tersebut segerai membelai tubuh Alya. Lampu yang berusia lebih dari 6 tahun itupun sebenarnya ingin memalingkan muka, tak kuasa melihat tangis Alya. Namun ia sadar, ia tak memiliki kuasa untuk menggerakkan dirinya.

Tentu saja, aku tak pernah disana. yang ada hanya diariku yang dibaca hampir tiap malam oleh Alya, lampu yang temaram, beberapa tiup angin, Alya, dan beberapa potong kenangan yang tercecar di diariku dan ingatan Alya. 

Untuk saat ini, tak ada tawa menggemaskan Alya. Tangannya pun tak lagi menutup bibirnya; sibuk mendekap diari dan mengusap rinai air mata.

Lampu tua itu masih terus menyaksikannya. Berkedip beberapa kali, seakan merintih; batinnya turut terluka.



Perpecahan Bisa Berawal Dari Telapak Tangan!

11

*Cerita yang tersaji dibawah ini adalah perpaduan antara cerita asli dan fiksi*

Suatu hari, seseorang melihat telapak tangan saya. Sebut saja namanya Nganu. Dimana kemudian ia terkejut setelah melihat telapak tangan kiri saya.

Biasane, garis telapak tangan kiri itu membentuk angka 81 (dalam angka arab) dan telapak tangan kanan itu membentuk angka 18 (dalam angka arab pula). Jadi lak dijumlah hasilnya 99, sesuai dengan asma Gusti Alloh” , paparnya setelah melihat telapak tangan kiri saya yang garis-garisnya hanya menampilkan angka 8 (tentunya dalam angka arab)



“paling-paling, kamu bukan orang islam yo? Awas ibadahmu gak dapet pahala gara gara tanganmu gitu”, tambahnya. Saya jadi merinding. Jangan-jangan benar apa yang ia ucapkan. Saya bersyahadat ulang, tiga kali malahan, sambil berharap Tuhan mengubah garis tangan saya keesokan harinya. Ternyata tidak berubah. Saya memperbanyak syahadat saya. ternyata tidak berubah juga. Beberapa hari kemudian saya menyerah.

Sejak saat itu, saya memeriksa garis tangan hampir setiap teman yang saya temui. Dan benarlah rupanya. Semuanya bergariskan angka 81 dan 18. Bahkan teman saya yang beragama lain pun demikian, garis kedua telapak tangan mereka berjumlah 99! Apa jangan-jangan mereka nanti ditakdirkan masuk Islam?

Saya menanyakannya ulang pada seorang teman yang lain. Sebut saja namanya Bento.

ngunu kui tangan kananmu berarti diciptakan nggo wiritan, dan tangan kirimu diciptakan nggo ngloco”, jawabnya enteng, sambil memperagakan tangan kiri yang seakan memompa sesuatu  didepan resleting celananya. Jawaban tersebut tak pelak membuat pisuhan khas saya meluncur begitu saja. Jangkrik kowe To!

*ngloco adalah bahasa kedaerahan. Tiap daerah memiliki istilah tersendiri untuk kegiatan ini. Biasanya disebut dengan coli, ada pula yang menyebutnya dengan conang. Kalau belum tahu, jangan mencoba mencari tahu. Yang tau tolong jangan pernah melakukan kegiatan ini! Ndak apik, ndak ilok, ndak sehat!

Beberapa tahun kemudian, saya akhirnya menyadari bahwa apa yang dikatakan teman-teman saya terbukti

hah? Terbukti? Berarti bener awakmu bukan wong Islam? Atau terbukti lak  tangan kirimu itu diciptakan nggo ngloco?”

Sek talah, jangan memotong dulu.

Ternyata apa yang dikatakan Nganu dan Bento terbukti salah!

“Salah? Opo jangan-jangan kowe ngloco nggo tangan kanan pisan?”

Jangkrik! Menengo disik! Diam dulu!

Bagaimana dengan muslim yang tidak memiliki tangan? Atau tangannya hancur karena ikut berjihad misalkan? Apakah mereka bisa ngloco? Apakah mereka bukan orang islam hanya karena ketidak-99-an jumlah garis telapak tangan mereka? Apakah ada dalil yang menyatakan bahwa bentuk tubuhmu adalah penentu keislaman dan keselamatanmu kelak?

Mengutip kata-kata si Antum,”Sungguh, perkataan mengenai garis tangan itu adalah bid’ah ! wa kullu bid’atin dholalah! Nabi SAW nggak pernah mencontohkan hal itu!



Nganu dan Bento yang nggak terima dikatain bid’ah, meng-counter pernyataan tersebut, “Dikit-dikit bid’ah. Kowe pakek laptop dan hp nggo ngloco apa itu bukan bid’ah? Mikir!”

Si Antum membalas dengan teduh, “Bid’ah itu dalam urusan ibadah Akh, bukan urusan dunia, apalagi nggo ngloco”

Si Nganu dan Bento yang gak terima akhirnya mengajak si Antum debat keagamaan.

Debat selesai, namun ketidakpuasan masih menyelimuti perasaan kedua kubu.

Keeseokan harinya, keduanya bentrok membawa massa masing-masing.

Media-media diuntungkan. Mereka mulai mengadu domba agar konflik tak segera usai.

Yang Islam saling bunuh-bunuhan, mempersoalkan bid’ah bid’ah dan sejenisnya. Sementara kaum Kapirin dan bangsa Wahyudi semakin merajalela menguasai perekonomian dunia.

Modyar kowe!


Dalam menyikapi sebuah berita, cerita tersebut membagi masyarakat kita menjadi beberapa kelompok  

1. Kelompok yang menyebarkan berita tanpa sumber valid. Dimana berita tersebut biasanya membawa satu-dua bukti (biasanya berbentuk hal-hal yang menyangkut religi) untuk melegitimasi pernyataan.

2. Kelompok yang mudah percaya dengan berita-berita yang berbuktikan hal apapun yang menyangkut religi. Lalu mereka mulai ikut-ikut menyebarkan dan mempraktekkan tanpa melihat sumber

3. Kelompok yang agak sadar. Menjadikan berita-berita tersebut sebagai guyonan, seperti yang dilakukan si Bento.

4. Kelompok sok intelek. Menanyakan berbagai hal bertubi-tubi tanpa mau melihat dulu keseluruhan berita.

5. Kelompok yang sadar. Merenung sekian lama, mengecek berita, menemukan berbagai macam dalil penguat, bertanya kemana kemari. Akhirnya dapat menarik kesimpulan benar salahnya sebuah berita.

6. Kelompok yang suka membid’ah bid’ahkan. *ngapain kelompok ini masuk?

7. Kelompok yang gak terima di bid’ah bid’ahkan. *ngapain juga ini dimasukkan?

8. Media. Coba lihat sebuah halaman Mainstream Media Indonesia di fb untuk melihat betapa bahayanya media.

9. Sayangnya saya belum menemukan masyarakat yang ingin menguasai perekonomian dunia seperti bangsa Wahyudi.

Termasuk yang manakah kita, sayang?

"Coba saja tanya kepada rumput yang bergoyang, woo wo wooo", belahan hati saya menjawabnya dengan sebuah lagu.



Ah suaramu memang selalu terdengar merdu, sayang *talk to nokia 110

Oh ya, masih nggak percaya kalo telapak tangan bisa menimbulkan perpecahan?

Mmmm, coba aja buka telapak tangan lebar-lebar, lalu ambil sebuah gelas kaca. Lemparkan.

Pecah to? 

Monday, May 02, 2016

Bukan Indikator Kesembuhan

6


“Kalo sakit itu jangan dibuat manja, Ceng”, ujar mas Zaini saat menjawab pertanyaan Ceng. 
Sama seperti saya, mas Zaini saat itu sakit juga. Dan sebelumnya, Ceng bertanya padanya, mengapa ia tetap mengerjakan tugas padahal tubuhnya sedang sakit.

Jawaban mas Zaini membakar saya.

Oke, sakit gak boleh dibuat manja. Jadi pada malam itu, saya beraktivitas layaknya orang yang sehat. Mempercepat langkah kaki saat berjalan, mencoba untuk tidak tidur terlalu cepat, membaca-baca sesuatu, nonton drama korea dan lain-lain. Puncaknya, saya bermain PES di laptop Faris sampai larut malam. Saya lantas memegang leher saya. Dingin!

Keringat dingin bercucuran dari tubuh saya. Ah finally! Saya optimis bahwa keesokan harinya saya akan sembuh. Lalu saya pamit pada geng pemain PES untuk tidur dulu. Saya senang, mereka juga senang. Mereka senang karena pemain hampir tak terkalahkan (baca: saya) akhirnya berhenti bermain.

Tererereet teteeet, jeng jeeng. Hipotesis saya semalam ternyata tidak terbukti. Saya terbangun dengan pening bersarang dikepala, bernafas dengan berat nan panas, suhu tubuh yang meningkat, dan baterai HP yang hampir drop.

Entah siapa yang harus saya salahkan. Mas Zaini? Drama korea? Atau PES 2013 dengan update 2016?

Apa? Saya harus menyalahkan diri saya sendiri?

Tidak, saya tidak boleh salah.

Salahkan mitos yang menyatakan kalo keringat dingin dan suhu tubuh yang menurun adalah pertanda kesembuhan!

Dan keesokan harinya, bintik-bintik merah yang mulanya hanya berada di punggung telapak tangan kanan saya mulai merajalela. Beberapa harinya lagi, saya memeriksakan diri.
"Beberapa hari lagi" yang dimaksud adalah malam ini. Saya menulis tulisan ini sepulang dari rumah praktek Dr Lilik Laksmiati. Dokter yang baik, menggratiskan biaya setelah mengetahui kalau kami adalah anak Ibnu Katsir. 

Ternyata tidak, saya ternyata memakai BPJS :p . Yang dapat gratisan itu si Marwan. Yaaaah, alhamdulillah lah, someone said that it called "rejeki anak baik".

Kami? Yap, saya periksa bersama Marwan. Ada pula Ust Gho’ yang menemani kami dan Bang Jek yang mengantarkan kami.

Dan akhirnya saya divonis wajib opname!

WTH! What The H**************

Saya menceritakannya pada mbak El. Dia nampak senang, kesedihan saya semakin mbranang. Tapi tentu saja mbak El bukan senang dengan penderitaan saya, iya kan?

“Hayooo? Siapa mbak El itu, Mus?”

K     E    P    O   .

”Ayolah… janji deh bisa jaga rahasia”

Oke fix. Mbak El itu adalah sesosok manusia yang memperkenalkan saya pada Sabari dan dua sahabatnya dengan segala kekonyolannya, Lena dan segala keburukannya. Tak ketinggalan pula Jujuri, Tobati dan anak (angkat) Sabari. Kalau beneran ada, Bapaknya Sabari dan Sabari pantas menerima medali kehormatan! Atas apa? Entahlah, baca aja novel Ayah karya Andrea Hirata.

Kembali ke topik awal.

Huh begitulah, akhirnya saya harus opname lagi. Dan saya tak bisa lagi mendengarkan bacaan imam Ust Syamsul Haidi dan Pakdhe Ruhul yang tarikan nada tingginya berkali-kali membuat saya mbrebek.

Catatan untukmu, keringat dingin bukanlah salah satu indikator datangnya kesembuhan!

Saya : “lah gimana sih katanya kalo keringetan, itu tanda mau sembuh?”

Keringat dingin : “adyaa kecilik. Ketipu. Emang cuma manusia yang bisa ngibul? wkwkwkwk”

Sialan. Keringat dingin ternyata bisa bicara! Ketawanya pake wkwkwkwk pula!

Apa benar saya bisa mendengarnya? Apa saya mulai gila? entahlah

Keringat dingin : "kamu percaya saya bisa ngomong? wkwkwk kena kibulin lagi :p "

Haaah?! wtf!!!

Turn away,
If you could get me a drink 
Of water 'cause my lips are chapped and faded 
Call my aunt Marie
Help her gather all my things
And bury me in all my favorite colors, 
My sisters and my brothers, still, 
I will not kiss you, 
'Cause the hardest part of this is leaving you.
CANCER - MCR