Ah, sebenarnya saya
sudah berkomitmen untuk tak menulis konten blog dalam beberapa bulan
kedepan. Tapi, masalah ini benar-benar penting dan harus saya
tuliskan segera. Tak apalah, biar saya ceraikan dulu komitmennya
sementara. Semoga nanti ia mau menerima kembali saat saya hendak mengajaknya rujuk lagi.
Haha
Entah kenapa, hampir
dimanapun posisi dan keadaannya, pak Jokowi selalu saja menampilkan
perbuatan dan mengeluarkan perkataan yang bully-able (mengakibatkan
beliau diejek-ejek).
Nglakuin ini,
dibully. Nglakuin itu, dibully. Heran saya.
Lha kok rasa-rasanya kasihan ya
beliau itu. Susah-susah dan mahal-mahal jadi Presiden, eh malah jadi bahan bully-an. Mending jadi semen aja kalau gitu pak, bisa jadi bahan bangunan. Jadi terasi juga boleh, bisa jadi bahan sambel. Atau jadilah jurnal pak, sebagai bahan referensi pengerjaan proposal saya yang entahlah. Hiks hiks.
Padahal, disetiap perilaku dan perkataan beliau, ada
makna lain yang bisa didapatkan oleh orang yang mau berbaik
sangka. Cukup berbqik sangka, tak perlu memakai teori hermeneutika dan aplikasi semantik Toshiko Itsuzu. Cukup dengan berbaik sangka saja.
Mari, perkenankan saya mengajak njenengan-njenengan untuk sedikit merenungkan hal-hal dari beliau yang kemudian menjadi bahan bully-an.
Mari, perkenankan saya mengajak njenengan-njenengan untuk sedikit merenungkan hal-hal dari beliau yang kemudian menjadi bahan bully-an.
1.
Nyanyi lagu Sabyan
Akhir-akhir
ini, video beliau menyanyikan lagu Deen As Salam menjadi viral.
Aptahiyah,
wapsalam… ansaru
ahlalkalam... jainuddin najiro... Kurang
lebih, begitulah beliau berdendang.
Lha
itu cuma nyanyi lagu dengan lirik salah lo bro. Lah ternyata malah
menjadi bahan ejekan disana-sini. Ada yang bilang gak pantes lah, gak
fasih lah, ngawur lah…
Swantay bro. Tarik nafas dulu.
Swantay bro. Tarik nafas dulu.
Begini
bro, nyanyi lagu dengan lirik yang salah itu dosa gak? Enggak kan
sepertinya? Okelah, andai anda mengatakan itu dosa, lebih dosa mana
dengan saat kita membaca Alquran tapi dengan salah-salah dan tak mau
bersungguh-sungguh belajar memperbaikinya? Yang ada malah sibuk
ngejek-ngejek pak Jokowi yang cuma salah ngucap lirik lagu. Padahal
Alquran itu, salah ucap huruf sedikit saja, artinya bisa jauh
berbeda.
Saya
berkata demikian bukan karena bacaan Alquran saya baik. Bacaan
Alquran saya juga buruk, hanyasaja saya tak “memperburuknya”
dengan mengejek-ngejek seseorang hanya karena salah ucap lirik lagu!
2.
Al-fateka
Masih
ingat bagaimana kemudian pak Jokowi dihujat habis-habisan hanya
karena kurang fasih menyebut Al-Faatihah?
Ummm,
saya tak akan berkomentar, cukup kita lihat diri kita sendiri dulu.
Bagaimana
kita saat menyebut Ali ‘Imron? Itu ‘Imronnya
pakai ع
lo. Tapi
sepertinya, seringkali
saya menyebutnya menggunakan Alif hamzah kasroh ( إ
). Ad Dhuha itu
memakai ض
(Dlod) lo. Tapi
saya seringkali menggunakan د
(dal) saat
menyebut nama suratnya. Yaasin juga begitu. Sepertinya saya juga tak pernah menyebut surat yaasin dengan sebetul-betul ucapan; Yaasiiiiiin. Dan
masih banyak lagi.
Eh
tapi itu saya lo, kalau anda-anda sih, saya yakin insyaaAllah sudah
fasih membaca
Alquran, bahkan hingga ke pengucapan nama-nama suratnya.
Oyaaa. Yang biasa nyebut An-Naas, al-falaq dan Al ikhlas dengan sebutan triqul, ayo ngacung!! Wkwk
3.
Laa haula wa laa quwwata illaa billaah
Ah
ini juga, di salah satu pidatonya, sepertinya pak Jokowi “lidahnya
keplecuk”. Seharusnya, beliau mengucapkan Laa haula wa laa quwwata
illaa billaah, tapi yang terdengar malah “laa kalau kalau kata ila
billah”.
Saya
ingin bercerita sedikit mengenai ini. Umm, lidah keplecuk (kepleset)
saat berbicara itu biasa bro. Apalagi saat di panggung. Pernah suatu
saat, ada seorang ustadz yang khotbah jumat. Saat
berdoa, sepertinya lidah beliau keplecuk, dari yang harusnya berkata
اجتنابه
menjadi اتباعه
. Yang
seharusnya doa tersebut artinya kurang lebih “berikanlah kami
kemampuan untuk menjauhinya (menjauhi kebatilan)” malah menjadi
“berikanlah kami kemampuan untuk mengikutinya (mengikuti
kebatilan)”. Ya jelas itu fatal banget, lha bagaimana tidak fatal
lhawong diaminkan orang se-masjid yang melek.
Sedangkan
yang ngantuk hingga kesirep-sirep
cuma ngangguk-ngangguk doang, ya ngangguk-ngangguknya itu karena
ngantuk.
Terpeleset itu biasa. Tapi jangan membiasakan diri untuk terpeleset, apalagi mempelesetkan diri.
Lagian bapak Jokowi itu cocoknya main pencitraan, bukan main plesetan
Terpeleset itu biasa. Tapi jangan membiasakan diri untuk terpeleset, apalagi mempelesetkan diri.
4.
Memilih cawapres
Banyak
yang menduga bahwa salah satu alasan beliau memilih cawapres adalah
untuk merangkul hati umat muslim yang “tersakiti” oleh kebijakan-kebijakan rezim beliau.
Terlepas
dari apapun alasan beliau, coba kita
saya lihat dari sudut pandang yang lain.
Pak
Jokowi mendekati ulama besar. Sedang kita
saya?
Coba kita
saya bermuhasabah, siapa yang lebih sering kita
saya dekati? Jangankan ulama. Jangan-jangan Kita saya malah sibuk dengan mendekati dia yang kita
saya sangka adalah
“tulang
rusuk” dari pada mendekati ia yang surga berada di telapak kakinya!
Astaghfirullah
Namun,
alangkah indahnya jika dipilihnya KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapres ternyata adalah agar pak Jokowi bisa menyetorkan hafalan Alqurannya pada Kyai Ma'ruf seba’da
shubuh sekaligus tahsin Alquran hingga syuruq, lalu belajar nahwu shorof di sore harinya setelah seharian
penuh mengurus negara dan perekonomian umat, lalu ngaji sorogan tiap
ba’da isya.
Andaikan benar begitu,
anu pak. Ngaji fathul Izar dan qurotul uyun sepertinya asyik kalau sudah menikah. Karenaaa… bisa langsung dipraktekkan sepulang
dari mempelajarinya. Haha. Kalau belum nikah mah, cuma bisa ngaplo sembari cemas-cemas berharap suatu saat akan ada jodoh berparas-prilaku manis nan sholih/ah yang sudi membersamai hingga akhir hayat nanti.
Kedekatan
yang beliau bangun dengan kyai juga bisa membuat beliau dengan mudah
mendengar kajian tauhid, siroh, fiqh, tafsir, dan adab di tiap akhir
pekannya secara langsung dari KH. Ma’ruf Amin dan kyai-kyai besar
lainnya. Enak pak. Semakin bapak paham mengenai agama, berarti itu tanda Allah menghendaki bapak jadi orang yang baik.
5. Tak dikenal rakyat sendiri
Jargon merakyat yang lekat pada diri beliau tak lantas membuat beliau dikenal oleh rakyatnya sendiri. Di salah satu video, ada bapak-bapak yang maju ke panggung Jokowi. Ia lalu mendapatkan pertanyaan dari Jokowi, "siapa nama saya?". Bapak tersebut menjawab "tidak tahu" (dalam bahasa madura). Sontak, penonton tergelak.
Umm, pernah tau cerita mengenai pengemis yahudi tua yang kemudian begitu menyesal saat ia baru tahu bahwa selama ini yang menyuapinya makan dengan kelembutan adalah Rasulullah SAW yang senantiasa ia hina? ia baru mengetahuinya setelah Rasulullah SAW wafat dan digantikan oleh Abu Bakar RA yang kemudian menceritakan pada pengemis tersebut mengenai siapa yang biasa menyuapinya.
Atau kisah mengenai seorang ibu yang berkata didepan Khalifah Umar bin Khattab yang baru saja membantunya, "Andai saja Khalifah Umar bin Khattab seperti dirimu!", tanpa mengetahui bahwa yang membantunya sedari tadi adalah Umar?
Umm, bisa jadi Jokowi tak terkenal di bumi, namun begitu terkenal di langit
Namun entah, terkenal karena apanya dan terkenal bagaimana. Semoga itu hal yang baik.
6. Sudahlah stop
Kalau dilanjutkan, kesannya malah gimanaa gitu. Seakan-akan kesalahan-kesalahan pak Jokowi itu banyak sekali. Padahal. Padahal, nggak baik lo mencari-cari kesalahan orang itu. Adapun kesalahan-kesalahan diatas itu saya sebutkan untuk membela beliau dan untuk kita renungkan. Sedangkan kesalahan-kesalahan beliau lainnya, tentu saja saya akan kesulitan, atau bahkan tidak akan bisa mencari pembelaannya.
Sudahlah, berdoalah agar beliau selalu dilimpahi kebaikan kebaikan, yaitu agar beliau dapat menyelesaikan jabatannya dengan baik, dan agar beliau mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik.
Salam 2 jari, pak!
*Sekedar pengumuman, domain blog ini akan habis. Mungkin Januari atau awal Februari 2019, mustofacoo.com tak lagi bisa diakses jika saya tak memperpanjangnya. Doakan supaya ada rezeki ya :)






