Saturday, December 31, 2016

Pasar, Sadar

3

Ia melipat kedua lengan bajunya sampai siku. Wajahnya juga seperti sedang melipat sesuatu. Dan matanya—aku tau—sedang melipat erat bayang masa lalu.

Rambut putihnya menyembul keluar dari kerudung hijau yang ia kenakan asal-asalan menutupi sebagian dahinya. Biji peluh yang tak pernah ia seka nampaknya memang suka berdiam diantara senggang kerut pipinya. Tak terusik, ria.

Ia melambai padaku, menginginkanku untuk membeli apa yang ia jual.

Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala padanya, seraya berlalu.

_______

Berlalulah angin. Mencoba mengendap-endap, namun celah antara rerimbun semak memang terlalu sempit. Angin benar-benar tak pernah bisa belajar mengelak. Ia hanya bisa berlalu dan menabrak apa saja; Kaca depan metromini, mata tukang ojek, bahkan paha-paha yang tersingkap.

Apalagi semak. Angin memang hanya bisa menabrak.

Lalu terbangunlah dedaunan semak, saling menggeliat.

Kancil kecil semakin ketakutan.

“Mungkin Singa sedang bersembunyi dibalik semak dan  menunggu waktu yang tepat untuk menerkamku, aku harus bertingkah tenang”, ujar si Kancil dan pikiran was-wasnya

_______

Was-wasnya ibu terhadap anaknya, sangatlah besar.

“Bu, aku jajan ini ya?”, ujar anak kecil yang merengek dipasar.

“Jangan ah, jijik, banyak lalatnya. Gak enak, banyak pengawetnya”. Ujar ibunya yang masih muda. Yang kemudian menggeret anaknya entah kemana

Sementara, ibu tua penjual jajanan tersebut hanya menatap si ibu muda, tak mampu berkata apa-apa.

Ia kemudian menyeka peluh di dahinya, dan dipipinya yang sudah mulai bercampur air mata.

_______

“Air mata itu sakral bung, apalagi milik wanita”, ujarnya suatu saat.

“Sakral gundulmu, baru saja kita merenggut sesuatu yang sakral. Namun, kenapa nggak ada air mata?”, tukas temannya, sambil memasang celana.

“hahahaha”, mereka tertawa bersama, sambil menutup resleting celana mereka masing-masing, bersama-sama pula. Lalu mereka bersama-sama mengedipkan mata, kearah pojok kamar dengan cat hijau tua.

Sementara, di pojok kamar, seorang gadis muda yang masih belum bercelana menghitung berlembar-lembar uang riang- riang.

_______

Riang gembira hati si kancil. Ternyata tak ada Singa yang bersembunyi dibalik semak-semak seperti yang ia perkirakan.

Ia kemudian berjalan dengan tenang, tanpa sadar, bahwa sesuatu yang berbahaya sedang mengintai dan perlahan mendekatinya.

_______

Mendekatinya adalah hal yang sama sekali tak terbetik dalam pikiranku. Namun entah kenapa tiba-tiba langkah kaki ini mengayun kearahnya.

Kearah lapak ibu tua penjual jajanan tradisional.

Ia masih menyeka air mata 


"Ini berapa bu?", ujarku, sambil memegang pisang goreng yang sudah dingin.

Tak ada jawaban. Hanya ada sengguk yang lamat-lamat terdengar.

Ia masih menyeka luka.

_______


Luka yang diderita si Kancil setelah diterkam Buaya tadi masih menganga lebar. 

Ia yang merasa aman setelah mengetahui tak ada Singa di balik semak-semak menurunkan kewaspadaan dirinya. Hingga akhirnya moncong si Buaya dapat dengan mudah menerkam kaki kanan depannya saat baru beberapa detik ia bersantai di tepi sungai.

Beruntung ia dapat melarikan diri setelah tendangan-tendangan kaki kanan belakangnya mengenai mata si Buaya.


_______

"Buaya! Lagi-lagi buaya! Apa kau tak punya sebutan lain untuk mereka selain buaya?!", bentak seorang gadis cantik, pada ibunya yang tua.

Si Ibu tergugu. Amarahnya berubah menjadi kesedihan. Teriris hatinya mendengar bentakan putrinya.

"Ya! kalau kata tetangga emang benar kenapa?! Biar!! Tubuh ini tubuhku, terserah aku menjualnya pada siapa!!!", sambung si gadis. 

"Setidaknya mereka yang kau sebut buaya bisa memberikanku uang, tak seperti dirimu!", pungkasnya, seraya keluar dari rumah setelah dengan keras membanting pintunya.

Si Ibu mulai menangis tanpa suara. 

Perih. Tak terungkap kata.


_______

Kata-katanya tak beraturan. Betapa tidak... ia senggukan, juga terbata-bata. 

Namun, aku paham ceritanya, karena air mata, bercerita lebih banyak daripada kata-kata. 

Ibu penjual jajanan tradisional menceritakan banyak mengenai keluarganya, putrinya, obrolan tetangga dan banyak hal lainnya.

Sempat ku berfikir, betapa kurang ajar putrinya

Lalu ke menyadari sesuatu, jika sepertinya aku tak lebih baik darinya. Setidaknya putri tersebut masih pulang ke rumah, sedangkan aku sering sekali tak memenuhi keinginan ibu agar aku pulang barang sebulan sekali. 

Dosa yang ini, semoga kau maklumi, Ibu


_______

*oleh-oleh belanja di pasar tadi pagi. Lumayan buat melengkapi draft blog biar bisa dipost...


Wednesday, October 12, 2016

Friday, September 02, 2016

Setelah Ada Dian Sastro, Masih Ragukah Kita Dengan Surga?

6

Suatu hari, saya mendengarkan ceramah mengenai kecantikan bidadari yang terus bertambah tiap kali kita memandangnya di surga kelak. Katanya, setiap detik, kecantikannya akan bertambah. Setiap kita berkedip, kecantikannya akan bertambah. Apalagi jika ditinggal main PES selama sekian jam. Mungkin ibaratnya, jika kita sebelum main PES melihat kerbau yang masih belepotan lumpur, maka setelah beberapa jam bermain, bisa jadi kerbau tadi berubah menjadi Raline Syah yang berkerudung! Kurang penak piye ngunu kui hah?!

Tolong catat. Itu hanya terjadi di surga. Karena saya yakin bahwa film 5 cm, Surga Yang Tak Dirindukan, 99 Cahaya di Langit Eropa dll yang dibintangi oleh Raline Syah tidak akan banyak peminatnya jika hal tersebut bisa terjadi di sawah.

Tak hanya para penggemar film dan fans Raline Syah, bahkan saya pun akan rela ngutang kemana-mana untuk beli kerbau, lalu saya biarkan ia bermain di sawah agar ia belepotan lumpur sementara saya menunggunya dengan bermain PES dengan sembunyi-sembunyi di gudang pondok memakai laptop Mas Qaf. Setelah memenangkan beberapa piala Cup, saya akan kembali ke sawah untuk menjemput Raline Syah. Kurang penak piye ngunu kui hah?! [2]

Bukan bermaksud untuk meragukan perkataan si Da’i. Namun karena saya digodok selama tiga tahun di STM yang anak-anaknya suka meragukan berita dan kebenaran apapun itu, jadinya saya sedikit ragu.

“Mbulet! Katanya nggak bermaksud meragukan, tapi akhirnya bilang kalo kamu itu ragu. Gimana sih kamu itu, Mas?”

Oke oke. Saya memang sedikit sangsi atas pernyataan Da’I tersebut. Namun keraguan saya terjawab tuntas kala saya pulang kemarin sore. Saya menemukan film Ada Apa Dengan Cinta 2 di laptop ibu saya. Karena saya lagi nggak ngapa-ngapain dan lagi nggak enak mau ngapa-ngapain, akhirnya saya menonton film tersebut.

Berbicara mengenai film AADC2, berarti berbicara mengenai Rangga dan Cinta, atau lebih tepatnya Nicholas Saputra dan Dian Sastro. Kata si Cinta, Rangga itu jahat (bisa dilihat di film AADC2 menit ke 52:25 sampai 52:30), namun sejatinya ada yang lebih jahat dari Rangga! Siapa lagi kalo bukan si Produser dan Sutradara yang mengadakan adegan ciuman dan berpelukan antara Rangga dan Cinta! (anda akan menemukan adegan tersebut jika film yang anda tonton masih original/belum dipotong/Belum disensor). 

Sialan! Bajindul njenengan sedoyo!!!  

“Hahaha, Kurang penak piye ngunu kui hah?! [3]”, jawab Rangga dalam imajinasi saya. Membuat saya gemas ingin mencubit pipinya, memakai kunci inggris yang telah dibakar selama 10 jam.

Kau boleh saja senang karena bisa mbathi di adegan itu. Namun saya haqqul yaqin, Ngga. Setiap jiwa lelaki para fans Dian Sastro yang nonton adegan tersebut pasti memiliki dendam kesumat padamu. Kalo nggak dendam, paling enggak mereka pasti misuh padamu.

Sudahlah, hentikan pembahasan mengenai Rangga.

Dulu (entah itu beberapa tahun lalu) saya sempat mendengar sebuah celotehan yang kurang lebih seperti ini bunyinya…

“Kecantikan yang diiciptakan Tuhan untuk Indonesia itu dibagi menjadi dua. Separuhnya untuk Dian Sastro, separuhnya lagi untuk dibagi-bagi ke seluruh rakyat Indonesia”

Jadi jika ada seseorang yang mengaku dirinya cantik atau menganggap orang lain cantik, tolong diingat! Kecantikannya itu hanyalah satu per sekian ratus juta dari kecantikan Dian Sastro! Camkan itu! Haha


Berangkat dari pernyataan itu, saya kemudian mencoba mencari-cari siapakah Dian Sastro tersebut. Dari pencarian itu, saya jadi tau kalau film yang pernah saya tonton sewaktu kecil dulu, Ada Apa Dengan Cinta (AADC), ternyata dibintangi oleh Dian Sastro. 

Dian Sastro di Film AADC yang pertama (tahun 2002) berusia sekitar 20 tahun. Masih belum bersuami, masih ting-ting pokoknya lah. Usia 20, adalah masa-masa dimana (katanya) seorang perempuan itu sedang mekar-mekarnya.

Dan 14 tahun kemudian, dimana ia sudah bersuami dan beranak dua, dimana seharusnya ia bertambah gembrot dan berlemak, dimana seharusnya ia bertambah keriput dan jelek karena semakin tua, ternyata malah semakin uhuk ehem haciiuw broo!!. Nih buktinyaaa..
2016

2002
Saya mah, jangankan 14 tahun lagi. Kemarin waktu beli keyboard laptop internal saja, saya dipanggil "pak" oleh kasir yang jelas-jelas lebih tua dari saya. Bukan hanya itu. Sewaktu saya mencetak poster di salah satu percetakan, mbak-mbak berdempul yang sepertinya lebih tua dari saya juga memanggil saya "pak". Jika di ingat-ingat lagi, selain mereka berdua, masih banyak lagi yang memanggil saya dengan panggilan "pak" -_- . Ayolah, saya tidak setua itu...

Kembali ke Dian Sastro.

Jika kerbau belepotan lumpur dibiarkan beberapa jam bisa menjadi Raline Syah, mungkin setelah dibiarkan satu hari ia bisa berubah menjadi Dian Sastro.

"Kayaknya lebih cantik Raline Syah deh daripada Dian Sastro, Mas"

Karena masih satu kaidah/hukum yang saya temukan mengenai kecantikan Dian Sastro (yang "Kecantikan yang diiciptakan Tuhan untuk Indonesia itu dibagi menjadi dua" itu), jadi sekalipun Raline Syah, Natasha Rizki, Citra Kirana, dan seluruh anggota JKT48 dikumpulkan, niscaya beberapa helai rambut Dian Sastro masih lebih (y) dari pada mereka semua hahaha.

"Lah kalo kerbaunya sudah menjadi Dian Sastro gimana? Bisa bertambah cantik lagi gak?"

Hahaha, gak tau ya, mungkin Dian Sastronya bertambah banyak kali :p . Kurang penak piye ngunu kui hah?! [4]

Jika di dunia saja Dian Sastro bisa bertambah uhuk ehem haciiuw seiring berjalannya waktu, masih ragukah kita akan berlipatnya kecantikan bidadari tiap kita memandangnya? masih ragukah kita akan kenikmatan surga?

--------------------------------------------------

Kecantikan itu relatif. Menurut saya sih Dian Sastro itu nggak cantik-cantik amat. Ya cantik sih, tapi biasa saja. Apalagi Raline Syah, Natasha Rizki, Citra Kirana, dan seluruh anggota JKT48. 

"Lah terus, cantik menurutmu itu seperti apa, Mas?"



Ini nih, seperti ini. Tapi ini bukan menurut saya, tapi menurut ibu saya. Ibu saya selalu bilang kalo beliau itu cantik, maka sudah menjadi kewajiban bagi saya sebagai putranya untuk mematuhi ucapannya :D

Haha... Udahlah, sekiaaan.

Monday, July 18, 2016

7M di Banyuwangi Part 2

6

SAMBUNGAN...

Malam Jumat. Kami menghabiskannya dirumah Mas Amin. Malam itu, kami berencana untuk pulang ke Jember keesokan harinya.

Lagi-lagi. Rencana kami dibatalkan karena kami diajak untuk mengunjungi rumah saudara Mas Amin di (lupa nama tempatnya). Selesai sholat jumat, lagi-lagi kami diajak untuk berlibur ke pantai bersama-sama dengan keluarga Mas Amin dan saudara-saudaranya. Beruntungnya, kali ini tidak ada cegatan yang menghalangi kami.

Saya yang kali ini mengemudi sendiri (Pakdhe Ruhul naik mobil), terpisah dari rombongan. Saya yang nggak membawa hp (karena hilang) dan tak membawa uang sepeserpun kemudian berhenti ditepi jalan. Awalnya saya berniat untuk meminjam hp pada orang dan menelpon nomer Nduk Ayu, adik bungsu Mas Amin. Kebetulan saya menghafal nomer handphonenya. Hahaha.

Belum sempat meminjam, saya terlebih dahulu ditemukan oleh Nduk Ayu yang dibonceng oleh Mas Yahya, sepupunya. Ternyata bukan hanya saya dan Mas Yahya yang tertinggal. Mas Amin juga tertinggal. Mas Ulum malah kelewatan jalan. Syukurlah, akhirnya kami bersama-sama menuju pantai Bangsring.

Waktu kami datang di rumah Mas Amin di hari selasa, sebenarnya ia sudah menawarkan kami untuk berlibur ke pulau Tabuhan. Namun membutuhkan biaya sekitar 500.000 rupiah untuk menyebrang dari pantai menuju pulaunya. Biaya tersebut bisa ditanggung oleh maksimal 10 orang. Namun karena berbagai kendala, akhirnya kami sepakat untuk tidak kesana.

Tapi siapa sangka, kami sekarang malah diajak kesana. Gratis pula! Biaya penyebrangan dari pantai Bangsring ditanggung oleh Mas Ulum. Saya jadi agak heran, kenapa semua anak bernama Ulum yang saya kenal selalu sangat baik hati? Uhuk.

Saya jadi curiga pada Pakdhe Ruhul. Jangan-jangan ia tak pernah benar-benar mbatang dan mbangkong bersama kami. Jangan-jangan ia wiridan dengan posisi seolah-olah tertidur. Atau jangan-jangan, ia bermimpi wiridan untuk merayu Tuhan agar diberangkatkan ke pulau Tabuhan! Mengingat bahwa ialah yang paling ngebet untuk berangkat ke pantai.

Apapun itu, terimakasih yaa Rabb, terimakasih Mas Ulum, terimakasih untuk seluruh keluarga Mas Amin. Apalagi jika diingat-ingat, dari awal perjalanan di hari senin sampai sekarang, saya tak mengeluarkan uang sepeserpun. Sebenarnya dari Jember saya sudah membawa uang 10.000 rupiah untuk berjaga-jaga kalau ada apa-apa dijalan, namun ternyata uang tersebut malah hilang diperjalanan.

“hadeh, jaga-jaga kok cuma bawa 10.000 rupiah. Pancet ae kowe, Mus! Mulai SD mesti ae gak tau bondo!”

Ben! Saya gak begitu khawatir karena saya adalah hamba dari Sang Maha Kaya :)

Wes lah, memang sebuah kebodohan jika sampai melakukan hal seperti yang saya lakukan. Tapi akan lebih bodoh lagi jika kita sampai tak percaya bahwa Tuhan mampu mencukupi kita. Nggeh nopo nggeh?

Enough. Back to the topic!

Perjalanan dari pantai menuju pulau Tabuhan dapat ditempuh selama sekitar dua puluh menit menggunakan kapal kecil. Kita dapat melihat adanya air yang berbeda warna menjelang sampai ke pulau Tabuhan. Jika dari tengah kita “berlayar” di atas air yang berwarna biru, maka disekitar pantai pulau Tabuhan, kita disambut dengan warna air yang seperti kehijauan. Gradasi warna air laut tersebut sungguh menyenangkan untuk dilihat.

Kami sampai di pulau Tabuhan sekitar jam tiga sore.

Pasirnya berwarna putih seperti di film-film. Banyak terdapat pecahan terumbu karang yang kami temui disepanjang pantai. Katanya, pecahan tersebut berasal dari terumbu karang yang terkena bom peledak untuk menangkap ikan. Jangan salahkan nelayan, apalagi presiden. Cukup salahkan saya karena berita ini belum saya konfirmasi kebenarannya.



Kami mengambil banyak sekali foto disana. Yasudah. Itu saja sih. Ohya, kami juga berlarian, snorkel snorkel juga, sholat ashar, dan apalagi ya? Tapi percayalah, kami sangat bahagia. Banyak hal yang tidak bisa dijabarkan dengan kata.

“Ih ayo lah mas, coba deh deskripsikan dikit aja dengan bahasamu”

hah okelah. Dikit aja yaaa..

Selambai siur basah tertiup. Bajuku basah kuyup. Mataku basah terkatup. Ingatanku basah tak aruk.
Kujejakkan kakiku pada hamparan putihnya pasir. Tak butuh waktu lama, debur ombak kecil dengan buih-buih tipis diatasnya membuat jejak-jejak kakiku terhapus begitu saja. Begitu mudahnya.
Namun aku bukanlah pantai, maka tolong jangan datang dan pergi begitu saja. Karena aku hanya memiliki rindu untuk membasuh jejakmu, dan asal kau tau, kecipaknya membuat hati semakin ngilu.

Lah kok malah ngawur gini? Udah lah stop stop.

Sebenarnya saya juga mengambil sebuah batu dari sana. Pecahan batu karang yang berwarna merah. Niatnya sih niruin salah satu skenario Descendant of the Sun. Namun karena belahan hati saya tak ada disana saat itu, jadinya saya meletakkan batu itu kembali huhuhu *emang punya belahan hati?

Di pulau ini, Pakdhe Ruhul mengatakan bahwa kami bisa kesini karena Tuhan masih sayang kita. Ia juga mengatakan hal itu berulang-ulang saat kami naik sepeda motor, sebanyak berkali-kali kami lolos dari kecelakaan. kami memang menaiki sepeda motor yang kurang "bertaji" untuk dibawa bersilaturrahmi ke Banyuwangi. Rem depan yang sudah bisa dibilang tak berfungsi, rem belakang yang kurang berfungsi, tidak ada klakson dan helm yang malah mengganggu pandangan membuat kami sering terlibat kejadian-kejadian yang berpotensi mencelakakan.


Pakdhe Ruhul juga menjelaskan, bahwa salah satu tanda Tuhan masih sayang kita adalah dengan tertutupnya kemungkinan-kemungkinan bagi kita untuk melakukan maksiat.

Duh Gusti, berfoto dengan Nduk Ayu dan Mbak Nikmah (adik pertama Mas Amin) bukan suatu kemaksiatan, kan?


Mas-mas di ma'had dan ditempat lain, mohon maaf lahir batin ya? :p

Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. kami sampai di pantai Bangsring sekitar jam 5 sore dan sampai di rumah Mas Amin sekitar jam 8 (kalau salah mohon dikoreksi).

Malam sabtu. Kami terlalu lelah untuk beraktivitas saat itu. Mbatang menjadi pilihan paling tepat untuk memulihkan badan yang rasa-rasanya remuk. Setelah sekian lama terbaring sakit dikasur membuat tubuh saya masih belum terbiasa dan mudah capek jika dipakai jalan-jalan kemana-mana.

Keesokan harinya, kami pamit. Beragam model kalimat permohonan maaf kami sampaikan pada ibunya Mas Amin, karena bagaimanapun, ia tetap sabar menerima dan memulyakan kami sekalipun hal yang kami lakukan hanyalah 7M seperti yang telah saya sebutkan di tulisan sebelumnya. Sekali lagi kami mohon maaf dan kami sangat berterimakasih sekali. 

Akhirnya kami pulang.

Sebelum sampai ke Jember, kami mampir menuju rumah Fariz untuk mengambil jaket yang tertinggal. Namun ternyata keluarganya sedang bepergian. Untunglah disana kami disambut oleh mbahnya Fariz yang kemudian menawari kami untuk makan siang.

Ditawari begituan, kami jadi riang. Dasar santri rai gedhek!

Kami akhirnya pamit setelah menghabiskan hampir sewakul nasi. Kami melanjutkan perjalanan, dan akhirnya sampai di Jember sekitar pukul 2 siang.

Kali ini memoar-memoar tersebut tak hanya meminta tempat dihati. Ia meminta alunan musik dan kerlip lampu. Saya dapat merasakannya, mereka mulai menari-nari.

Kami akan kembali, Banyuwangi.

7M di Banyuwangi Part 1

0

Banyuwangi. Kota ini (Banyuwangi itu kota, tah?) memang tak seperti Jogja yang katanya tersusun dari kenangan, maupun seperti Jember yang tersusun dari polisi tidur. Namun setelah pertama kali mengunjunginya, tiba-tiba beberapa memoar meminta tempat yang khusus di hati untuk menetap disana, meminta agar mereka tak dilupakan begitu saja.

Akhirnya, 11 Juli 2016 lalu saya berkesempatan untuk kembali mengunjunginya bersama dengan Pakdhe  Ruhul, Syamsul, dan Marwan. Kami membawa dua sepeda motor. Saya (terus-menerus) membonceng Pakdhe Ruhul, sedangkan Syamsul dan Marwan saling bergantian menyetir.

Niat awal kami sebenarnya hanyalah bersilaturrahmi pada teman-teman yang bertempat tinggal di Banyuwangi. Setelah dipikir-pikir, muncul niat-niat lain yang sepertinya kurang pantas dan terlalu vulgar bila disebutkan di sini. Hahaha, mau tau tah?

Kami berangkat di hari senin menjelang ashar, dan baru sampai di rumah Fariz yang terletak di Karangharjo-Glenmore sekitar jam lima sore. Harusnya perjalanan bisa ditempuh lebih cepat jika kami tidak diguyur hujan di sepanjang jalan.

Di Garahan, hujan mulai turun menyapa. Kami menepi sebentar untuk memakai jas hujan yang dibawa oleh Syamsul. Apesnya, jas hujan yang saya pakai tersebut ternyata bau kencing kucing. Karena mendesak sekali, akhirnya terpaksa saya memakainya. Beberapa saat kemudian, hujan yang semakin deras memaksa kami untuk menepi sebentar.

Tidak tahan dengan bau kencing kucing yang menyengat, saya melepasnya. Sesaat setelah saya melepas jas hujan tersebut, saya teringat dengan adanya jas hujan yang cukup nyaman dalam sepeda motor yang saya naiki. Padahal sebelum berangkat, saya sudah mengingat-ingat kalau ada jas hujan di sepeda motor tersebut.

Entah untuk keberapa kalinya saya mengutuk betapa pelupanya diri ini. Akhirnya saya memakai jas hujan yang nyaman, dan jas hujan yang bau itu dipakai Marwan.

Sesampainya di rumah Fariz, saya baru sadar jika jaket yang saya kenakan mulai berbau kencing kucing. Tentu saja, jaket Marwan mengalami kondisi yang sama dengan jaket saya. Akhirnya jaket tersebut kami tinggalkan dirumah Fariz dengan harapan jaket kami akan dicucikan oleh keluarganya :p.

Disana, kami disuguhi berbagai macam makanan dan beberapa wejangan dari bapaknya Fariz. Sebenarnya, kami hendak melanjutkan perjalanan setelah makan dan beristirahat sebentar disana. Namun dikamar Fariz, kami tergoda saat melihat pemandangan yang jauh lebih menggiurkan dari aurat wanita, yaitu dua buah stik PS. Walaupun sudah dijamah, dipegang, diremas dan dipencet-pencet oleh puluhan lelaki, stik PS tetap saja terlihat menggoda bagi kami.

Stik tersebut masih menancap dilaptop dengan spesifikasi keren, dan game PES 2013 update terbaru tinggal menunggu klik saja untuk dimainkan. Budyal!

Awalnya kami sudah berjanji akan menghentikan permainan setelah bermain dua kali. Namun janji hanyalah janji. Siapa sih yang tahan dengan rayuan PES? Apalagi tidak adanya ustadz-ustadz senior dari kesantrian membuat permainan kami semakin tak terhentikan. Tidak ada yang akan merampas stik PS kami kali ini! Ayo sikat wes!

Malam selasa. Dari sekitar jam 7 malam kami bermain PES 2013 dan baru berhenti bermain sekitar jam 12 malam, kemudian rehat sebentar untuk “menebus dosa”. Setelah selesai, saya, Fariz dan Pakdhe Ruhul melanjutkan permainan. Saya selesai sekitar jam 2, sisanya baru tertidur di jam 3 pagi. Beberapa jam kemudian, kami berempat ditambah Fariz, meluncur menuju kediaman Mas Amin di Bangorejo.

Mas Amin sendiri adalah...........

*Saya kurang bisa mendeskripsikan Mas Amin hanya dalam satu atau dua paragraf singkat. Kurang afdhal rasanya. Sebenarnya sudah ada beberapa anak yang menginginkan saya untuk menulis mengenai Mas Amin. Jika ada lima orang lagi yang meminta hal yang sama, insyaallah saya akan menuliskannya. Jadi paragraf diatas di skip saja yaaaa?

Rumah Mas Amin kemudian menjadi “markas” kami berempat selama di Banyuwangi. Jika diingat-ingat, kami hanya melakukan 7M disana. Mbadhok (makan; bahasa kasar), Mbatang (tidur terus; aduh agak sulit nyari translatenya), Mblakrak (artinya seperti bepergian; agak sulit nyari arti yang tepat), Mbolang (jalan-jalan), Mbangkong (tidur hingga siang), Mbrojot (BAB), Mblolak-mblolok (hanya Pakdhe Ruhul yang mengalami ini. Dijamin, anda akan terpingkal setelah mendengar ceritanya)

Duh duh...

Perlakuan Mas Amin dan Ibunya yang baiiiik sekali semakin menambah ke-sungkan-an kami selama disana. Kami merasa malu sekalipun muka-muka kami pada hakikatnya sudah teranyam dari bambu (rai gedhek).

Malam rabu. Kami mengunjungi rumah Mas Najib. Sepulangnya dari sana, kami “menyita” laptop Mas Najib karena ia tertangkap basah memiliki drama korea Descendant of the Sun.

Sesampainya di rumah Mas Amin, kami menonton drakor Descendant of the Sun dari jam sebelas malam hingga jam tiga pagi, beristirahat sebentar hingga shubuh, kemudian setelah shubuh langsung menonton lagi hingga jam setengah empat sore. Itupun terhenti gara-gara laptopnya tiba-tiba ceket dan sama sekali nggak bisa diapa-apakan. Akhirnya kami memutuskan untuk mem-force shutdown dan mendiamkannya beberapa saat. Jam lima sore kami menyalakannya lagi dan menontonnya kembali hingga sekitar pukul sembilan malam.

*Segala rencana yang telah tersusun di hari itu buyar gara-gara kami menonton Descendant of the Sun. Jika belum nonton, saya sarankan untuk tidak menontonnya! awas kecanduan!

Malam kamis. Seusai kami mematikan laptop, kami meluncur menuju rumah Mas Niam di Mangir. Rencananya, esok pagi kita akan melihat sunrise di pantai boom. Namun karena kami mengamalkan 7M, rencana tersebut tinggallah sebuah rencana. Kami tak jadi berangkat. Setelah shubuh kami malah mbatang dan akhirnya mbangkong. Karpet yang membalut spon empuk memang rasa-rasanya terlalu sia-sia jika ditinggalkan terlalu cepat. Setelah terbangun, kami mbadhok dan mbrojot. Kami baru berangkat mbolang dan mblakrak sekitar jam 10 pagi. Mas Niam ikut dalam rombongan kami kali ini.

Siang itu, rencananya kita hendak ke pantai Watu Dodol. Namun apalah daya, cegatan polisi menggagalkan rencana kami kali ini. Padahal tinggal sak-encrutan lagi kami sampai kesana. Apes. Akhirnya kami kembali dan berhenti di pesarean Datuk Ibrahim untuk berziarah sekaligus sholat dhuhur. Padahal yang meminta ke pesarean adalah Pakdhe Ruhul. Namun setibanya disana, hanya Mas Amin, Syamsul, dan Marwan yang “berziarah”. Saya dan Pakdhe Ruhul malah saling melakukan tasmi’ ringan. Mas Niam sibuk membetulkan hpnya yang agak rusak.

Karena perut sudah agak lapar, jadinya kami melanjutkan perjalanan ke rumah Shofi.

Setibanya disana, kami disambut oleh anak-anak kecil yang ternyata adalah adik-adik Shofi dan teman-teman bermainnya. Sesuai tebakan saya, adik-adik Shofi sudah terlihat cantik sekalipun belum remaja. Yah nggak heran lah, lha wong Shofi nya aja nggantengnya kayak gitu.
 
Syafiq besar-Nisa-Aini-Syafiq kecil-Gaktau namanya-Mas Amin-Marwan-Syamsul
Namanya Nisa dan Aini. Karena si Nisa sudah agak besar, jadi saya hanya berani mencium si Aini. Ia berbicara dengan bahasa osing. Ketidakmengertian saya akan bahasanya semakin menambah keimutan dirinya. Tiap kali ia berbicara, ia selalu tersenyum. Tiap kali ia tersenyum, Aini terhias oleh lesung pipit mungil disebelah kanan bibirnya. Duh duh, maning-maning isun, mung sewates angen, kembyang-kembyang kertas, klendai paran!

Sesuai dengan prediksi dan harapan kami, Kami dijamu dengan (nasi) hangat disana. Hehe. Seusainya, kami—ditambah dengan Shofi—langsung  meluncur ke Taman Suruh untuk berenang. Diantara kami semua, cuma saya yang nggak berenang. Sebenarnya saya ingin sekali berenang, namun... alah nggak usah curhat deh.

Di perjalanan pulang, kami—tanpa Shofi—mampir ke rumah Mas Dana di Rogojampi. Kami sampai dirumahnya sekitar pukul lima sore. Disana kami kembali bertemu dengan Mas Najib yang kemudian menagih siapapun yang menonton Descendant of the Sun di laptopnya untuk masing-masing membayar 10.000 rupiah, kemudian dinaikkan menjadi 20.000 rupiah karena terjadi suatu masalah kecil pada laptopnya.

Kami juga berjumpa dengan Mas Arip dan Mas Sholeh yang tengah berkunjung kesana.

Seusai makan bakso yang ditraktir oleh keluarga Mas Dana, kami pamit pulang ke Bangorejo.

BERSAMBUNG...


Sunday, July 10, 2016

Update Nggak Jelas

1

"Kapan mas update blog lagi?"

"Kok lama nggak nulis sih?"

"Tiap aku buka, tulisannya kok nggak nambah? masih sakit tah?"


Hah. Demikianlah beberapa komentar teman-teman yang (sepertinya) menunggu blog saya terupdate (lagi). 

Biasanya saya akan menjawab mereka dengan jawaban yang sama, "masih nggak ada mood hahaha".

"Emang nulis itu butuh mood ya mas?"

Nggaklah brooo. Nulis di blog itu butuh komputer dan koneksi internet. Sedangkan charger laptop saya rusak, keyboard internal rusak, keyboard eksternal juga rusak. Ada sih on-screen-keyboard, tapi rasanya ngetik pake on-screen-keyboard itu seperti ngetik dengan on-screen-keyboard .

"hah? ih GJ kamu mas"

Haha *ekspresi datar.

"lah katanya chargernya rusak? Berarti laptopnya kan nggak hidup? tapi sekarang kok bisa nulis?"

Lah, katanya disuruh nulis, kok sekarang malah ditanyain gitu? ah tau ah. Bikin mood ilang aja.... Udahlah nggak usah diterusin lagi tulisan ini.

"Lah katanya tadi nulis itu nggak butuh mood? gimana sih kamu mas?"

*gubrak

Thursday, May 12, 2016

Maafkan Kami :'(

1



Keterlaluankah hamba-Mu ini yaa Rabb?
Sakit sedikit mengeluh
Sial sedikit melenguh
Sementara diluar sana
Saudara kami
Saudara kami...
Berlarian jauh
Menangis bersimpuh
Tak berupa lagi wajah mereka
Bukan lagi daki yang mengotorinya
Namun darah bercampur peluh
Tubuh penuh lepuh
Tiap detik riuh
Tiap jam dihujani bom-bom yang angkuh
Tiap hari bangunan runtuh

Keterlaluankah hamba-Mu ini yaa Rabb?
Yang tak acuh
Tiap hari bermain,tak jenuh
Sementara diluar sana
Saudara kami
Saudara kami...
Terbunuh
Negrinya gaduh

Keterlaluankah hamba-Mu ini yaa Rabb?
Yang hatinya tak luluh
Yang tak berusaha menolong, merengkuh
Saudara kami
Tubuhnya tak lagi utuh
Airmatanya keruh

Maafkan kami, maaf.






Wednesday, May 11, 2016

Sang Waktu 2

12

“Apa yang kau lakukan sekarang, Al?”

“Tentu saja membaca diarimu, Bodoh”, Alya menjawab dengan lirih. Ia tak benar-benar mengucapkan bodoh pada orang yang menyukainya. Ia mengucapkan kata bodoh sembari tertawa dengan menggemaskan, kedua kelopak matanya menyempit, kadar manis dalam tawanya bertambah berkali-kali lipat kala ketiga lesung pipit Alya mulai nampak. Ya, Alya memiliki tiga buah lesung pipit. Dua di masing-masing pipinya, satu di samping bibir kanannya. Sempurna!

Banyak teman kita—termasuk aku sendiri---yang menyamakan Nina Zatulini dengan Alya. Hanya saja Alya lebih muda dan sedikit lebih kecil tubuhnya, dan memiliki tiga buah lesung pipit tentunya. Satu lagi perbedaannya, jika Nina Zatulini adalah seorang artis, maka Alya sama sekali tak bisa disuruh untuk berakting. Itu bukanlah kelemahan. Bukankah menyenangkan memiliki seorang teman yang jujur?

“Ups maaf hehehe”, ia menutup bibir mungilnya yang terbuka saat tertawa dengan tangan kanannya. Tawanya berganti senyum yang tak kalah menawan. Tiga lesung pipitnya belum memudar.

Aku mengingat kejadian beberapa tahun lalu, tahun dimana aku pertama kali melihat Alya tersenyum sangat dekat. Waktu itu, sebelum pulang sekolah, Roni si ketua kelasku memberikan handphonenya padaku. Tanpa diberi kesempatan bertanya, ia menyuruhku untuk membaca sms yang tertera di hp nya.

Mas Ron, bilangin ke mas Fahri ntar pulang sekolah jangan sampai dia pulang dulu. Tunggu aku didepan Sanggar Pramuka. Trimakasih mas ^_^ “

Tentu saja ia memanggil kami “mas”. Kami kelas XII, dan Alya masih kelas XI. Namun pesona yang ia miliki membuat ia dinobatkan menjadi Putri Sekolah. Suatu ajang nggak resmi buatan paguyuban laki-laki kelas XI dan XII. Penobatannya tiap hari. Tak perlu menunggu bulan, apalagi tahun. Dan pemenangnya tiap hari adalah Alya. Walaupun Alya sedang tidak masuk sekolah, ia tetap dinobatkan sebagai Putri Sekolah. Edan.

“Oh”, aku menghela nafas sejenak, “Okelah, eh tapi ada apa sih?”, tanyaku berpura-pura penasaran. Aku sebenarnya sudah tau maksud Alya, tadi waktu istirahat Dini memberitahuku. Ah sialan si Roni bisa smsan dengan Alya. Namun mengingat posisinya sebagai Ketua OSIS dan kapten tim futsal SMA kita, rasanya bakal percuma iri padanya. Nggak akan merubah apa-apa.

Dia hanya mengangkat bahu dan menggelengkan kepala, ketus. Ah biarlah, yang penting aku dapet momen bareng Alya haha.

Ternyata benar apa kata Dini. Alya meminta bantuanku untuk mengiringi dia berlatih beberapa lagu.

“Mau tau? Gak usah tau deh, ntar kutraktir makan di kantin Bu Tim 3 hari berturut-turut”, ia tak mau memberikan alasan kenapa dia memintaku. Padahal banyak anak yang lebih baik skill gitarnya daripada aku di SMA ini. Ia kemudian tertawa, dekat sekali. Kami hanya berjarak sebuah kursi. Persetan dengan Einstein dan segala teori relativitasnya. Suatu saat aku akan membuat teori bahwa waktu bisa berhenti beberapa detik saat Alya tertawa.

“Ups maaf”, ia meminta maaf atas tawa lepasnya sambil menutup bibirnya menggunakan tangan kanannya.

“Nggak usah di traktir deh Al, kayaknya tawamu sudah lebih dari cukup buat membayarnya”, sialan. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Setan macam apa yang kau rasukkan padaku, Al? Untungnya Alya tak menjawab, rona merah diwajahnya cukup menjawab selorohku tadi.

Gitar akustik merk Fender milik sekolah sudah berada dipangkuanku. Alya “mencurinya” dari ruang musik. Ia memintaku mengiringinya berbagai macam lagu, beberapa kali pula ia memintaku untuk masuk mengisi suara 2 nya. Perfect-nya Simple Plan, Pelangi di Matamu- Jamrud, Terlalu Manis-Slank, Kisah Kasih di Sekolah-Chrisye, dan banyak lagu-lagu lainnya kami mainkan bergantian.

“Suaramu fals, Al”, aku menggodanya.

“Baru tau? Hahaha, apa jangan—jangan kamu baru tau juga kalo suaramu lebih fals dari suaraku, mas?”, ia membalas candaanku. Lagi lagi tawa nan indah lepas dari bibirnya. Aku semakin larut dalam momen ini. Kami berbagi tawa dan canda. Sementara, beberapa pasang mata yang mengamati kami mulai mengetik di browser laptopnya yang sudah tersambung wi-fi sekolah. Beberapa menulis pencarian yang senada dengan “Cara menyantet mudah”, ada pula yang menulis “Bacaan untuk merusak hubungan seseorang”. Haha tentu saja mereka iri padaku. 

Berawal dari itu, aku dan Alya berteman semakin erat. Hingga suatu saat, kelulusan sekolah memisahkan kita. Dan beberapa tahun berikutnya kami dapat bertemu kembali.

Alya masih saja membaca diariku. Temaram lampu dan rembulan yang bersinar remang saling membahu memberikan pencahayaan yang cukup bagi Alya di bangku taman rumahnya.

“Kamu hari ini cantik, Al. Dan setiap hari adalah hari ini. Jadi kamu cantik tiap hari”

Alya tersenyum, air mata mulai membasahi pipinya.

“Uang sakuku habis Al, dan senyummu tidak bisa membuatku kenyang. Maaf aku menarik kata-kataku, apakah janjimu mentraktirku di Bu Tim masih berlaku?”

“Tahukah kau apa penyebabku dihukum saat itu Al? Kau bertanya padaku kenapa rambutku digundul. Akulah yang mengaku pada Pak Dendi kalau aku yang meminjam gitar itu tanpa izin. Setidaknya, aku menyelamatkan dirimu dari sebuah hukuman. Sebagai balasannya, bolehkah aku.......”

Alya semakin sesenggukan.

“Apa yang kau lakukan sekarang, Al?”

Alya membaca tulisanku di halaman itu dari atas lagi.  

“Apa yang kau lakukan sekarang, Al?”

Alya mulai menangis, keras. Ia menjawabnya dengan terbata-bata.

“Menangisimu, Bodoh”, Alya tak kuasa lagi menahannya. Ia menutup diariku, memeluknya, tak begitu erat, namun hangat.

Bulan yang paham situasi tersebut meredupkan sedikit cahayanya, memberikan kode pada alam sekitar. Angin yang tanggap dengan hal tersebut segerai membelai tubuh Alya. Lampu yang berusia lebih dari 6 tahun itupun sebenarnya ingin memalingkan muka, tak kuasa melihat tangis Alya. Namun ia sadar, ia tak memiliki kuasa untuk menggerakkan dirinya.

Tentu saja, aku tak pernah disana. yang ada hanya diariku yang dibaca hampir tiap malam oleh Alya, lampu yang temaram, beberapa tiup angin, Alya, dan beberapa potong kenangan yang tercecar di diariku dan ingatan Alya. 

Untuk saat ini, tak ada tawa menggemaskan Alya. Tangannya pun tak lagi menutup bibirnya; sibuk mendekap diari dan mengusap rinai air mata.

Lampu tua itu masih terus menyaksikannya. Berkedip beberapa kali, seakan merintih; batinnya turut terluka.