Thursday, March 17, 2016

Terlalu Biasa

9

Kenapa?

Mengapa?

Ah tak usah terlalu mempedulikan diksi kata. Semuanya sama. Apa sama dengan bagaimana, kapan sama dengan dimana. Iya sama dengan tidak, ada sama dengan tidak ada, dan pikiranku semakin lama semakin sama dengan orang gila.

Ruangan  terasa semakin menyempit, mataku semakin berkunang-kunang. Bapak tua berwajah garang didepanku membetulkan posisi topi koboi coklatnya yang sedikit miring ke kiri, lalu mencabut sebilah mandau yang terselip dipinggang kanannya. Amboooii.  Aku berusaha untuk tersenyum, senyum yang kutujukan untuk mengejeknya. Kusempatkan pula untuk meludah ke arah wajahnya. Dengan ibu jari dan telunjuk tangan kirinya yang penuh dengan berbagai macam akik, ia membuka kaca mata hitamnya, membuangnya begitu saja entah kemana. Amarah memancar dengan jelas dari matanya kali ini.




“Keparat!!! @#$%^&*&^%$#@#$%^&*&^%$#@!!!”, Pak Tua tersebut mengumpat sembari mengacungkan mandaunya. Aku tak bisa mendengar umpatan Pak Tua tersebut dengan jelas, telingaku masih berdengung dengan hebat. Entah kenapa tiba-tiba aku bisa duduk di sebuah kursi dengan tangan dan kaki terikat semenjak aku membuka mata 5 menit yang lalu. Tubuhku terasa nyeri dimana-mana. Entah darimana darah mengucur, yang jelas, aku dapat melihat simbahan darahku dilantai.

“AYO AKUI SAJA!!!”, bentaknya.

“AYO NGAKU!!!”, dia mengulanginya sambil menyayunkan mata mandau yang tumpul ke leher kiriku. Aku mengerang. Apakah gerangan yang harus kuakui? Eranganku belum usai, tapi ia tak segan mendaratkan tendangan T ke dadaku dengan dinginnya. Aku terjungkal kebelakang, menindih tanganku sendiri yang masih terikat dengan kuat dibelakang kursi. Sakit. Kepalaku membentur lantai cukup keras. Tenaga bandot tua yang satu ini rasanya haram untuk diremehkan.

Ah sial. Apa yang harus kuakui?.  Ia mendekat padaku, lalu jongkok dan kembali mengacungkan goloknya. Kali ini tak main-main, mata mandaunya yang tajam bersentuhan langsung dengan leherku!. Gegabah sedikit saja, bisa putus tergorok leher ini.

“SUDAHLAH AKUI SAJA KALAU KAU ITU MANUSIA!!!”, dia berteriak berusaha menakut-nakutiku. Sedangkan aku bukanlah ayam yang takut dengan getakan. Emangnya dia apaan? Jin? Woi kita ini sama sama manusia!. Aku kebingungan, sedangkan ia semakin geram.  Aku hendak menjawab, namun suaraku benar-benar parau. Aku memilih untuk menutup mata. Dan nampaknya, Pak Tua tersebut memilih untuk menghunjamkan mandaunya sambil berbisik, “Kau memang hanya sebatas manusia”.

Aku terbangun. Bajuku basah dengan keringat dingin. 2 kaplet obat Tera-F yang  kutenggak sekaligus sebelum tidur dimana perkaplet obat tersebut mengandung 650 mg paracetamol sukses menurunkan demamku. Untuk yang ketiga kalinya, aku harus terbaring seminggu karena gejala tipes. Sebenarnya aku sudah diwanti-wanti agar aku tak melakukan beberapa hal dan memakan beberapa makanan yang dapat memicu tipesku kembali. Namun entahlah, aku selalu tergoda untuk melanggarnya.

Kau hanya manusia biasa. Iya, kata-kata Pak Tua dari mimpiku tadi masih terngiang cukup jelas. Aku tertegun dan merenung. Ya, aku memang manusia biasa, sangatlah biasa.

Manusia biasa. Dan tujuanku untuk melampaui semua orang yang yang ingin kulampaui, menjadi serba bisa di segala hal, dan ingin paham banyak hal adalah salah besar! Iya, salah. Karena aku hanyalah...

Manusia biasa. Semua tujuanku membuatku terlalu memaksakan tubuh, melupakan haknya, melampaui batasnya. Awalnya aku merasa bisa dengan mengatur jadwal tidur sedemikian rupa, membaca ini itu, menghafalkan ini itu, mencoba menerapkan ini itu, dan lain lain. Dan akhirnya, tipes didatangkan Tuhan sebagai pengingat kalau aku hanyalah...

Manusia biasa. Aku pernah berbicara tak akan jatuh cinta sebelum waktunya. Meskipun akhirnya aku tak akan mengungkapkan sebelum merasa pantas,  meskipun aku telah belajar untuk mengendalikan pandangan, namun pesonamu benar-benar membuatku mengakui kalau aku memanglah...

Manusia Biasa. Aku berusaha untuk tidak pulang sekalipun liburan panjang. Namun terkadang, aku terlalu rindu pulang untuk sekedar memijit ibu, atau minta pada ibu untuk mengusap-usap punggungku. Rasa rindu adalah suatu tanda kalau diriku seorang...

Manusia biasa. Aku terkadang menulis sajak-sajak yang nggak jelas untuk meluapkan perasaanku. Yaaaa, i'm an introvert ! Aku lebih suka menuliskan hari-hariku pada buku harian coklat daripada harus mengungkapkannya secara lisan. 

"Nulis diary? Nulis puisi? Kok mirip cewek banget sih..."

Mirip cewek atau apapun itu aku gak peduli omonganmu. Karena aku hanyalah...

Manusia biasa. Kadang aku cuek dengan ocehan orang. Sekalipun itu ocehan-ocehan kasar yang merendahkan. Dan terkadang pula nasehat lembut malah membuatku meradang. Aku tak tau apa yang terjadi pada diriku. Ketidaktauan ini menegaskan statusku sebagai...

Manusia biasa. Sekalipun aku tau bahwa 4 Imam madzhab mengharamkan alat-alat musik, terkadang aku ingin kembali memegang gitar sambil meniup harmonica, menyanyikan lagu Terlalu Manis, Bento, dan Seperti Para Koruptor bareng-bareng bersama kawan-kawan just like that old time, manggung di cafe bareng mas Tio, dan lain lain. 

Ah benar. Tak usah diteruskan. Aku memang hanya sebatas manusia yang terlalu biasa. Namun setidaknya tak pernah terbersit dipikiranku untuk mencabuli seseorang, atau menikah dengan sesama laki-laki.

Haha..