Sore
mengantar gerimis pada mereka yang rindu
Tuhan
mengantar senyuman pada kelebat hati yang senantiasa mendoa
Mengantarmu
padaku
------------------
“Selamat pagi… Jangan lupa
besok… Pohon beringin samping Kantor Perpustakaan
Daerah. Jam 2 siang.”
Sms
aneh dari nomor yang tak ku kenal menyelinap diantara sms-sms promo
NSP dan CFC
yang menyesaki inbox di hp jadulku. “Maaf, ini
siapa? Apa maksud anda?”, aku
membalas sms tersebut setelah membeli pulsa terlebih dahulu.
“Aku salah satu
dari sedikit pembeli lukisanmu. Sudahlah, datang saja” :)
Sialan,
aku tau lukisanku memang tak begitu laku, tapi ya mbok jangan
memakai kata ‘sedikit pembeli’ seperti itu. Ah sudahlah, percuma
juga aku memaki-maki disini. Membalas smsnya pun akan membuang-buang
pulsa saja.
“Bagaimana?
Bisa datang kan? (/\)”
Ia
mengirim sms lagi sekitar setengah jam setelah sms terakhirnya
kuterima. Kugeletakkan hpku begitu saja setelah membacanya, lalu aku
mulai merebahkan kepala yang sejak kemarin harus terjaga untuk
menyelesaikan beberapa deadline lukisan yang sudah ditagih-tagih
oeleh beberapa pemesan. Aku mendengar hpku kembai berbunyi setelah
sekitar 10 menit mencoba merebahkan kepala dan memejamkan mata.
“Kenapa
smsnya nggak dibalas? Nggak punya pulsa ya? Oh ya, kamu kan sepi
pembeli, jadi harus banyak-banyak melakukan penghematan agar
jangan sampai hasil kerjamu yang sedikit itu habis gara-gara membalas
smsku. Wkwkwk”
Aku
hanya tersenyum setelah membaca sms tersebut. Rasa penasaran ini
membuatku memutuskan untuk benar-benar datang besok di tempat yang ia
tawarkan.
“Hei?
Kok gak dibalas sih?”
Ia
mengirim pesan lagi. Bisa ditebak, pengirim pesan ini adalah seorang
wanita. Sudah memahami kondisiku yang serba berkekurangan, namun
tetap saja ingin dibalas smsnya. Tunggu saja besok. Nona. Aku akan
datang memenuhi undangan.
Aku
kembali merebahkan badan dan memejamkan mata. Terdengar nada pesan
masuk berdering beberapa kali. Sepertinya, itu pesan dari pengirim
yang sama. Aku semakin yakin jika ia adalah seorang wanita.
***
Langit begitu cerah siang ini. Namun cuaca terasa tak begitu panas
sekalipun tak ada mendung maupun awan yang bergelayut menaungi.
Ohya, aku kan sedang berada di bawah pohon beringin yang besar.
Pantas saja tak kurasa panas dari tadi.
10 menit berlalu. Aku masih belum merasakan tanda-tanda kehadiran
dirinya. Baru berjarak beberapa kedip mata, nada pesan masuk hpku
berdering.
“Sini, di pohon beringin. Kamu ngapain dari tadi di bawah pohon
mangga?”
Ha? pohon mangga? Aku lantas melihat lagi pohon tempatku bernaung
dengan seksama. Ternyata benar, ini adalah pohon mangga. Ah, betapa
terkadang kecerobohanku terlalu keterlaluan. Aku lantas melihat
sekeliling, nampak seorang wanita berkacamata sedang melambaikan
tangan kirinya padaku. Tangan kanannya sibuk menutupi mulutnya,
menahan tawa. Lalu setengah berlari ke arahku. Ah, aku mengingatnya.
Ia adalah pembeli lukisan senja tempo itu. Beberapa kedip mata
kemudian, Ia sudah berada begitu dekat. Aku tercekat.
“Hei mas?”
Lidahku kaku, aku masih kesulitan menguasai degup yang seketika
memburu.
“Halo?”, ia menjentikkan jari didepan mukaku. Sedangkan aku masih
tak tau harus bagaimana. Bersyukurkah? Atau bagaimana harusnya aku
bertingkah? Betapa jejak yang dia tinggalkan di pertemuan pertama masih menciptakan gelisah demi gelisah. Sedangkan sekarang, ia hadir
langsung dihadapan. Duhai Tuhan, apa yang harus kulakukan?
“Eh iya, ada apa mbak? Mau beli lukisan lagi kah?”, ujarku terbata-bata. Kutundukkan muka dan kuhirup nafas sedalam-dalamnya agar lebih tenang menguasai suasana.
“Haha, nggak kok. Aku mau minta bantu buatin puisi, bisa kan?”
“Aduh, saya nggak bisa bikin puisi mbak, menyusun kata-kata indah
bagi saya tak semudah menyusun garis, titik dan koma serta merangkai
komposisi warna pada kanvas, mbak”
“Yaaahh, mas. Masak sih nggak bisa?”
“ya kalau puisi sekedarnya sih bisa-bisa saja mbak. Butuh sekarang
juga tah?”, aku mencoba menyanggupinya. Ia mengangguk ceria.
“Puisinya tentang apa mbak?”
“Tempat pembuangan sampah, mas”, ujarnya sambil tertawa.
Sialan, membuat puisi-puisi cinta saja ku tak bisa, nah ini lhakok
diminta membuat puisi dengan tema sedemikian rupa. Aku mengernyitkan
dahi padanya, ia menjawabnya dengan menyodorkan selembar kertas buram dan pena berwarna biru, juga senyum simpul yang terasa
familiar. Sembari membuatkannya puisi, aku mencoba mengingat-ingat
dimana pernah kutemui senyum tersebut.
Suatu hari, pemuda itu berdiri gagah
ditangannya terkepal sampah
namun ia membuangnya sembarangan. Hah!
Ingin ku marah!
Tak perdulikah ia dengan bumi yang semakin parah?
Kupungut kembali sampah yang ia buang tadi
kulemparkan padanya tanpa peduli
ia melongok kanan dan kiri
“kenapa kau kembalikan sampah ini padaku?”, ujarnya kaku
“tolong jangan buang sampah sembarangan!”, ku perketus jawabku
“Loh, ini kan area TPS. Ya sah-sah sajalah!”, jawabnya
oh iya, ini TPS, ya?
Buru-buru ku menyingkir darinya
betapa diriku malu bermerah muka
Ku sodorkan kembali kertas dan pena yang ia berikan padaku untuk
membuat puisi setelah ku menyelesaikannya. Betapa kemudian ia tak
kuasa menahan tawa. “Kamu bikin puisi atau bikin cerita komedi sih,
mas?”, ucapnya sambil menyeka air mata yang keluar karena tertawa.
Ia tersenyum memandangku begitu lama setelah puas tertawa. “Eh ini,
ada bakwan, aku buat sendiri lo, dimakan ya?”
Ah, aku mengingat senyum dan tawa itu. Itu senyum miliknya yang turun
bersama gerimis pada suatu senja, lalu melepas sayapnya dan memintaku
menyimpannya karena ia ingin menjadi manusia beberapa masa, yang membuatku begitu menyesal kenapa tak menanyakan namanya sebelum aku terjaga dari mimpi ini.
Pembeli lukisan yang membuatku gelisah saat terjaga dan bidadari
yang menyamar menjadi manusia dalam mimpi, lalu menghantui tidurku.
Duhai, apakah kalian sosok yang sama?
~Bersambung...
*Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Serenjana Senja yang sudah saya tulis sebelumnya di blog ini juga. (tulisan berwarna biru bisa diklik lo)
~Bersambung...
*Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan Serenjana Senja yang sudah saya tulis sebelumnya di blog ini juga. (tulisan berwarna biru bisa diklik lo)


Ayo terus terus terus terus
ReplyDeleteWanipiro? *Sudah mulai berani menargetkan tarif karena butuh fulus banyak segera wkwkwk
DeleteTerimakasih untuk tulisannya karena telah membantuku membunuh waktu...
ReplyDelete(Aku curiga sosok "aku" ini memang sengaja digambarkan sebagai sosok yang suka membuat wanita tertawa ya? *mikir)
Um, suka membuat bahagia kayaknya lebih tepat wkwkwk hahaha
DeleteHanya bisa mengekspresikan tawa ketika menatap barisan kata kata. Sang "aku" serasa familiar dalam kehidupan nyata.
ReplyDeleteTanya:
Akankah gerimis dan senja bersama?
Sepertinya tidak
Emang gak bisa ya??
DeleteBukannya ketika gerimis datang dia bersama gemuruh dan gelapnya awan? Senja akan bersembunyi bahkan tenggelam.
DeleteJangankan gerimis. Hujan aja bisa datang saat panas kok. Iyakan??
DeleteGerimis dan senja tidak boleh bersama.
ReplyDeleteBagaimana bisa kau menyatukan dua hal berlawanan seperti itu?
Aku tidak setuju,kalau keelokan senja yang rupawan kau jadikan satu dengan gerimis yang penuh rindu dan sendu.
Ummm, boleh kok. Boleh boleh. Boleh pokoknya hahahaha
Deletegerimis dan senja dipaksa bersama.
Deletegerimis= jiwanya mas syafiq yg selalu merindu
senja= sang pujaan hati yang rupawan
hohoho
Nggak maksa dan tak ada yg dipaksa na wkwkwk
DeleteJOIN NOW !!!
ReplyDeleteDan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.site
Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
8 Pasaran Togel Terbaik Bosku
Joker Slot, Sabung Ayam Dan Masih Banyak Lagi Boskuu
BURUAN DAFTAR!
MENYEDIAKAN DEPOSIT VIA PULSA TELKOMSEL / XL
DOMPET DIGITAL OVO, DANA, LINK AJA DAN GOPAY
UNTUK KEMUDAHAN TRANSAKSI , ONLINE 24 JAM BOSKU
dewa-lotto.site