“Apa yang kau lakukan
sekarang, Al?”
“Tentu saja membaca diarimu,
Bodoh”, Alya menjawab dengan lirih. Ia tak benar-benar mengucapkan bodoh pada
orang yang menyukainya. Ia mengucapkan kata bodoh sembari tertawa dengan
menggemaskan, kedua kelopak matanya menyempit, kadar manis dalam tawanya
bertambah berkali-kali lipat kala ketiga lesung pipit Alya mulai nampak. Ya,
Alya memiliki tiga buah lesung pipit. Dua di masing-masing pipinya, satu di
samping bibir kanannya. Sempurna!
Banyak teman kita—termasuk aku
sendiri---yang menyamakan Nina Zatulini dengan Alya. Hanya saja Alya lebih muda
dan sedikit lebih kecil tubuhnya, dan memiliki tiga buah lesung pipit tentunya.
Satu lagi perbedaannya, jika Nina Zatulini adalah seorang artis, maka Alya sama
sekali tak bisa disuruh untuk berakting. Itu bukanlah kelemahan. Bukankah
menyenangkan memiliki seorang teman yang jujur?
“Ups maaf hehehe”, ia menutup
bibir mungilnya yang terbuka saat tertawa dengan tangan kanannya. Tawanya berganti
senyum yang tak kalah menawan. Tiga lesung pipitnya belum memudar.
Aku mengingat kejadian
beberapa tahun lalu, tahun dimana aku pertama kali melihat Alya tersenyum
sangat dekat. Waktu itu, sebelum pulang sekolah, Roni si ketua kelasku
memberikan handphonenya padaku. Tanpa diberi kesempatan bertanya, ia menyuruhku
untuk membaca sms yang tertera di hp nya.
“Mas Ron, bilangin ke mas
Fahri ntar pulang sekolah jangan sampai dia pulang dulu. Tunggu aku didepan
Sanggar Pramuka. Trimakasih mas ^_^ “
Tentu saja ia memanggil kami “mas”.
Kami kelas XII, dan Alya masih kelas XI. Namun pesona yang ia miliki membuat ia
dinobatkan menjadi Putri Sekolah. Suatu ajang nggak resmi buatan paguyuban
laki-laki kelas XI dan XII. Penobatannya tiap hari. Tak perlu menunggu bulan,
apalagi tahun. Dan pemenangnya tiap hari adalah Alya. Walaupun Alya sedang
tidak masuk sekolah, ia tetap dinobatkan sebagai Putri Sekolah. Edan.
“Oh”, aku menghela nafas
sejenak, “Okelah, eh tapi ada apa sih?”, tanyaku berpura-pura penasaran. Aku
sebenarnya sudah tau maksud Alya, tadi waktu istirahat Dini memberitahuku. Ah
sialan si Roni bisa smsan dengan Alya. Namun mengingat posisinya sebagai Ketua
OSIS dan kapten tim futsal SMA kita, rasanya bakal percuma iri padanya. Nggak akan
merubah apa-apa.
Dia hanya mengangkat bahu dan
menggelengkan kepala, ketus. Ah biarlah, yang penting aku dapet momen bareng
Alya haha.
Ternyata benar apa kata Dini.
Alya meminta bantuanku untuk mengiringi dia berlatih beberapa lagu.
“Mau tau? Gak usah tau deh,
ntar kutraktir makan di kantin Bu Tim 3 hari berturut-turut”, ia tak mau
memberikan alasan kenapa dia memintaku. Padahal banyak anak yang lebih baik
skill gitarnya daripada aku di SMA ini. Ia kemudian tertawa, dekat sekali. Kami
hanya berjarak sebuah kursi. Persetan dengan Einstein dan segala teori
relativitasnya. Suatu saat aku akan membuat teori bahwa waktu bisa berhenti beberapa
detik saat Alya tertawa.
“Ups maaf”, ia meminta maaf atas
tawa lepasnya sambil menutup bibirnya menggunakan tangan kanannya.
“Nggak usah di traktir deh
Al, kayaknya tawamu sudah lebih dari cukup buat membayarnya”, sialan. Kata-kata
itu meluncur begitu saja dari mulutku. Setan macam apa yang kau rasukkan
padaku, Al? Untungnya Alya tak menjawab, rona merah diwajahnya cukup menjawab
selorohku tadi.
Gitar akustik merk Fender
milik sekolah sudah berada dipangkuanku. Alya “mencurinya” dari ruang musik. Ia
memintaku mengiringinya berbagai macam lagu, beberapa kali pula ia memintaku
untuk masuk mengisi suara 2 nya. Perfect-nya Simple Plan, Pelangi di Matamu-
Jamrud, Terlalu Manis-Slank, Kisah Kasih di Sekolah-Chrisye, dan banyak
lagu-lagu lainnya kami mainkan bergantian.
“Suaramu fals, Al”, aku
menggodanya.
“Baru tau? Hahaha, apa jangan—jangan
kamu baru tau juga kalo suaramu lebih fals dari suaraku, mas?”, ia membalas
candaanku. Lagi lagi tawa nan indah lepas dari bibirnya. Aku semakin larut
dalam momen ini. Kami berbagi tawa dan canda. Sementara, beberapa pasang mata
yang mengamati kami mulai mengetik di browser laptopnya yang sudah tersambung
wi-fi sekolah. Beberapa menulis pencarian yang senada dengan “Cara menyantet
mudah”, ada pula yang menulis “Bacaan untuk merusak hubungan seseorang”. Haha tentu
saja mereka iri padaku.
Berawal dari itu, aku dan
Alya berteman semakin erat. Hingga suatu saat, kelulusan sekolah memisahkan
kita. Dan beberapa tahun berikutnya kami dapat bertemu kembali.
Alya masih saja membaca
diariku. Temaram lampu dan rembulan yang bersinar remang saling membahu memberikan pencahayaan yang cukup bagi Alya di bangku taman rumahnya.
“Kamu hari ini cantik, Al.
Dan setiap hari adalah hari ini. Jadi kamu cantik tiap hari”
Alya tersenyum, air mata
mulai membasahi pipinya.
“Uang sakuku habis Al, dan
senyummu tidak bisa membuatku kenyang. Maaf aku menarik kata-kataku, apakah
janjimu mentraktirku di Bu Tim masih berlaku?”
“Tahukah kau apa penyebabku dihukum saat itu Al? Kau bertanya padaku kenapa rambutku digundul. Akulah yang mengaku pada Pak Dendi kalau aku yang meminjam gitar itu tanpa izin. Setidaknya, aku menyelamatkan dirimu dari sebuah hukuman. Sebagai balasannya, bolehkah aku.......”
Alya semakin sesenggukan.
“Apa yang kau lakukan
sekarang, Al?”
Alya membaca tulisanku di
halaman itu dari atas lagi.
“Apa yang
kau lakukan sekarang, Al?”
Alya mulai menangis, keras. Ia
menjawabnya dengan terbata-bata.
“Menangisimu, Bodoh”, Alya
tak kuasa lagi menahannya. Ia menutup diariku, memeluknya, tak begitu erat,
namun hangat.
Bulan yang paham situasi tersebut meredupkan sedikit cahayanya, memberikan kode pada alam sekitar. Angin yang tanggap dengan hal tersebut segerai membelai tubuh Alya. Lampu yang berusia lebih dari 6 tahun itupun sebenarnya ingin memalingkan muka, tak kuasa melihat tangis Alya. Namun ia sadar, ia tak memiliki kuasa untuk menggerakkan dirinya.
Tentu saja, aku tak pernah
disana. yang ada hanya diariku yang dibaca hampir tiap malam oleh Alya, lampu
yang temaram, beberapa tiup angin, Alya, dan beberapa potong kenangan yang tercecar di diariku dan ingatan Alya.
Untuk saat ini, tak ada tawa menggemaskan Alya. Tangannya pun tak lagi menutup bibirnya; sibuk mendekap diari dan mengusap rinai air mata.
Lampu tua itu masih terus menyaksikannya. Berkedip beberapa kali, seakan merintih; batinnya turut terluka.