SAMBUNGAN...
Malam Jumat. Kami menghabiskannya dirumah Mas Amin. Malam itu, kami berencana untuk pulang ke Jember keesokan harinya.
Malam Jumat. Kami menghabiskannya dirumah Mas Amin. Malam itu, kami berencana untuk pulang ke Jember keesokan harinya.
Lagi-lagi. Rencana kami dibatalkan karena kami diajak untuk mengunjungi rumah saudara Mas Amin di (lupa nama tempatnya). Selesai sholat jumat, lagi-lagi kami diajak untuk berlibur ke pantai bersama-sama dengan keluarga Mas Amin dan saudara-saudaranya. Beruntungnya, kali ini tidak ada cegatan yang menghalangi kami.
Saya yang kali ini mengemudi sendiri (Pakdhe Ruhul naik mobil), terpisah dari rombongan. Saya yang nggak membawa hp (karena hilang) dan tak membawa uang sepeserpun kemudian berhenti ditepi jalan. Awalnya saya berniat untuk meminjam hp pada orang dan menelpon nomer Nduk Ayu, adik bungsu Mas Amin. Kebetulan saya menghafal nomer handphonenya. Hahaha.
Belum sempat meminjam, saya terlebih dahulu ditemukan oleh Nduk Ayu yang dibonceng oleh Mas Yahya, sepupunya. Ternyata bukan hanya saya dan Mas Yahya yang tertinggal. Mas Amin juga tertinggal. Mas Ulum malah kelewatan jalan. Syukurlah, akhirnya kami bersama-sama menuju pantai Bangsring.
Waktu kami datang di rumah Mas Amin di hari selasa, sebenarnya ia sudah menawarkan kami untuk berlibur ke pulau Tabuhan. Namun membutuhkan biaya sekitar 500.000 rupiah untuk menyebrang dari pantai menuju pulaunya. Biaya tersebut bisa ditanggung oleh maksimal 10 orang. Namun karena berbagai kendala, akhirnya kami sepakat untuk tidak kesana.
Tapi siapa sangka, kami sekarang malah diajak kesana. Gratis pula! Biaya penyebrangan dari pantai Bangsring ditanggung oleh Mas Ulum. Saya jadi agak heran, kenapa semua anak bernama Ulum yang saya kenal selalu sangat baik hati? Uhuk.
Saya jadi curiga pada Pakdhe Ruhul. Jangan-jangan ia tak pernah benar-benar mbatang dan mbangkong bersama kami. Jangan-jangan ia wiridan dengan posisi seolah-olah tertidur. Atau jangan-jangan, ia bermimpi wiridan untuk merayu Tuhan agar diberangkatkan ke pulau Tabuhan! Mengingat bahwa ialah yang paling ngebet untuk berangkat ke pantai.
Apapun itu, terimakasih yaa Rabb, terimakasih Mas Ulum, terimakasih untuk seluruh keluarga Mas Amin. Apalagi jika diingat-ingat, dari awal perjalanan di hari senin sampai sekarang, saya tak mengeluarkan uang sepeserpun. Sebenarnya dari Jember saya sudah membawa uang 10.000 rupiah untuk berjaga-jaga kalau ada apa-apa dijalan, namun ternyata uang tersebut malah hilang diperjalanan.
“hadeh, jaga-jaga kok cuma bawa 10.000 rupiah. Pancet ae kowe, Mus! Mulai SD mesti ae gak tau bondo!”
Ben! Saya gak begitu khawatir karena saya adalah hamba dari Sang Maha Kaya :)
Wes lah, memang sebuah kebodohan jika sampai melakukan hal seperti yang saya lakukan. Tapi akan lebih bodoh lagi jika kita sampai tak percaya bahwa Tuhan mampu mencukupi kita. Nggeh nopo nggeh?
Enough. Back to the topic!
Perjalanan dari pantai menuju pulau Tabuhan dapat ditempuh selama sekitar dua puluh menit menggunakan kapal kecil. Kita dapat melihat adanya air yang berbeda warna menjelang sampai ke pulau Tabuhan. Jika dari tengah kita “berlayar” di atas air yang berwarna biru, maka disekitar pantai pulau Tabuhan, kita disambut dengan warna air yang seperti kehijauan. Gradasi warna air laut tersebut sungguh menyenangkan untuk dilihat.
Kami sampai di pulau Tabuhan sekitar jam tiga sore.
Pasirnya berwarna putih seperti di film-film. Banyak terdapat pecahan terumbu karang yang kami temui disepanjang pantai. Katanya, pecahan tersebut berasal dari terumbu karang yang terkena bom peledak untuk menangkap ikan. Jangan salahkan nelayan, apalagi presiden. Cukup salahkan saya karena berita ini belum saya konfirmasi kebenarannya.
Kami mengambil banyak sekali foto disana. Yasudah. Itu saja sih. Ohya, kami juga berlarian, snorkel snorkel juga, sholat ashar, dan apalagi ya? Tapi percayalah, kami sangat bahagia. Banyak hal yang tidak bisa dijabarkan dengan kata.
“Ih ayo lah mas, coba deh deskripsikan dikit aja dengan bahasamu”
hah okelah. Dikit aja yaaa..
Selambai siur basah tertiup. Bajuku basah kuyup. Mataku basah terkatup. Ingatanku basah tak aruk.
Kujejakkan kakiku pada hamparan putihnya pasir. Tak butuh waktu lama, debur ombak kecil dengan buih-buih tipis diatasnya membuat jejak-jejak kakiku terhapus begitu saja. Begitu mudahnya.
Namun aku bukanlah pantai, maka tolong jangan datang dan pergi begitu saja. Karena aku hanya memiliki rindu untuk membasuh jejakmu, dan asal kau tau, kecipaknya membuat hati semakin ngilu.
Lah kok malah ngawur gini? Udah lah stop stop.
Sebenarnya saya juga mengambil sebuah batu dari sana. Pecahan batu karang yang berwarna merah. Niatnya sih niruin salah satu skenario Descendant of the Sun. Namun karena belahan hati saya tak ada disana saat itu, jadinya saya meletakkan batu itu kembali huhuhu *emang punya belahan hati?
Di pulau ini, Pakdhe Ruhul mengatakan bahwa kami bisa kesini karena Tuhan masih sayang kita. Ia juga mengatakan hal itu berulang-ulang saat kami naik sepeda motor, sebanyak berkali-kali kami lolos dari kecelakaan. kami memang menaiki sepeda motor yang kurang "bertaji" untuk dibawa bersilaturrahmi ke Banyuwangi. Rem depan yang sudah bisa dibilang tak berfungsi, rem belakang yang kurang berfungsi, tidak ada klakson dan helm yang malah mengganggu pandangan membuat kami sering terlibat kejadian-kejadian yang berpotensi mencelakakan.
Pakdhe Ruhul juga menjelaskan, bahwa salah satu tanda Tuhan masih sayang kita adalah dengan tertutupnya kemungkinan-kemungkinan bagi kita untuk melakukan maksiat.
Duh Gusti, berfoto dengan Nduk Ayu dan Mbak Nikmah (adik pertama Mas Amin) bukan suatu kemaksiatan, kan?
Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. kami sampai di pantai Bangsring sekitar jam 5 sore dan sampai di rumah Mas Amin sekitar jam 8 (kalau salah mohon dikoreksi).
Malam sabtu. Kami terlalu lelah untuk beraktivitas saat itu. Mbatang menjadi pilihan paling tepat untuk memulihkan badan yang rasa-rasanya remuk. Setelah sekian lama terbaring sakit dikasur membuat tubuh saya masih belum terbiasa dan mudah capek jika dipakai jalan-jalan kemana-mana.
Keesokan harinya, kami pamit. Beragam model kalimat permohonan maaf kami sampaikan pada ibunya Mas Amin, karena bagaimanapun, ia tetap sabar menerima dan memulyakan kami sekalipun hal yang kami lakukan hanyalah 7M seperti yang telah saya sebutkan di tulisan sebelumnya. Sekali lagi kami mohon maaf dan kami sangat berterimakasih sekali.
Akhirnya kami pulang.
Sebelum sampai ke Jember, kami mampir menuju rumah Fariz untuk mengambil jaket yang tertinggal. Namun ternyata keluarganya sedang bepergian. Untunglah disana kami disambut oleh mbahnya Fariz yang kemudian menawari kami untuk makan siang.
Ditawari begituan, kami jadi riang. Dasar santri rai gedhek!
Sebelum sampai ke Jember, kami mampir menuju rumah Fariz untuk mengambil jaket yang tertinggal. Namun ternyata keluarganya sedang bepergian. Untunglah disana kami disambut oleh mbahnya Fariz yang kemudian menawari kami untuk makan siang.
Ditawari begituan, kami jadi riang. Dasar santri rai gedhek!
Kami akhirnya pamit setelah menghabiskan hampir sewakul nasi. Kami melanjutkan perjalanan, dan akhirnya sampai di Jember sekitar pukul 2 siang.
Kali ini memoar-memoar tersebut tak hanya meminta tempat dihati. Ia meminta alunan musik dan kerlip lampu. Saya dapat merasakannya, mereka mulai menari-nari.
Kali ini memoar-memoar tersebut tak hanya meminta tempat dihati. Ia meminta alunan musik dan kerlip lampu. Saya dapat merasakannya, mereka mulai menari-nari.
Kami akan kembali, Banyuwangi.






