Wednesday, June 17, 2015

Dinginnya Kumbolo dan Hangatnya Pertemanan Kami

9

Aku termenung, cukup lama. Sebatang spidol hitam dan secarik kertas putih lusuh dengan sobekan yang tak simetri seakan mempergunjingkan sebab diamku. Aku yang biasanya menulis sajak-sajak dengan lanyahnya, kini hanya bisa terdiam, bergulat dengan bayang yang hanya datang sekelebat. Bayang yang selalu lenyap sebelum selesai kutekuri per centimeternya untuk memastikan siapakah dia.


Aku tetap termenung. Bukan karena tangan yang gigil semenjak kedatanganku disini, pun dengan telapak kaki yang terus-menerus merengek, meminta untuk sekedar dihangatkan dengan beberapa colek balsem yang lupa tak kubawa. Entah apa sebabnya, kalimat dalam benakku selalu berai sebelum ia usai. Aku menyerah pada gagalku dalam mengeja sebuah nama, aku mulai lelah menyusun kata demi kata, dan kata demi kata mulai bertanya-tanya, mengapa mereka tak kunjung dituliskan, mengapa tanda titik tak kunjung disematkan.
Aku masih termenung. Haruskah kutulis nama “Bella” seperti yang Angga tuliskan dengan bangganya? Menulis nama “Reza” seperti yang Mas Mujib lakukan, “Naufal” seperti yang tertera di kertas milik Nindya? Atau, haruskah kutulis dengan diksi universal, seperti “Sayang” yang Hildan tuliskan dengan malu-malu?
Aku belum beranjak dari ketermenunganku. Sementara, mentari mulai membongkar kedok titik-titik air yang berpura-pura menjelma es sedari malam hingga shubuh tadi. Cahaya yang berpendar memaksa rapatnya rerumputan untuk menyiratkan ribuan cerita yang ingin ia simpan dalam-dalam.
Ah sial, aku benar-benar tak punya nama untuk dituliskan.
**
Melu neng Kumbolo a Mus? Engkok mbek Mujib pisan”, ujar Angga melalui pesan fb beberapa hari yang lalu. Sebenarnya saya agak malas menerima ajakannya untuk berwisata ke Ranu Kumbolo, namun suara-suara kecil nan lemah dari relung hati terdengar mengiba agar saya mengiyakan ajakan tersebut. Apalagi, saya, Angga dan mas Mujib telah melalui banyak perjalanan yang ehem pokoknya laaah. Oke, sekarang atau tidak sama sekali.
Hap, langsung saja kita lompat ke rumah mas Mujib setelah semua hal untuk dipersiapkan terasa well-prepared. Kami berkumpul di rumah mas Mujib karena rumahnya yang terletak di desa Senduro relatif dekat dengan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, dimana Ranu Pani, Ranu Kumbolo dan Gunung Semeru terakup dalam kawasan tersebut. Alasan lain kami berkumpul di rumah mas Mujib, adalah karena dialah provider mobil Jeep untuk menjadi "tunggangan" kami menuju kawasan yang katanya menjadi tempat bersemayam para Dewa tersebut.
"Assalamualaikum", salam terucap dari bibir saya, komplit dengan wajah saya yang mringis dengan khasnya. Namun bukan jawaban salam yang saya dapatkan. Saya malah dijadikan bahan tertawaan oleh Mas Mujib, Hildan dan Nindya saat saya nongol didepan pintu belakang rumah Mas Mujib. Alasannya tidak usah disebutkan. Yang jelas, Nindya langsung memaksa saya agar saya memakai baju yang ia bawa, baju yang wanginya tak pernah saya dapati dalam baju-baju yang saya cuci.
Hap hap, mari kita lompat lagi, langsung menuju ke saat dimana kami sudah siap untuk melangkah menuju Ranu yang menjadi latar syuting film 5cm. Di Ranu Pane, kami mengecek ulang perlengkapan dan menunaikan kewajiban. Kewajiban sebagai seorang muslim dan kewajiban sebagai seorang manusia yang kelaparan. Shalat dhuhur sudah ditunaikan, bakso semangkok mulus tertelan. Yap, kami berangkat.
Perjalanan kali ini diketuai oleh Mas Mujib, satu-satunya anak diantara kami yang pernah merasakan eksotisme puncak Mahameru, satu-satunya anak diantara kami yang mampu menahan dinginnya Kumbolo saat musim kemarau dengan hanya menggunakan kaos Arema putih, sepotong celana dalam yang dirampi dengan celana selutut dan sepasang sepasang sepatu coklat (catatan: musim kemarau memiiki suhu yang relatif lebih dingin bila dibandingkan dengan musim hujan. Gak percaya? Browsing aja). 

Menjadi ketua di grup ini, tentu saja dia memiliki sebuah hak untuk menyabdakan titah yang mutlak kepada anggotanya. Sayangnya, ia sama sekali tak mengeluarkan satupun perintah yang nyeleneh, ah sayang sekali. Andai saya menjadi ketua grup, ah, saya pasti akan menyuruh si ini untuk………. si itu untuk……… Hahaha, sounds porn huh? I have no idea, hampir setiap perkataan yang saya ucapkan ditanggapi sebagai guyonan yang porno. Kenapaaa??? 
Adapun manusia-manusia kedinginan yang menjadi anggota di grup ini adalah Hildan, Angga, Nindya, dan saya sendiri.
Juaalaang koen Ngga!!”, umpat Nindya pada Angga, berkali-kali. Bahkan Nindya sampai menambahkan huruf “u” dalam kata “jalang” untuk memberikan penekanan tentang betapa jalangnya Angga. Haha, saya tak tau, berapa kali kata itu terlontar dengan nada semi-sarkastik dari bibir Nindya, satu-satunya perempuan dalam perjalanan kami. 

Saya bertaruh, selama perjalanan, Nindya pasti telah mengumpulkan poin paling banyak bila disandingkan dengan poin dari pisuhan si Suro dan si Boyo dalam kartun Suroboyo produksi Gatotkaca Studio. Namun atas semua itu, kami semua sepakat dengan pisuhan Nindya. Cowok metroseksual Bandung yang satu ini memang punya sisi ke-jalang-an yang tak bisa nafi-kan. 

Bukan itu saja keluhan Nindya, dia berungkali meminta untuk dibunuh karena capek saat berjalan dan minta untuk dikuburkan di Ranu Kumbolo karena kedinginan. Kami hanya tertawa mendengar keluhan Nindya, sambil berharap agar ucapannya tak diijabah Tuhan. Betapa tidak? Coba bayangkan bagaimana jika Nindya mati saat itu. Setidaknya, pasti ada tuduhan pemerkosaan yang ditudingkan pada kami terhadap kematian Nindya. Headline media-media berita pasti dengan gencar menuliskan judul provokatif seperti, “NA’AS! CALON MABA FKG DIBUNUH SETELAH DIPERKOSA”, atau “KEWALAHAN DENGAN PERLAWANAN, SEORANG REMAJA DIPERKOSA SETELAH DIBUNUH”, atau mungkin “TERSULUT API CEMBURU, SEORANG PEMUDA AJAK TIGA TEMANNYA UNTUK MENGGILIR SEORANG WANITA, LALU MEMBUNUHNYA”, mungkin juga seperti “PEMBUNUHAN TERENCANA!!! DIAJAK BERWISATA, MAYAT WANITA DITINGGALKAN DALAM TENDA SETELAH DIGILIR”. Aduh repot, meskipun kami sering mencandakan gangbang dihadapan Nindya secara terang-terangan, tak sedikitpun terbersit niat dalam diri kami untuk melakukannya bro! Nindya sendiri tak akan berani pergi sejauh ini sebagai wanita seorang diri bila dia tak mempercayai kami. Iyo kan Nin?
Berjalan sekitar 4 jam 52 menit, akhirnya kami benar-benar dapat menyaksikan ranu dimana Genta harus merelakan Riani yang ternyata mencintai Zafran. Ranu dimana Zafran sadar bahwa ternyata, Riani lah seorang Dinda yang harus ia dapatkan. 

Tentu saja perjalanan tersebut bisa saja jauh lebih cepat bila Nindya memfokuskan tenaganya untuk berjalan sambil terus-menerus memberikan sugesti positif pada dirinya sendiri, bukan malah untuk mengeluh dan memberikan sugesti yang buruk pada dirinya. Kami sampai sekitar jam 6 malam. Langsung saja kami mendirikan tenda dan bergantian melaksanakan sholat maghrib.
Disana, kami disambut oleh semilir angin gunung dan air ranu yang tertawa tanpa suara, saat melihat kegagalan kami menyembunyikan gigil. Sekitar 1 jam kemudian, tenda berhasil didirikan, matras dan perlengkapan beres dirapikan, shalat isya’ telah ditunaikan. Tinggal hak perut yang belum kami penuhi. Kami memasak air untuk menyeduh kopi sekaligus memasak mie instan. Tak usah dikipasi, hawa dingin di Kumbolo sudah cukup untuk menundukkan panasnya mie instan hanya kurang dari satu menit. Seusai makan, tidur jadi pilihan terakhir kami untuk menghabiskan malam. Kami sempat berbaring dan mencoba terpejam bersama. Namun masih belum ada yang dapat tertidur. Lalu Hildan keluar dari tenda, saya pun menyusulnya.


Rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilaa, subhaanaka fa qinaa ‘adzaaban an naar. Berulang kali saya memuji sekaligus meminta ampun pada Tuhan saat keluar dari tenda. Ini adalah langit malam dengan bintang terbanyak yang pernah saya lihat. Sangat banyak, sangat sangatlah banyak. Di luar tenda, saya membicarakan banyak hal dengan Hildan. Entah bagaimana ceritanya, Pak Amir, guru pengganti sementara di SMA 2 Lumajang hadir disela-sela pembicaraan kami. 

Saya lebih suka memanggilnya cak Amir, karena dia memang sahabat saya saat saya masih semi-mondok di Raudlatul Quran-Lumajang. Amir Baihaqi, seorang manusia dengan suara merdu, tampan rupawan, dan prilaku menawan. Saya dan dia pernah saling merasa, jika kami berdua memiliki perangai yang sama, baik itu prilaku yang baik maupun yang buruk. Mungkin kesamaan itulah yang membuat saya nyaman berteman dengannya dibandingkan dengan teman-teman yang lain di pondok, dan membuatnya selalu memprioritaskan dan mengajak saya saat dia hendak pergi kemanapun bila saya sedang ada dipondok. Bila ada teman-teman yang mengenal kami berdua, khususnya yang hanya tau akan sifat buruk saya, silahkan cari sifat baik saya pada diri cak Amir hahaha. Begitu pula sebaliknya. Kami hanya berbeda dalam hal usia dan rupa, faktor usia membuatnya sedikit lebih tampan dan matang dalam bersikap dibandingkan dengan saya.
Kami berdua kembali masuk ke tenda setelah tak tega mendengar rintihan syaraf meisner yang berusaha mati-matian mempertahankan diri dari ekspedisi yang dilakukan syaraf krause. Hawa dingin semakin melarutkan dirinya dalam malam yang cekam. 

Di dalam tenda, kami selalu gagal tertidur sampai akhirnya kami memutuskan untuk tak lagi tidur dari jam 3 pagi hingga nanti. Jam 4.45 pagi, saya dan Hildan kembali keluar dari tenda untuk melaksanakan sholat shubuh. Betapa kagetnya kami, botol-botol besar air mineral telah tertutup dengan lapisan es tipis. Sarung yang Hildan letakkan di atas tenda juga menjadi kaku karena es telah menyusup di tiap pori-pori sarung yang kami gunakan sebagai sajadah. Rerumputan dan alang-alang juga telah tertutupi oleh lapisan es tipis. Terdengar membual, namun ini benar-benar terjadi!



Saya mencicipi alang-alang yang terselubungi es

Es tipis menutupi botol air mineral! *foto ini sedikit diedit hahaha 

Mulai jam 6 pagi, kami bergantian untuk memasak dan mengambil foto. Kecuali saya, masing-masing dari kami telah menggenggam beberapa kertas bertuliskan sebuah nama. Hanya Hildan lah anak yang tak menuliskan nama dari sosok dibalik tulisan “Sayang” yang ia pampang di kertas miliknya. Saya tak punya nama untuk dituliskan. Yah, akhirnya “calon istri” kembali menjadi nama yang paling tepat untuk mengisi kekosongan di kertas, sekaligus di hati saya. 

Beberapa saat setelahnya, Angga kembali menunjukkan ke-jalang-annya dengan memaksakan diri membuat roti bakar. Kami hanya bisa menertawakannya, sambil berharap rotinya matang untuk mencicipinya. Dia bahkan membawa teflon sendiri, lengkap bersama roti, telur, selai, dan margarin. Roti dan margarinnya membeku, selainya tidak sempat dibuka, telurnya hanya berkurang satu. Roti yang dibakar seadanya itu pun hanya 4 buah. Agak kacau memang, namun effort ke-jalang-an dari seorang Angga sangatlah tidak patut kita tiru.
Tepat jam delapan pagi, kami mulai berkemas setelah mengambil beberapa foto. Sebenarnya masih banyak spot foto keren yang tak kami kunjungi. Ah, sungguh saya merasa kurang puas. Namun apa daya, perintah ketua grup adalah mutlak. Rencana untuk pergi ke Oro-Oro Ombo dan Kalimati tidak terpenuhi. Sebelum kami benar-benar pergi, saya menitipkan doa yang saya sebarkan ke hampir seluruh penjuru Ranu Kumbolo. Saya berharap untuk dapat kembali bermalam disini, kalau bisa sama muncaknya laaah hahaha aamiin, taqabbal minny yaa Rabb…
Perjalanan menuruni Ranu Kumbolo menuju ke Ranu Pane berlangsung sekitar 3 jam 40 menit. Kami benar-benar pulang setelah mobil Jeep yang kami gunakan untuk berangkat kesini dari Senduro menyusul kami. Baba, tetangga Mas Mujib yang menyetir mobil tersebut sebenarnya memberikan usulan untuk menuju ke Bantengan sebelum kami pulang, namun kami sudah terlalu lelah. Jalan yang nggronjal-nggronjal sama sekali tak menghalangi kekhusyukan kami saat tertidur dalam Jeep.
Kami sampai di rumah Mas Mujib sekitar jam 4 sore. Duduk sejenak, membereskan barang-barang bawaan, ngopi-ngopi foto, lalu pamit pulang. Ah, lega rasanya…
 Terimakasih untuk kalian semua. Khususnya pada Angga dan Mas Mujib yang selalu setia menjadi teman di banyak sekali perjalanan saya. Maafkanlah saya, anak yang selalu menjengkelkan dengan tingkah-tingkah konyol yang saya perbuat selama perjalanan. Semoga pertemanan kita tak merenggang sampai kelak kawan, semoga kita dikumpulkan dalam golongan orang yang bertemu dan berpisah dalam kebaikan karena Tuhan, salah satu dari 7 golongan yang kelak akan mendapatkan naungan Tuhan saat hari kiamat. Aamiiiin …..


9 comments:

  1. Astaga...astaga ngakak banget LOL, banyol banget ini orang?
    Waduh cabul ternyata :P :D
    Asiknya naik gunung, kan jadi pengen :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. cabul dari manaa? :D

      usulin diklatnya PAUD ntar naek gunung :D

      Delete
  2. Ya dari tulisannya lah, itu caaaaaabuuuuullllll tuh
    oiya, tulisan yg atas kecil bgt susah dibacanya

    ga mau, pada bawel kan, ntar isinya ngeluh terus -_-

    ReplyDelete
    Replies
    1. siiip trimakasih atas masukannya terhadap font nya :D

      naek sendiri :p

      Delete
  3. Ya better :)
    Good idea, sankyu!

    ReplyDelete
  4. Waaah... wis nyampe Rakum rek....

    ReplyDelete
  5. Editen seng bagianku iku :((

    ReplyDelete
    Replies
    1. tak wei akun e, buka dan edit sendiri sesukamu nin, piye? :D

      Delete