Saturday, December 08, 2018

Membela Jokowi!

8


Ah, sebenarnya saya sudah berkomitmen untuk tak menulis konten blog dalam beberapa bulan kedepan. Tapi, masalah ini benar-benar penting dan harus saya tuliskan segera. Tak apalah, biar saya ceraikan dulu komitmennya sementara. Semoga nanti ia mau menerima kembali saat saya hendak mengajaknya rujuk lagi.

Haha

Entah kenapa, hampir dimanapun posisi dan keadaannya, pak Jokowi selalu saja menampilkan perbuatan dan mengeluarkan perkataan yang bully-able (mengakibatkan beliau diejek-ejek).

Nglakuin ini, dibully. Nglakuin itu, dibully. Heran saya. 

Lha kok rasa-rasanya kasihan ya beliau itu. Susah-susah  dan mahal-mahal jadi Presiden, eh malah jadi bahan bully-an. Mending jadi semen aja kalau gitu pak, bisa jadi bahan bangunan. Jadi terasi juga boleh, bisa jadi bahan sambel. Atau jadilah jurnal pak, sebagai bahan referensi pengerjaan proposal saya yang entahlah. Hiks hiks.

Padahal, disetiap perilaku dan perkataan beliau, ada makna lain yang bisa didapatkan oleh orang yang mau berbaik sangka. Cukup berbqik sangka, tak perlu memakai  teori hermeneutika dan aplikasi semantik Toshiko Itsuzu. Cukup dengan berbaik sangka saja. 

Mari, perkenankan saya mengajak njenengan-njenengan untuk sedikit merenungkan hal-hal dari beliau yang kemudian menjadi bahan bully-an.

1. Nyanyi lagu Sabyan

Akhir-akhir ini, video beliau menyanyikan lagu Deen As Salam menjadi viral.

Aptahiyah, wapsalam… ansaru ahlalkalam... jainuddin najiro... Kurang lebih, begitulah beliau berdendang.

Lha itu cuma nyanyi lagu dengan lirik salah lo bro. Lah ternyata malah menjadi bahan ejekan disana-sini. Ada yang bilang gak pantes lah, gak fasih lah, ngawur lah…

Swantay bro. Tarik nafas dulu.

Begini bro, nyanyi lagu dengan lirik yang salah itu dosa gak? Enggak kan sepertinya? Okelah, andai anda mengatakan itu dosa, lebih dosa mana dengan saat kita membaca Alquran tapi dengan salah-salah dan tak mau bersungguh-sungguh belajar memperbaikinya? Yang ada malah sibuk ngejek-ngejek pak Jokowi yang cuma salah ngucap lirik lagu. Padahal Alquran itu, salah ucap huruf sedikit saja, artinya bisa jauh berbeda.

Saya berkata demikian bukan karena bacaan Alquran saya baik. Bacaan Alquran saya juga buruk, hanyasaja saya tak “memperburuknya” dengan mengejek-ngejek seseorang hanya karena salah ucap lirik lagu!

2. Al-fateka

Masih ingat bagaimana kemudian pak Jokowi dihujat habis-habisan hanya karena kurang fasih menyebut Al-Faatihah?

Ummm, saya tak akan berkomentar, cukup kita lihat diri kita sendiri dulu.

Bagaimana kita saat menyebut Ali ‘Imron? Itu ‘Imronnya pakai ع lo. Tapi sepertinya, seringkali saya menyebutnya menggunakan Alif hamzah kasroh ( إ ). Ad Dhuha itu memakai ض (Dlod) lo. Tapi saya seringkali menggunakan د (dal) saat menyebut nama suratnya. Yaasin juga begitu. Sepertinya saya juga tak pernah menyebut surat yaasin dengan sebetul-betul ucapan; Yaasiiiiiin. Dan masih banyak lagi.

Eh tapi itu saya lo, kalau anda-anda sih, saya yakin insyaaAllah sudah fasih membaca Alquran, bahkan hingga ke pengucapan nama-nama suratnya.



Oyaaa. Yang biasa nyebut An-Naas, al-falaq dan Al ikhlas dengan sebutan triqul, ayo ngacung!! Wkwk

3. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah

Ah ini juga, di salah satu pidatonya, sepertinya pak Jokowi “lidahnya keplecuk”. Seharusnya, beliau mengucapkan Laa haula wa laa quwwata illaa billaah, tapi yang terdengar malah “laa kalau kalau kata ila billah”.

Saya ingin bercerita sedikit mengenai ini. Umm, lidah keplecuk (kepleset) saat berbicara itu biasa bro. Apalagi saat di panggung. Pernah suatu saat, ada seorang ustadz yang khotbah jumat. Saat berdoa, sepertinya lidah beliau keplecuk, dari yang harusnya berkata اجتنابه menjadi اتباعه . Yang seharusnya doa tersebut artinya kurang lebih “berikanlah kami kemampuan untuk menjauhinya (menjauhi kebatilan)” malah menjadi “berikanlah kami kemampuan untuk mengikutinya (mengikuti kebatilan)”. Ya jelas itu fatal banget, lha bagaimana tidak fatal lhawong diaminkan orang se-masjid yang melek. Sedangkan yang ngantuk hingga kesirep-sirep cuma ngangguk-ngangguk doang, ya ngangguk-ngangguknya itu karena ngantuk. 

Terpeleset itu biasa. Tapi jangan membiasakan diri untuk terpeleset, apalagi mempelesetkan diri. 

Lagian bapak Jokowi itu cocoknya main pencitraan, bukan main plesetan

4. Memilih cawapres

Banyak yang menduga bahwa salah satu alasan beliau memilih cawapres adalah untuk merangkul hati umat muslim yang “tersakiti” oleh kebijakan-kebijakan rezim beliau.

Terlepas dari apapun alasan beliau, coba kita saya lihat dari sudut pandang yang lain.

Pak Jokowi mendekati ulama besar. Sedang kita saya? Coba kita saya bermuhasabah, siapa yang lebih sering kita saya dekati? Jangankan ulama. Jangan-jangan Kita saya malah sibuk dengan mendekati dia yang kita saya sangka adalah “tulang rusuk” dari pada mendekati ia yang surga berada di telapak kakinya!


Astaghfirullah

Namun, alangkah indahnya jika dipilihnya KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapres ternyata adalah agar pak Jokowi bisa menyetorkan hafalan Alqurannya pada Kyai Ma'ruf seba’da shubuh sekaligus tahsin Alquran hingga syuruq, lalu belajar nahwu shorof di sore harinya setelah seharian penuh mengurus negara dan perekonomian umat, lalu ngaji sorogan tiap ba’da isya.

Andaikan benar begitu, anu pak. Ngaji fathul Izar dan qurotul uyun sepertinya asyik kalau sudah menikah. Karenaaa… bisa langsung dipraktekkan sepulang dari mempelajarinya. Haha. Kalau belum nikah mah, cuma bisa ngaplo sembari cemas-cemas berharap suatu saat akan ada jodoh berparas-prilaku manis nan sholih/ah yang sudi membersamai hingga akhir hayat nanti.

Kedekatan yang beliau bangun dengan kyai juga bisa membuat beliau dengan mudah mendengar kajian tauhid, siroh, fiqh, tafsir, dan adab di tiap akhir pekannya secara langsung dari KH. Ma’ruf Amin dan kyai-kyai besar lainnya. Enak pak. Semakin bapak paham mengenai agama, berarti itu tanda Allah menghendaki bapak jadi orang yang baik.

5. Tak dikenal rakyat sendiri

Jargon merakyat yang lekat pada diri beliau tak lantas membuat beliau dikenal oleh rakyatnya sendiri. Di salah satu video, ada bapak-bapak yang maju ke panggung Jokowi. Ia lalu mendapatkan pertanyaan dari Jokowi, "siapa nama saya?". Bapak tersebut menjawab "tidak tahu" (dalam bahasa madura). Sontak, penonton tergelak.

Umm, pernah tau cerita mengenai pengemis yahudi tua yang kemudian begitu menyesal saat ia baru tahu bahwa selama ini yang menyuapinya makan dengan kelembutan adalah Rasulullah SAW yang senantiasa ia hina? ia baru mengetahuinya setelah Rasulullah SAW wafat dan digantikan oleh Abu Bakar RA yang kemudian menceritakan pada pengemis tersebut mengenai siapa yang biasa menyuapinya.

Atau kisah mengenai seorang ibu yang berkata didepan Khalifah Umar bin Khattab yang baru saja membantunya, "Andai saja Khalifah Umar bin Khattab seperti dirimu!", tanpa mengetahui bahwa yang membantunya sedari tadi adalah Umar?

Umm, bisa jadi Jokowi tak terkenal di bumi, namun begitu terkenal di langit

Namun entah, terkenal karena apanya dan terkenal bagaimana. Semoga itu hal yang baik.

6. Sudahlah stop
 
Kalau dilanjutkan, kesannya malah gimanaa gitu. Seakan-akan kesalahan-kesalahan pak Jokowi itu banyak sekali. Padahal. Padahal, nggak baik lo mencari-cari kesalahan orang itu. Adapun kesalahan-kesalahan diatas itu saya sebutkan untuk membela beliau dan untuk kita renungkan. Sedangkan kesalahan-kesalahan beliau lainnya, tentu saja saya akan kesulitan, atau bahkan tidak akan bisa mencari pembelaannya.

Sudahlah, berdoalah agar beliau selalu dilimpahi kebaikan kebaikan, yaitu agar beliau dapat menyelesaikan jabatannya dengan baik, dan agar beliau mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik. 

Salam 2 jari, pak!

*Sekedar pengumuman, domain blog ini akan habis. Mungkin Januari atau awal Februari 2019, mustofacoo.com tak lagi bisa diakses jika saya tak memperpanjangnya. Doakan supaya ada rezeki ya :)




Sunday, November 18, 2018

Berusaha Mencintaimu

18


Sore, cinta. Ingin ku menulis sesuatu untukmu. Semoga tulisan ini bisa menjawab keresahanmu yang sepertinya menyadari sesuatu, bahwasanya aku tak memberikan sepenuh hatiku untukmu.

Maaf, cinta. Mungkin kau memiliki prasangka ini. Maka kubenarkan saja prasangkamu. Iya, di hatiku, masih ada dia.

Baik, akan kuceritakan sedikit mengenai kisah ini padamu, cinta. Mengenai dia...

"Aku mencintaimu, dan sungguh ku ingin memilikimu" 

Ingin ku mengatakan hal ini padanya tiap kali berjumpa. Namun apalah daya. Aku hanyalah seorang pengecut, yang akan senantiasa menjadi pengecut karena ketidakpercayaan diriku benar-benar sangat... Ah entahlah. 

Aku mengingatnya, kami pertama kali bertemu di Surabaya. Aku melihatnya dalam suatu acara saat itu, namun sepertinya ia tak menyadariku. Disitu, aku mulai mendapatkan apa yang orang sebut, "love at first sight". Cinta pandangan pertama. Kali kedua, aku bertemu dengannya di Solo. Kami bertatapan sejenak saat itu. Aku mengingatnya, sedang dirinya sepertinya lupa. *Tulisan warna biru bisa diklik.

Aneh, justru kami bertemu diluar kota. Bukan di Jember yang merupakan domisiliku, dimana katanya, dia ternyata juga memiliki rumah di Jember.

Aku mulai menceritakannya dan menanyakan  mengenianya pada beberapa orang. Ternyata beberapa ada yang mengenalnya, dan mereka berkata bahwa aku pantas bersanding dengannya. Alasan mereka sebenarnya lucu, "Sepertinya, kalian itu sama lo. Selain itu, ya karena kamu itu orangnya gini dan gitu. Sukanya ini dan itu. Sedangkan dia itu begini dan begitu, bahkan dia itu bisa begini dan begitu". 

Haha, bagiku itu adalah alasan yang lucu. Karena, kerapkali hubungan (anu, itu lo, hubungan yang itu) yang baik itu dimulai dari perbedaan-perbedaan. Emm, seperti perbedaan jenis kelamin misalnya. Wkwkwk

Haha. Maaf. 

Tapi memang, di usia-usia ini aku harus segera memilih. Untuk itu, sempat ku pinta pada Rabb dalam beberapa istikharah untuk memantapkan pilihan. Karena, ini perkara yang besar. 

Eh sebentar, tapi itu bukan berarti kita meniadakan keberadaan-Nya saat perkara yang kita hadapi adalah perkara kecil.

Iya, ini perkara besar. Ini menyangkut masa depan yang amat panjang. Berbicara mengenai calon pendamping kelak, tentu saja banyak hal yang yang harus diperhitungkan. Baik secara tampilan 'luar', apalagi 'dalam'nya. Bukan tampilan yang terbungkus dalam baju, tapi dalam kepala dan hati. Haha, untuk tampilan dalam baju, mana bisa kulihat itu sebelum halal memiliki? Wkwkwk

Akhirnya, seba'da istikharah, setelah aku merasa pilihanku cukup dimantapkan  oleh-Nya, aku langsung memilihmu, sekalipun, aku tak mencintaimu. Hei, bahkan aku sama sekali tak mengenalmu sebelumnya. Aku baru tau mengenai dirimu di media sosial, setelah aku menanyakan beberapa hal pada orang-orang yang mengenalmu.

Maka saksikanlah, inilah aku yang berusaha untuk mencintaimu. 

Namun maaf, tentu saja, hatiku masih terpaut padanya. Karena sejak teman-temanku berkata ia pantas untukku dan begitu pula sebaliknya, aku mulai merasakan getaran aneh tiap kali berjumpa dengannya. Semacam perasaan-perasaan yang dirasakan oleh orang-orang yang jatuh cinta gitu.

Bahkan, maaf, sampai sekarang pun, aku tetap menyimpan hati untuknya. Dan sekali lagi maaf, sebenarnya kau hanyalah pelarianku. Aku memilihmu karena uangku untuk membelinya, si ultrabook dari Asus (biasanya tampil dalam seri ROG. Spesifikasi mantap) tak mencukupi, bahkan jauh dari apa yang sudah kutabung sekian lama. Akhirnya pilihanku jatuh padamu, Acer.

Tapi sebagaimana yang telah ku katakan tadi, aku akan tetap berusaha untuk mencintaimu. Karena bagaimanapun, kaulah pendampingku sekarang. Semoga kau awet ya, Acer, duhai cintaku yang sekarang...

*Foto diatas hanyalah ilustrasi untuk menggaet pemirsa agar blog ini tak sepi-sepi amat.



Thursday, October 25, 2018

Serenjana Senja 3

6



Bulan ke tiga setelah pertemuan pertama kita, di bawah pepohonan akasia.
Kubuka lagi sebuah lembar yang sudah cukup lusuh di salah satu kantong tasku. Kubaca sekali lagi, sebuah puisi yang kuminta tuliskan secara spontan untuk yang kesekian kalinya. Aku hanya ingin menuntaskan segala yang menggangguku beberapa waktu belakangan ini,

Yaitu puisi... Aku benar-benar penasaran dengan puisi yang tak sengaja kutemukan di balik lukisan yang kubeli. Puisi yang hampir tak terbaca karena ditulis menggunakan tinta yang berwarna putih  agak perak di atas kanvas yang putih. Seakan-akan memang ingin disembunyikan, namun ingin ditampakkan. Entahlah. Ia juga tak pernah ingin menjawabnya saat aku menanyakan hal tersebut.

Bisa dibilang sok kenal sih, nekat juga...yah mau bagaimana lagi. Aku adalah tipe orang yang mudah penasaran. Tapi sebenarnya lucu juga, kita tak saling mengenal, namun tiap kali aku meminta padanya untuk bertemu, selalu saja aku meminta padanya untuk membuatkan puisi. Sampai di dua pertemuan terakhir kita, dia membawa bolpoin dan kertas sendiri karena sedang memprediksi akan diminta untuk membuatkan puisi lagi.

Tetapi, antara puisi dalam lukisan tersebut dan puisi-puisi yang dia buatkan untukku,  aku merasa ada yang berbeda. Kedalaman rasanya, pemilihan bahasa, penafsiran makna, dan…seseorang di dalamnya. Mungkin itu memang tidak sedikit, dan mungkin memang puisi yang kupegang ini milikku, tapi sepertinya, puisi ini bukan untukku. Betapa kau harusnya tahu jika wanita memiliki 2 Indra perasa lagi yang terletak di hati selain 5 Indra yang dimiliki manusia pada umumnya.

Mungkin memang tidak seharusnya aku memaksamu menuliskan sebuah puisi yang bagiku terasa hambar ini. Bukan kejam, itu hanya menurutku saja. Tapi aku tetap menyukainya, hanyasaja… tentu ada perasaan yang sulit untuk di ungkapkan ketika kita tak menemui apa yang kita harapkan. Mungkin, ini yang disebut kecewa.

Ah, sudahlah… terlalu banyak “mungkin” di kepala. Seharusnya aku memang tak perlu mengenalnya terlalu jauh. Cukup sekedar lukisan langitnya saja yang akan menjadi kawan baikku, karena bertemu lukisannya semacam takdir untukku. Sudahlah, sepertinya tak lagi bertemu dengannya adalah pilihan terbaik untukku. 

Tapi entahlah. Aku sebenarnya ingin terus bersama dan memang  sudah nyaman berteman dengannya. Namun di sisi lain, ia seperti... Ah entahlah. Perasaan ini terlalu rumit bahkan untuk kupahami sendiri

Kumasukkan kembali kertas tersebut setelah kulipat Serapi mungkin. Lalu ku beranjak teduh bayang dedaunan akasia.

------------------

Bulan pertama sejak pertemuan pertama, jelang pertemuan ke tiga dengannya

Ah betapa bodohnya. Aku kan memiliki daftar nama pembeli-pembeli lukisanku. Hahaha, sepertinya usaha dia untuk menyembunyikan namanya di tiap kali kutanya ketika bertemu akan menjadi sia-sia. Kubuka-buka daftar pengunjung yang menghadiri pameran. Kubuka lagi pada daftar pembeli lukisanku. Tak sulit bagiku untuk menemukan namamu dari daftar yang hanya beberapa itu. M a l a R e n j a n a. Deretan abjad terangkai dan kubunyikan namamu. Mala renjana.

Aku jadi tak begitu heran, mengapa kau suka sekali meminta untuk dibuatkan puisi, karena namamu sendiri seakan-akan sudah menjadi bait puisi tersendiri. Tentu saja, aku langsung dapat mengetahui namamu karena kaulah satu-satunya perempuan yang membelinya di hari itu. Dari awal kau memang bukan orang yang bisa kulewatkan begitu saja. Betapa sorot mata dan keceriaan yang kau tampakkan, benar-benar mengingatkan ku pada sesuatu.

Dan langit…kenapa dari sekian banyak yang terpajang akhirnya kau jatuhkan pilihan pada lukisan langit? 

Serta dilain waktu, kau juga telah menumpahkan kopi di salah satu lukisanku. Sepertinya kau ingin mengetahui reaksi diriku dengan melakukan hal tersebut, seakan-akan, kau ingin menghapus beberapa bagian yang ada disana. Ah, tapi darimana kau tahu lukisan itu menyimpan sejarah untukku?.
Baiklah…kali ini aku yang berlebihan. Dan sebentar lagi, aku memenuhi permintaanmu untuk kembali bertemu. 

----------------

“Um…aku suka puisimu, hanya saja…ini sedikit berbeda. Sebenarnya aku berharap puisi ini akan sama seperti puisi sebelumnya” ucapnya sambil menggaruk kepala, setelah ia membaca puisi yang baru saja ia minta padaku untuk membuatkannya lagi. 

“Puisi yang sebelumnya? Puisi apa? Puisi tempat pembuangan sampah?” Aku berusaha menangkap maksud perkataannya. 

Tapi…memang aku bukan penulis puisi, itu tidak ada dalam list bakatku. Aneh saja tiba-tiba dia meminta bertemu dan tak cukup sampai disitu, dia juga meminta sebuah puisi padaku. Dan apa? Tempat Pembuangan Sampah? Apa tema itu serta-merta muncul setelah melihat tampilan lusuhku dan gerobak sampah yang kubawa bersamaku dan kutinggalkan di pohon mangga seberang? Hei, aku hanya menggantikan tetangga yang sedang sakit untuk sementara. 

“Bukan... Itu... Mmm... Puisi yang ada di balik lukisan langitmu itu” jawabnya dengan nada bahagia. “Aku sangat menyukainya” deretan gigi yang rapi mempermanis senyumnya. "Ohya, ini ada makan sore untukmu. Maaf ya, ini cuma sekedar nasi sayur dan tempe saja. Hope you like it!", Ujarnya seraya mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya.

Aku menerimanya seraya berdebar setelah  ia menyebutkan mengenai puisi tersebut.

DEG!

Puisi dibalik lukisan langit! Ah puisi itu, bukan aku yang membuatnya. Bahkan, kalau bukan keinginan dari pemilik puisi tersebut, tentu saja aku sama sekali tak akan menjualnya dengan harga berapapun. Puisi itu, aku juga menyukainya, teramat sangat menyukainya.

Kemudian aku hanya tersenyum simpul, tanpa berniat menjawab atau menjelaskan padanya. Toh dia juga buru-buru setelah menengok jam yang melingkar manis di tangannya. Kemudian dia pergi begitu saja setelah mengucapkan terimakasih atas puisi yang baru saja kubuatkan.

Sepertinya tak hanya sorot mata dan keceriaannya saja. Mulai dari cara tersenyum, cara berbicara dan memperlakukanku, sikap saat menungguku, dan beberapa hal lainnya benar benar mirip dengan seseorang.

Ah, berapa kali pun kau minta bertemu, pasti akan kusanggupi, Mala Renjana.

~bersambung

**********

Baca juga Serenjana Senja dan Serenjana Senja 2 (tulisan berwarna biru bisa di klik loo)

Wednesday, October 24, 2018

Ku Tercekat Di Terminal

5


Malang nian nasib mereka. Baru saja menikah, bukannya kebahagiaan demi kebahagiaan yang mereka dapatkan, namun malah cobaan demi cobaan yang teramat berat. Bahkan dihari pernikahannya pun, ada banyak warga yang berusaha untuk membubarkan acara pernikahan mereka. Ah, kenapa pula sih warga-warga ini. Kok bisa-bisanya bertindak kasar  sedemikian rupa? Apa itu dikarenakan mereka tak mengumumkan pertunangan dan mengadakan pernikahan dimana banyak warga tak diundang? 

Cerita yang kudengar dari mempelai pria di terminal bis sore itu membuatku sedikit trenyuh. Ia bercerita sembari matanya berkaca-kaca. Sebelumnya, ia menawarkan beberapa potong bajunya yang ia keluarkan dari koper besar hitam lusuh miliknya agar kubeli. 

"Uangnya mau tak buat ongkos naik bis, dik. Saya sama pasangan saya mau pergi ke Jawa Tengah, barangkali disana saudara saya mau menerima kami", paparnya. Namanya Joni, namun katanya, ia lebih sering dipanggil Jek oleh teman-temannya.

Iya, baru saja Mas Jek dan pasangannya diusir dari desa mereka. Bahkan, dia bercerita jika  warga tega membakar kediaman mereka! Sebelum pembakaran tersebut, warga sudah meminta mereka untuk segera meninggalkan desa sesegera mungkin. Sebelum pembakaran itu pun, warga melempari rumah mereka dengan bebatuan hingga memecahkan kaca-kaca jendela.

Disela-sela ceritanya, kuajak dia ke salah satu warung dipojok terminal untuk mentraktirnya makan. Awalnya ia menolak ajakanku karena segan padaku yang telah memberinya uang untuk membeli tiket bis tanpa mengambil satupun baju-baju yang ia tawarkan padaku. Akhirnya ia mau setelah sekian lama kupaksa. Kebetulan saat itu aku baru saja mendapatkan rezeki yang lumayan besar setelah memenangkan lomba main PlayStation di salah satu rental PS terkenal kota ini. 

"Nunggu si Ria balik kesini dulu ya, mas? Ia masih buang air besar di toilet", pintanya, agar aku juga berkenan menunggu istrinya. Aku mengiyakannya. Kami kembali bercengkrama.

"Eh, warga marah bukan karena mas memelihara babi ngepet kan?", Aku mengajaknya bercanda. Ia sedikit tertawa, matanya masih berkaca-kaca.

"Atau, jangan-jangan mas sudah membuat cemburu warga-warga jomblo yang sudah lama mengidam-idamkan istri mas?"

"Atau, jangan-jangan, warga lagi bikin prank dan sebenarnya sudah menyediakan rumah untuk mas tempati bersama istri dan membakar rumah mas yang lama karena mereka tau rumah tersebut tak layak bagi pengantin baru, tapi mas keburu angkat kaki dari desa sehingga tak menyadarinya?", Ia tertawa lepas mendengar beberapa dugaan-dugaanku.

Tak lama kemudian, datang seorang bapak yang tiba-tiba duduk diantara kami. Sebelum ku tersenyum, ia tersenyum terlebih dahulu padaku. Lalu ia menoleh pada mas-mas yang bercengkrama denganku sedari tadi. 

"Sayang, lama ya nunggunya? Maaf, itu ku masih sakit setelah kamu sikat beberapa malam lalu, jadi BAB nya agak lama", bapak-bapak tersebut berucap manja sembari menggelayut pada lengan mas-mas tadi.

"Ah nggak kok sayang. Untukmu, apa sih yang tidak kulakukan? Oh iya sayang, ini ada adik baik yang mau menraktir kita makan", balas mas-mas tersebut.

Keduanya lantas menoleh dan tersenyum padaku

"Kenalkan dik, ini pasangan saya, Ria. Nama lengkapnya Rian Sutardji"

Mataku sedikit terbelalak.  Kihela nafas sejenak. Ingin kuberkata-kata, namun aku hanya bisa menganga. Cerita-cerita yang dari tadi dipaparkan mas Jek kembali berputar-putar di kepala. Sialan! Semua bentuk kekasaran warga pada mereka jadi masuk akal. Ternyata mereka...

Ah ingin ku berteriak, namun lidahku tercekat.

-----------

Haha... Tentu saja cerita diatas bukan kisah asli, karena beberapa hari ini saya hanya tergeletak begitu saja dikamar (sehingga punya banyak waktu menulis, namun sayangnya tak tergunakan secara maksimal, sehingga hanya berlalu dengan nonton-nonton YouTube offline yang seabrek). 

Saya hanya menulisnya untuk memenuhi request lama teman saya yang ingin dituliskan kisah cinta yang tragis. Ya begitulah, sepertinya tak memenuhi ekspektasi nya wkwkwk. 

Eh, tapi tenang sayang, saya normal kok. Hanya saja saya tak punya cukup uang untuk mempersuntingmu, sayang. *Berbicara pada gambar MacBook dan iPhone X

Btw, jangan coba-coba jadi kayak mereka ya gaesss

Thursday, October 11, 2018

Tuesday, September 25, 2018

Serenjana Senja II

13



Pagi mengantar embun pada dedaunan dan daun pintu kamarmu
Sore mengantar gerimis pada mereka yang rindu
Tuhan mengantar senyuman pada kelebat hati yang senantiasa mendoa
Mengantarmu padaku

------------------

Selamat pagi… Jangan lupa besok… Pohon beringin samping Kantor Perpustakaan Daerah. Jam 2 siang.”

Sms aneh dari nomor yang tak ku kenal menyelinap diantara sms-sms promo NSP dan CFC yang menyesaki inbox di hp jadulku.Maaf, ini siapa? Apa maksud anda?”, aku membalas sms tersebut setelah membeli pulsa terlebih dahulu.

Aku salah satu dari sedikit pembeli lukisanmu. Sudahlah, datang saja” :)

Sialan, aku tau lukisanku memang tak begitu laku, tapi ya mbok jangan memakai kata ‘sedikit pembeli’ seperti itu. Ah sudahlah, percuma juga aku memaki-maki disini. Membalas smsnya pun akan membuang-buang pulsa saja.

Bagaimana? Bisa datang kan? (/\)”

Ia mengirim sms lagi sekitar setengah jam setelah sms terakhirnya kuterima. Kugeletakkan hpku begitu saja setelah membacanya, lalu aku mulai merebahkan kepala yang sejak kemarin harus terjaga untuk menyelesaikan beberapa deadline lukisan yang sudah ditagih-tagih oeleh beberapa pemesan. Aku mendengar hpku kembai berbunyi setelah sekitar 10 menit mencoba merebahkan kepala dan memejamkan mata.

Kenapa smsnya nggak dibalas? Nggak punya pulsa ya? Oh ya, kamu kan sepi pembeli, jadi harus banyak-banyak melakukan penghematan agar jangan sampai hasil kerjamu yang sedikit itu habis gara-gara membalas smsku. Wkwkwk”

Aku hanya tersenyum setelah membaca sms tersebut. Rasa penasaran ini membuatku memutuskan untuk benar-benar datang besok di tempat yang ia tawarkan.

Hei? Kok gak dibalas sih?

Ia mengirim pesan lagi. Bisa ditebak, pengirim pesan ini adalah seorang wanita. Sudah memahami kondisiku yang serba berkekurangan, namun tetap saja ingin dibalas smsnya. Tunggu saja besok. Nona. Aku akan datang memenuhi undangan.

Aku kembali merebahkan badan dan memejamkan mata. Terdengar nada pesan masuk berdering beberapa kali. Sepertinya, itu pesan dari pengirim yang sama. Aku semakin yakin jika ia adalah seorang wanita.

***
Langit begitu cerah siang ini. Namun cuaca terasa tak begitu panas sekalipun tak ada mendung maupun awan yang bergelayut menaungi.

Ohya, aku kan sedang berada di bawah pohon beringin yang besar. Pantas saja tak kurasa panas dari tadi.

10 menit berlalu. Aku masih belum merasakan tanda-tanda kehadiran dirinya. Baru berjarak beberapa kedip mata, nada pesan masuk hpku berdering.

Sini, di pohon beringin. Kamu ngapain dari tadi di bawah pohon mangga?”

Ha? pohon mangga? Aku lantas melihat lagi pohon tempatku bernaung dengan seksama. Ternyata benar, ini adalah pohon mangga. Ah, betapa terkadang kecerobohanku terlalu keterlaluan. Aku lantas melihat sekeliling, nampak seorang wanita berkacamata sedang melambaikan tangan kirinya padaku. Tangan kanannya sibuk menutupi mulutnya, menahan tawa. Lalu setengah berlari ke arahku. Ah, aku mengingatnya. Ia adalah pembeli lukisan senja tempo itu. Beberapa kedip mata kemudian, Ia sudah berada begitu dekat. Aku tercekat.

“Hei mas?”

Lidahku kaku, aku masih kesulitan menguasai degup yang seketika memburu.

“Halo?”, ia menjentikkan jari didepan mukaku. Sedangkan aku masih tak tau harus bagaimana. Bersyukurkah? Atau bagaimana harusnya aku bertingkah? Betapa jejak yang dia tinggalkan di pertemuan pertama masih menciptakan gelisah demi gelisah. Sedangkan sekarang, ia hadir langsung dihadapan. Duhai Tuhan, apa yang harus kulakukan?

“Eh iya, ada apa mbak? Mau beli lukisan lagi kah?”, ujarku terbata-bata. Kutundukkan muka dan kuhirup nafas sedalam-dalamnya agar lebih tenang menguasai suasana.

“Haha, nggak kok. Aku mau minta bantu buatin puisi, bisa kan?”

“Aduh, saya nggak bisa bikin puisi mbak, menyusun kata-kata indah bagi saya tak semudah menyusun garis, titik dan koma serta merangkai komposisi warna pada kanvas, mbak”

“Yaaahh, mas. Masak sih nggak bisa?”

“ya kalau puisi sekedarnya sih bisa-bisa saja mbak. Butuh sekarang juga tah?”, aku mencoba menyanggupinya. Ia mengangguk ceria. “Puisinya tentang apa mbak?”

“Tempat pembuangan sampah, mas”, ujarnya sambil tertawa.

Sialan, membuat puisi-puisi cinta saja ku tak bisa, nah ini lhakok diminta membuat puisi dengan tema sedemikian rupa. Aku mengernyitkan dahi padanya, ia menjawabnya dengan menyodorkan selembar kertas buram dan pena berwarna biru, juga  senyum simpul yang terasa familiar. Sembari membuatkannya puisi, aku mencoba mengingat-ingat dimana pernah kutemui senyum tersebut.

Suatu hari, pemuda itu berdiri gagah 
ditangannya terkepal sampah 
namun ia membuangnya sembarangan. Hah! 
Ingin ku marah! 
Tak perdulikah ia dengan bumi yang semakin parah?


Kupungut kembali sampah yang ia buang tadi 
kulemparkan padanya tanpa peduli 
ia melongok kanan dan kiri


kenapa kau kembalikan sampah ini padaku?”, ujarnya kaku 
tolong jangan buang sampah sembarangan!”, ku perketus jawabku 


Loh, ini kan area TPS. Ya sah-sah sajalah!”, jawabnya 
oh iya, ini TPS, ya? 
Buru-buru ku menyingkir darinya 
betapa diriku malu bermerah muka

Ku sodorkan kembali kertas dan pena yang ia berikan padaku untuk membuat puisi setelah ku menyelesaikannya. Betapa kemudian ia tak kuasa menahan tawa. “Kamu bikin puisi atau bikin cerita komedi sih, mas?”, ucapnya sambil menyeka air mata yang keluar karena tertawa. Ia tersenyum memandangku begitu lama setelah puas tertawa. “Eh ini, ada bakwan, aku buat sendiri lo, dimakan ya?”

Ah, aku mengingat senyum dan tawa itu. Itu senyum miliknya yang turun bersama gerimis pada suatu senja, lalu melepas sayapnya dan memintaku menyimpannya karena ia ingin menjadi manusia beberapa masa, yang membuatku begitu menyesal kenapa tak menanyakan namanya sebelum aku terjaga dari mimpi ini.

Pembeli lukisan yang membuatku gelisah saat terjaga dan bidadari yang menyamar menjadi manusia dalam mimpi, lalu menghantui tidurku.

Duhai, apakah kalian sosok yang sama?

~Bersambung...




*Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Serenjana Senja yang sudah saya tulis sebelumnya di blog ini juga. (tulisan berwarna biru bisa diklik lo)