Ia melipat kedua
lengan bajunya sampai siku. Wajahnya juga seperti sedang melipat sesuatu. Dan
matanya—aku tau—sedang melipat erat bayang masa lalu.
Rambut putihnya
menyembul keluar dari kerudung hijau yang ia kenakan asal-asalan menutupi
sebagian dahinya. Biji peluh yang tak pernah ia seka nampaknya memang suka berdiam diantara senggang kerut pipinya. Tak terusik, ria.
Ia melambai
padaku, menginginkanku untuk membeli apa yang ia jual.
Aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala padanya, seraya berlalu.
_______
Berlalulah angin. Mencoba mengendap-endap, namun celah antara rerimbun
semak memang terlalu sempit. Angin benar-benar tak pernah bisa belajar
mengelak. Ia hanya bisa berlalu dan menabrak apa saja; Kaca depan metromini, mata tukang ojek, bahkan paha-paha yang tersingkap.
Apalagi semak. Angin memang hanya bisa menabrak.
Lalu terbangunlah dedaunan semak, saling menggeliat.
Kancil kecil semakin ketakutan.
“Mungkin Singa sedang bersembunyi dibalik
semak dan menunggu waktu yang tepat
untuk menerkamku, aku harus bertingkah tenang”, ujar si Kancil dan pikiran
was-wasnya
_______
Was-wasnya ibu terhadap anaknya, sangatlah besar.
“Bu, aku jajan ini ya?”, ujar anak kecil yang merengek dipasar.
“Jangan ah, jijik, banyak lalatnya. Gak enak, banyak pengawetnya”. Ujar
ibunya yang masih muda. Yang kemudian menggeret anaknya entah kemana
Sementara, ibu tua penjual jajanan tersebut hanya menatap si ibu muda, tak
mampu berkata apa-apa.
Ia kemudian menyeka peluh di dahinya, dan
dipipinya yang sudah mulai bercampur air mata.
_______
“Air mata itu sakral bung, apalagi milik wanita”, ujarnya suatu saat.
“Sakral gundulmu, baru saja kita merenggut sesuatu yang sakral. Namun,
kenapa nggak ada air mata?”, tukas temannya, sambil memasang celana.
“hahahaha”, mereka tertawa bersama, sambil menutup resleting celana mereka
masing-masing, bersama-sama pula. Lalu mereka bersama-sama mengedipkan mata,
kearah pojok kamar dengan cat hijau tua.
Sementara, di pojok kamar, seorang gadis
muda yang masih belum bercelana menghitung berlembar-lembar uang riang- riang.
_______
Riang gembira
hati si kancil. Ternyata tak ada Singa yang bersembunyi dibalik semak-semak
seperti yang ia perkirakan.
Ia kemudian berjalan dengan tenang, tanpa sadar, bahwa sesuatu yang
berbahaya sedang mengintai dan perlahan mendekatinya.
_______
Mendekatinya
adalah hal yang sama sekali tak terbetik dalam pikiranku. Namun entah kenapa
tiba-tiba langkah kaki ini mengayun kearahnya.
Kearah lapak ibu
tua penjual jajanan tradisional.
Ia masih menyeka air mata
"Ini berapa bu?", ujarku, sambil memegang pisang goreng yang sudah dingin.
Tak ada jawaban. Hanya ada sengguk yang lamat-lamat terdengar.
Ia masih menyeka luka.
Ia masih menyeka luka.
_______
Luka yang diderita si Kancil setelah diterkam Buaya tadi masih menganga lebar.
Ia yang merasa aman setelah mengetahui tak ada Singa di balik semak-semak menurunkan kewaspadaan dirinya. Hingga akhirnya moncong si Buaya dapat dengan mudah menerkam kaki kanan depannya saat baru beberapa detik ia bersantai di tepi sungai.
Beruntung ia dapat melarikan diri setelah tendangan-tendangan kaki kanan belakangnya mengenai mata si Buaya.
Beruntung ia dapat melarikan diri setelah tendangan-tendangan kaki kanan belakangnya mengenai mata si Buaya.
_______
"Buaya! Lagi-lagi buaya! Apa kau tak punya sebutan lain untuk mereka selain buaya?!", bentak seorang gadis cantik, pada ibunya yang tua.
Si Ibu tergugu. Amarahnya berubah menjadi kesedihan. Teriris hatinya mendengar bentakan putrinya.
"Ya! kalau kata tetangga emang benar kenapa?! Biar!! Tubuh ini tubuhku, terserah aku menjualnya pada siapa!!!", sambung si gadis.
"Setidaknya mereka yang kau sebut buaya bisa memberikanku uang, tak seperti dirimu!", pungkasnya, seraya keluar dari rumah setelah dengan keras membanting pintunya.
Si Ibu mulai menangis tanpa suara.
Perih. Tak terungkap kata.
_______
Kata-katanya tak beraturan. Betapa tidak... ia senggukan, juga terbata-bata.
Namun, aku paham ceritanya, karena air mata, bercerita lebih banyak daripada kata-kata.
Ibu penjual jajanan tradisional menceritakan banyak mengenai keluarganya, putrinya, obrolan tetangga dan banyak hal lainnya.
Sempat ku berfikir, betapa kurang ajar putrinya
Lalu ke menyadari sesuatu, jika sepertinya aku tak lebih baik darinya. Setidaknya putri tersebut masih pulang ke rumah, sedangkan aku sering sekali tak memenuhi keinginan ibu agar aku pulang barang sebulan sekali.
Dosa yang ini, semoga kau maklumi, Ibu
Ibu penjual jajanan tradisional menceritakan banyak mengenai keluarganya, putrinya, obrolan tetangga dan banyak hal lainnya.
Sempat ku berfikir, betapa kurang ajar putrinya
Lalu ke menyadari sesuatu, jika sepertinya aku tak lebih baik darinya. Setidaknya putri tersebut masih pulang ke rumah, sedangkan aku sering sekali tak memenuhi keinginan ibu agar aku pulang barang sebulan sekali.
Dosa yang ini, semoga kau maklumi, Ibu
_______
*oleh-oleh belanja di pasar tadi pagi. Lumayan buat melengkapi draft blog biar bisa dipost...








