Monday, July 18, 2016

7M di Banyuwangi Part 2

6

SAMBUNGAN...

Malam Jumat. Kami menghabiskannya dirumah Mas Amin. Malam itu, kami berencana untuk pulang ke Jember keesokan harinya.

Lagi-lagi. Rencana kami dibatalkan karena kami diajak untuk mengunjungi rumah saudara Mas Amin di (lupa nama tempatnya). Selesai sholat jumat, lagi-lagi kami diajak untuk berlibur ke pantai bersama-sama dengan keluarga Mas Amin dan saudara-saudaranya. Beruntungnya, kali ini tidak ada cegatan yang menghalangi kami.

Saya yang kali ini mengemudi sendiri (Pakdhe Ruhul naik mobil), terpisah dari rombongan. Saya yang nggak membawa hp (karena hilang) dan tak membawa uang sepeserpun kemudian berhenti ditepi jalan. Awalnya saya berniat untuk meminjam hp pada orang dan menelpon nomer Nduk Ayu, adik bungsu Mas Amin. Kebetulan saya menghafal nomer handphonenya. Hahaha.

Belum sempat meminjam, saya terlebih dahulu ditemukan oleh Nduk Ayu yang dibonceng oleh Mas Yahya, sepupunya. Ternyata bukan hanya saya dan Mas Yahya yang tertinggal. Mas Amin juga tertinggal. Mas Ulum malah kelewatan jalan. Syukurlah, akhirnya kami bersama-sama menuju pantai Bangsring.

Waktu kami datang di rumah Mas Amin di hari selasa, sebenarnya ia sudah menawarkan kami untuk berlibur ke pulau Tabuhan. Namun membutuhkan biaya sekitar 500.000 rupiah untuk menyebrang dari pantai menuju pulaunya. Biaya tersebut bisa ditanggung oleh maksimal 10 orang. Namun karena berbagai kendala, akhirnya kami sepakat untuk tidak kesana.

Tapi siapa sangka, kami sekarang malah diajak kesana. Gratis pula! Biaya penyebrangan dari pantai Bangsring ditanggung oleh Mas Ulum. Saya jadi agak heran, kenapa semua anak bernama Ulum yang saya kenal selalu sangat baik hati? Uhuk.

Saya jadi curiga pada Pakdhe Ruhul. Jangan-jangan ia tak pernah benar-benar mbatang dan mbangkong bersama kami. Jangan-jangan ia wiridan dengan posisi seolah-olah tertidur. Atau jangan-jangan, ia bermimpi wiridan untuk merayu Tuhan agar diberangkatkan ke pulau Tabuhan! Mengingat bahwa ialah yang paling ngebet untuk berangkat ke pantai.

Apapun itu, terimakasih yaa Rabb, terimakasih Mas Ulum, terimakasih untuk seluruh keluarga Mas Amin. Apalagi jika diingat-ingat, dari awal perjalanan di hari senin sampai sekarang, saya tak mengeluarkan uang sepeserpun. Sebenarnya dari Jember saya sudah membawa uang 10.000 rupiah untuk berjaga-jaga kalau ada apa-apa dijalan, namun ternyata uang tersebut malah hilang diperjalanan.

“hadeh, jaga-jaga kok cuma bawa 10.000 rupiah. Pancet ae kowe, Mus! Mulai SD mesti ae gak tau bondo!”

Ben! Saya gak begitu khawatir karena saya adalah hamba dari Sang Maha Kaya :)

Wes lah, memang sebuah kebodohan jika sampai melakukan hal seperti yang saya lakukan. Tapi akan lebih bodoh lagi jika kita sampai tak percaya bahwa Tuhan mampu mencukupi kita. Nggeh nopo nggeh?

Enough. Back to the topic!

Perjalanan dari pantai menuju pulau Tabuhan dapat ditempuh selama sekitar dua puluh menit menggunakan kapal kecil. Kita dapat melihat adanya air yang berbeda warna menjelang sampai ke pulau Tabuhan. Jika dari tengah kita “berlayar” di atas air yang berwarna biru, maka disekitar pantai pulau Tabuhan, kita disambut dengan warna air yang seperti kehijauan. Gradasi warna air laut tersebut sungguh menyenangkan untuk dilihat.

Kami sampai di pulau Tabuhan sekitar jam tiga sore.

Pasirnya berwarna putih seperti di film-film. Banyak terdapat pecahan terumbu karang yang kami temui disepanjang pantai. Katanya, pecahan tersebut berasal dari terumbu karang yang terkena bom peledak untuk menangkap ikan. Jangan salahkan nelayan, apalagi presiden. Cukup salahkan saya karena berita ini belum saya konfirmasi kebenarannya.



Kami mengambil banyak sekali foto disana. Yasudah. Itu saja sih. Ohya, kami juga berlarian, snorkel snorkel juga, sholat ashar, dan apalagi ya? Tapi percayalah, kami sangat bahagia. Banyak hal yang tidak bisa dijabarkan dengan kata.

“Ih ayo lah mas, coba deh deskripsikan dikit aja dengan bahasamu”

hah okelah. Dikit aja yaaa..

Selambai siur basah tertiup. Bajuku basah kuyup. Mataku basah terkatup. Ingatanku basah tak aruk.
Kujejakkan kakiku pada hamparan putihnya pasir. Tak butuh waktu lama, debur ombak kecil dengan buih-buih tipis diatasnya membuat jejak-jejak kakiku terhapus begitu saja. Begitu mudahnya.
Namun aku bukanlah pantai, maka tolong jangan datang dan pergi begitu saja. Karena aku hanya memiliki rindu untuk membasuh jejakmu, dan asal kau tau, kecipaknya membuat hati semakin ngilu.

Lah kok malah ngawur gini? Udah lah stop stop.

Sebenarnya saya juga mengambil sebuah batu dari sana. Pecahan batu karang yang berwarna merah. Niatnya sih niruin salah satu skenario Descendant of the Sun. Namun karena belahan hati saya tak ada disana saat itu, jadinya saya meletakkan batu itu kembali huhuhu *emang punya belahan hati?

Di pulau ini, Pakdhe Ruhul mengatakan bahwa kami bisa kesini karena Tuhan masih sayang kita. Ia juga mengatakan hal itu berulang-ulang saat kami naik sepeda motor, sebanyak berkali-kali kami lolos dari kecelakaan. kami memang menaiki sepeda motor yang kurang "bertaji" untuk dibawa bersilaturrahmi ke Banyuwangi. Rem depan yang sudah bisa dibilang tak berfungsi, rem belakang yang kurang berfungsi, tidak ada klakson dan helm yang malah mengganggu pandangan membuat kami sering terlibat kejadian-kejadian yang berpotensi mencelakakan.


Pakdhe Ruhul juga menjelaskan, bahwa salah satu tanda Tuhan masih sayang kita adalah dengan tertutupnya kemungkinan-kemungkinan bagi kita untuk melakukan maksiat.

Duh Gusti, berfoto dengan Nduk Ayu dan Mbak Nikmah (adik pertama Mas Amin) bukan suatu kemaksiatan, kan?


Mas-mas di ma'had dan ditempat lain, mohon maaf lahir batin ya? :p

Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. kami sampai di pantai Bangsring sekitar jam 5 sore dan sampai di rumah Mas Amin sekitar jam 8 (kalau salah mohon dikoreksi).

Malam sabtu. Kami terlalu lelah untuk beraktivitas saat itu. Mbatang menjadi pilihan paling tepat untuk memulihkan badan yang rasa-rasanya remuk. Setelah sekian lama terbaring sakit dikasur membuat tubuh saya masih belum terbiasa dan mudah capek jika dipakai jalan-jalan kemana-mana.

Keesokan harinya, kami pamit. Beragam model kalimat permohonan maaf kami sampaikan pada ibunya Mas Amin, karena bagaimanapun, ia tetap sabar menerima dan memulyakan kami sekalipun hal yang kami lakukan hanyalah 7M seperti yang telah saya sebutkan di tulisan sebelumnya. Sekali lagi kami mohon maaf dan kami sangat berterimakasih sekali. 

Akhirnya kami pulang.

Sebelum sampai ke Jember, kami mampir menuju rumah Fariz untuk mengambil jaket yang tertinggal. Namun ternyata keluarganya sedang bepergian. Untunglah disana kami disambut oleh mbahnya Fariz yang kemudian menawari kami untuk makan siang.

Ditawari begituan, kami jadi riang. Dasar santri rai gedhek!

Kami akhirnya pamit setelah menghabiskan hampir sewakul nasi. Kami melanjutkan perjalanan, dan akhirnya sampai di Jember sekitar pukul 2 siang.

Kali ini memoar-memoar tersebut tak hanya meminta tempat dihati. Ia meminta alunan musik dan kerlip lampu. Saya dapat merasakannya, mereka mulai menari-nari.

Kami akan kembali, Banyuwangi.

7M di Banyuwangi Part 1

0

Banyuwangi. Kota ini (Banyuwangi itu kota, tah?) memang tak seperti Jogja yang katanya tersusun dari kenangan, maupun seperti Jember yang tersusun dari polisi tidur. Namun setelah pertama kali mengunjunginya, tiba-tiba beberapa memoar meminta tempat yang khusus di hati untuk menetap disana, meminta agar mereka tak dilupakan begitu saja.

Akhirnya, 11 Juli 2016 lalu saya berkesempatan untuk kembali mengunjunginya bersama dengan Pakdhe  Ruhul, Syamsul, dan Marwan. Kami membawa dua sepeda motor. Saya (terus-menerus) membonceng Pakdhe Ruhul, sedangkan Syamsul dan Marwan saling bergantian menyetir.

Niat awal kami sebenarnya hanyalah bersilaturrahmi pada teman-teman yang bertempat tinggal di Banyuwangi. Setelah dipikir-pikir, muncul niat-niat lain yang sepertinya kurang pantas dan terlalu vulgar bila disebutkan di sini. Hahaha, mau tau tah?

Kami berangkat di hari senin menjelang ashar, dan baru sampai di rumah Fariz yang terletak di Karangharjo-Glenmore sekitar jam lima sore. Harusnya perjalanan bisa ditempuh lebih cepat jika kami tidak diguyur hujan di sepanjang jalan.

Di Garahan, hujan mulai turun menyapa. Kami menepi sebentar untuk memakai jas hujan yang dibawa oleh Syamsul. Apesnya, jas hujan yang saya pakai tersebut ternyata bau kencing kucing. Karena mendesak sekali, akhirnya terpaksa saya memakainya. Beberapa saat kemudian, hujan yang semakin deras memaksa kami untuk menepi sebentar.

Tidak tahan dengan bau kencing kucing yang menyengat, saya melepasnya. Sesaat setelah saya melepas jas hujan tersebut, saya teringat dengan adanya jas hujan yang cukup nyaman dalam sepeda motor yang saya naiki. Padahal sebelum berangkat, saya sudah mengingat-ingat kalau ada jas hujan di sepeda motor tersebut.

Entah untuk keberapa kalinya saya mengutuk betapa pelupanya diri ini. Akhirnya saya memakai jas hujan yang nyaman, dan jas hujan yang bau itu dipakai Marwan.

Sesampainya di rumah Fariz, saya baru sadar jika jaket yang saya kenakan mulai berbau kencing kucing. Tentu saja, jaket Marwan mengalami kondisi yang sama dengan jaket saya. Akhirnya jaket tersebut kami tinggalkan dirumah Fariz dengan harapan jaket kami akan dicucikan oleh keluarganya :p.

Disana, kami disuguhi berbagai macam makanan dan beberapa wejangan dari bapaknya Fariz. Sebenarnya, kami hendak melanjutkan perjalanan setelah makan dan beristirahat sebentar disana. Namun dikamar Fariz, kami tergoda saat melihat pemandangan yang jauh lebih menggiurkan dari aurat wanita, yaitu dua buah stik PS. Walaupun sudah dijamah, dipegang, diremas dan dipencet-pencet oleh puluhan lelaki, stik PS tetap saja terlihat menggoda bagi kami.

Stik tersebut masih menancap dilaptop dengan spesifikasi keren, dan game PES 2013 update terbaru tinggal menunggu klik saja untuk dimainkan. Budyal!

Awalnya kami sudah berjanji akan menghentikan permainan setelah bermain dua kali. Namun janji hanyalah janji. Siapa sih yang tahan dengan rayuan PES? Apalagi tidak adanya ustadz-ustadz senior dari kesantrian membuat permainan kami semakin tak terhentikan. Tidak ada yang akan merampas stik PS kami kali ini! Ayo sikat wes!

Malam selasa. Dari sekitar jam 7 malam kami bermain PES 2013 dan baru berhenti bermain sekitar jam 12 malam, kemudian rehat sebentar untuk “menebus dosa”. Setelah selesai, saya, Fariz dan Pakdhe Ruhul melanjutkan permainan. Saya selesai sekitar jam 2, sisanya baru tertidur di jam 3 pagi. Beberapa jam kemudian, kami berempat ditambah Fariz, meluncur menuju kediaman Mas Amin di Bangorejo.

Mas Amin sendiri adalah...........

*Saya kurang bisa mendeskripsikan Mas Amin hanya dalam satu atau dua paragraf singkat. Kurang afdhal rasanya. Sebenarnya sudah ada beberapa anak yang menginginkan saya untuk menulis mengenai Mas Amin. Jika ada lima orang lagi yang meminta hal yang sama, insyaallah saya akan menuliskannya. Jadi paragraf diatas di skip saja yaaaa?

Rumah Mas Amin kemudian menjadi “markas” kami berempat selama di Banyuwangi. Jika diingat-ingat, kami hanya melakukan 7M disana. Mbadhok (makan; bahasa kasar), Mbatang (tidur terus; aduh agak sulit nyari translatenya), Mblakrak (artinya seperti bepergian; agak sulit nyari arti yang tepat), Mbolang (jalan-jalan), Mbangkong (tidur hingga siang), Mbrojot (BAB), Mblolak-mblolok (hanya Pakdhe Ruhul yang mengalami ini. Dijamin, anda akan terpingkal setelah mendengar ceritanya)

Duh duh...

Perlakuan Mas Amin dan Ibunya yang baiiiik sekali semakin menambah ke-sungkan-an kami selama disana. Kami merasa malu sekalipun muka-muka kami pada hakikatnya sudah teranyam dari bambu (rai gedhek).

Malam rabu. Kami mengunjungi rumah Mas Najib. Sepulangnya dari sana, kami “menyita” laptop Mas Najib karena ia tertangkap basah memiliki drama korea Descendant of the Sun.

Sesampainya di rumah Mas Amin, kami menonton drakor Descendant of the Sun dari jam sebelas malam hingga jam tiga pagi, beristirahat sebentar hingga shubuh, kemudian setelah shubuh langsung menonton lagi hingga jam setengah empat sore. Itupun terhenti gara-gara laptopnya tiba-tiba ceket dan sama sekali nggak bisa diapa-apakan. Akhirnya kami memutuskan untuk mem-force shutdown dan mendiamkannya beberapa saat. Jam lima sore kami menyalakannya lagi dan menontonnya kembali hingga sekitar pukul sembilan malam.

*Segala rencana yang telah tersusun di hari itu buyar gara-gara kami menonton Descendant of the Sun. Jika belum nonton, saya sarankan untuk tidak menontonnya! awas kecanduan!

Malam kamis. Seusai kami mematikan laptop, kami meluncur menuju rumah Mas Niam di Mangir. Rencananya, esok pagi kita akan melihat sunrise di pantai boom. Namun karena kami mengamalkan 7M, rencana tersebut tinggallah sebuah rencana. Kami tak jadi berangkat. Setelah shubuh kami malah mbatang dan akhirnya mbangkong. Karpet yang membalut spon empuk memang rasa-rasanya terlalu sia-sia jika ditinggalkan terlalu cepat. Setelah terbangun, kami mbadhok dan mbrojot. Kami baru berangkat mbolang dan mblakrak sekitar jam 10 pagi. Mas Niam ikut dalam rombongan kami kali ini.

Siang itu, rencananya kita hendak ke pantai Watu Dodol. Namun apalah daya, cegatan polisi menggagalkan rencana kami kali ini. Padahal tinggal sak-encrutan lagi kami sampai kesana. Apes. Akhirnya kami kembali dan berhenti di pesarean Datuk Ibrahim untuk berziarah sekaligus sholat dhuhur. Padahal yang meminta ke pesarean adalah Pakdhe Ruhul. Namun setibanya disana, hanya Mas Amin, Syamsul, dan Marwan yang “berziarah”. Saya dan Pakdhe Ruhul malah saling melakukan tasmi’ ringan. Mas Niam sibuk membetulkan hpnya yang agak rusak.

Karena perut sudah agak lapar, jadinya kami melanjutkan perjalanan ke rumah Shofi.

Setibanya disana, kami disambut oleh anak-anak kecil yang ternyata adalah adik-adik Shofi dan teman-teman bermainnya. Sesuai tebakan saya, adik-adik Shofi sudah terlihat cantik sekalipun belum remaja. Yah nggak heran lah, lha wong Shofi nya aja nggantengnya kayak gitu.
 
Syafiq besar-Nisa-Aini-Syafiq kecil-Gaktau namanya-Mas Amin-Marwan-Syamsul
Namanya Nisa dan Aini. Karena si Nisa sudah agak besar, jadi saya hanya berani mencium si Aini. Ia berbicara dengan bahasa osing. Ketidakmengertian saya akan bahasanya semakin menambah keimutan dirinya. Tiap kali ia berbicara, ia selalu tersenyum. Tiap kali ia tersenyum, Aini terhias oleh lesung pipit mungil disebelah kanan bibirnya. Duh duh, maning-maning isun, mung sewates angen, kembyang-kembyang kertas, klendai paran!

Sesuai dengan prediksi dan harapan kami, Kami dijamu dengan (nasi) hangat disana. Hehe. Seusainya, kami—ditambah dengan Shofi—langsung  meluncur ke Taman Suruh untuk berenang. Diantara kami semua, cuma saya yang nggak berenang. Sebenarnya saya ingin sekali berenang, namun... alah nggak usah curhat deh.

Di perjalanan pulang, kami—tanpa Shofi—mampir ke rumah Mas Dana di Rogojampi. Kami sampai dirumahnya sekitar pukul lima sore. Disana kami kembali bertemu dengan Mas Najib yang kemudian menagih siapapun yang menonton Descendant of the Sun di laptopnya untuk masing-masing membayar 10.000 rupiah, kemudian dinaikkan menjadi 20.000 rupiah karena terjadi suatu masalah kecil pada laptopnya.

Kami juga berjumpa dengan Mas Arip dan Mas Sholeh yang tengah berkunjung kesana.

Seusai makan bakso yang ditraktir oleh keluarga Mas Dana, kami pamit pulang ke Bangorejo.

BERSAMBUNG...


Sunday, July 10, 2016

Update Nggak Jelas

1

"Kapan mas update blog lagi?"

"Kok lama nggak nulis sih?"

"Tiap aku buka, tulisannya kok nggak nambah? masih sakit tah?"


Hah. Demikianlah beberapa komentar teman-teman yang (sepertinya) menunggu blog saya terupdate (lagi). 

Biasanya saya akan menjawab mereka dengan jawaban yang sama, "masih nggak ada mood hahaha".

"Emang nulis itu butuh mood ya mas?"

Nggaklah brooo. Nulis di blog itu butuh komputer dan koneksi internet. Sedangkan charger laptop saya rusak, keyboard internal rusak, keyboard eksternal juga rusak. Ada sih on-screen-keyboard, tapi rasanya ngetik pake on-screen-keyboard itu seperti ngetik dengan on-screen-keyboard .

"hah? ih GJ kamu mas"

Haha *ekspresi datar.

"lah katanya chargernya rusak? Berarti laptopnya kan nggak hidup? tapi sekarang kok bisa nulis?"

Lah, katanya disuruh nulis, kok sekarang malah ditanyain gitu? ah tau ah. Bikin mood ilang aja.... Udahlah nggak usah diterusin lagi tulisan ini.

"Lah katanya tadi nulis itu nggak butuh mood? gimana sih kamu mas?"

*gubrak