Hari itu aku tak bisa
berkonsentrasi pada pelajaran Bahasa Indonesia. Sesekali melirik jam
dan berharap waktu berputar lebih cepat dari biasanya. Sambil
menggigit bolpoin, aku berkhayal menjadi sebuah pahlawan yang
memiliki kekuatan besar dan senjata legenda, menyelamatkan bumi dari
musuh besarku yang ternyata nantinya kuketahui adalah sisi lain dari
diriku. Entahlah, terdengar kekanak-kanakan, namun itulah yang sering
kulakukan untuk menepis kebosanan. Sejenak kulihat sekeliling
kelasku, nampaknya 23 anak lainnya mengalami hal yang sama. Ada yang
bermain hp, bercanda, menahan kantuk, bahkan teman disebelahku
sendiri nampak asyik tertidur, tak bergerak sama sekali. Maklum,
sekolah kami dimulai pukul 7 dan bari berakhir pukul 14.40, setiap
harinya, kecuali jumat dan sabtu. Kutepuk pundak anak yang duduk di
depan mejaku.
“Engko sido a
mas?”, ucapku pada Mujib. Kemudian aku menatap Angga,
mengatakan hal serupa padanya, sembari menggigit-gigit bolpoin merk
standart yang kutemukan di kantin.
“Iyo sido, tapi
ijin o sek neng wong tuomu”,
Mujib menjawab pertanyaanku dengan logat jawa khas nya, Angga
menimpali dengan jawaban serupa.
Dan
aku, kembali terbuai dalam khayalku.
**
Besok
adalah perayaan hari raya Nyepi, hari raya milik agama hindu.
Biasanya, para penganut agama hindu akan merayakan upacara pembakaran
ogoh-ogoh,
yaitu patung berwujud
buto yang berwajah
seram. Aku sendiri juga tidak tahu, aku hanya membuat definisi
ogoh-ogoh dari apa yang aku lihat. Dan nanti, kami (Aku, Angga, dan
Mujib) berencana untuk melihat proses pengarakan ogoh-ogoh, yang
berawal dari Pura Mandhara Giri Semeru menuju ke sebuah tempat yang
agak jauh dari jalan raya, untuk dibakar, kemudian
dihanyutkan di aliran sungai gunung semeru. Menurut salah seorang
narasumber, ogoh-ogoh sering
digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada
seperti naga, gajah, garuda bahkan patung para dewa. Prosesi ini
sendiri, melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta
dan waktu yang mahadahsyat. “ Kekuatan itu meliputi buana agung
(alam semesta) dan buana alit (diri manusia)," imbuhnya. Ia
menambahkan, pawai Ogoh-ogoh bertujuan untuk menetralisir alam
semesta beserta isinya yang selama ini dipengaruhi sifat-sifat
negatif yang menimbulkan malapetaka agar kehidupan alam semesta
menjadi tenang dan damai. " Perayaan ini, merupakan bentuk
penyucian jiwa dari segala kekotoran dan tentunya ditahun mendatang
kita akan menjadi manusia yang kembali suci.
Kami
berencana menginap di rumah Mujib, karena memang rumahnya berada di
desa Senduro, desa yang akan dipakai untuk upacara ogoh ogoh. Terletak pura/pure yang terbesar, se-apa-gitu, aku lupa. Ditambah lagi, banyak umat hindu yang datang ke pura ini untuk beribadah. Tak
heran apabila upacara ogoh-ogoh dilaksanakan di desa tersebut.
Dan
akhirnya, bel pulang berdering dengan kencang, seakan memicu
kabahagiaan siswa-siswi SMPN 1 Lumajang. Senyum mengembang disetiap
wajah teman-temanku, terkecuali teman sebangkuku yang baru saja
terbangun sambil mengucek-ngucek matanya. Kami
segera mengemas buku dan alat tulis kedalam tas kami, kemudian
melakukan doa bersama sebelum pulang yang dipimpin oleh ketua kelas
kami.
Aku
dan Angga mempir kerumah Angga terlebih dahulu, karena memang
rumahnya cukup dekat dengan SMP ku, selain untuk makan terlebih
dahulu, kami juga menyiapkan baju dan peralatan lainnya seperti
kamera, laptop dan lain-lain untuk dibawa kesana. Tentunya aku juga
meminjam baju kepada Angga, karena aku lupa untuk membawa baju dari
rumahku, kendati sudah diingatkan oleh Mujib. Beginilah, aku memang
sangat pelupa di setiap hal. Sedangkan Mujib langsung mengambil jalan
pulang ke Senduro dengan angkutan umum.
Sesampainya
dirumah Angga, tanpa buang waktu kami langsung sholat asar, kemudian
makan dan berkemas. Dan berangkatlah kami ke Senduro
**
“Assalamualaikum”,
ucapku di pintu belakang rumah Mujib, mengetuk apapun yang bisa
diketuk, karena memang pintunya terbuka. Dari belakang kami, muncul
mbaknya Mujib. Kami langsung dipersilahkan naik kelantai 2, ke
kamarnya Mujib. Langsung saja kurebut gitar dari tangan Mujib sambil
tersenyum simpul, membiarkan dirinya sedikit menggerutu kepadaku, dan
memainkan beberapa lagu untuk menunggu datangnya
malam . Sedangkan Angga cukup
disibukkan oleh game Football Manager dilaptopnya. Tak
terasa, adzan maghrib berkumandang, memaksaku untuk berhenti memetik
gitar. Aku mengambil wudlu di kamar mandi, dan cessss. Aku segera
menarik kembali tanganku saat bersentuhan dengan air. Kulitku tak
terbiasa menahan dinginnya air Senduro. Mau bagaimana lagi,
kupaksakan saja. Gigiku bergemeletuk, syaraf krause, syaraf
yang peka terhadap rangsangan dingin seperti meraung-raung
di setiap bagian tubuhku yang
bersentuhan dengan air. Aku menarik selimut dan membungkus tubuhku
sedemikian rupa untuk mengusir dingin sambil menunggu Mujib dan Angga
selesai berwudlu. Dan kamipun segera melaksanakan sholat maghrib di
kamar Mujib.
Aku
melihat dari jendela, sudah banyak kerumunan orang yang standby di
tepi jalan. Aku semakin tak sabar untuk menyaksikan ogoh-ogoh.
Kami turun kedapur, memasak mie instan dan memakan ala kadarnya untuk
mengisi tenaga terlebih dahulu, karena kami berencana akan mengikuti
proses pengarakan sampai ke tempat dimana ogoh-ogoh akan dibakar.
Angga nampak gagah dengan pakaiannya, begitu pula Mujib. Aku sendiri
memakai jaket dan sarung. Mengingat tentang sarung, aku sampai lupa
berapa acara penting yang kudatangi dengan memakai sarung. Beberapa
acara ulang tahun teman, reuni keluarga besar, makan di restoran, ke
matahari supermarket ataupun gramedia di Jember, aku lebih sering
memakai sarung. Bahkan, aku pernah sekali ke gramedia Jember, memakai
sarung dan gempyak (bakiak:sandal super tebal yang terbuat
dari kayu). Sontak saja, itu menarik perhatian pengunjung gramedia,
apalagi bakiak mengeluarkan suara keras tiap aku melangkah. Memang
aneh, aku juga tak tahu seberapa aneh diriku, aku hanya merasa lebih
nyaman menggunakan sarung kemana-mana.
Di
sebuah tempat yang ditentukan, kami bertemu dengan Iqbal, salah satu
teman SMP kami. Mulai dari situ, kami mengikuti arak-arakan
ogoh-ogoh. Ogogh-ogoh sendiri diangkat menggunakan bambu yang
diletakkan sebagai pondasi, dimana bambu tersebut diangkat oleh para
pemuda dan bapak-bapak. Ada juga sekumpulan anak-anak kecil yang ikut
mengangkat ogoh-ogoh yang tentunya berukuran kecil pula. Ada saatnya ketika para pengangkat ogoh-ogoh kelelahan dan meletakkan ogoh-tersebut. aku mencoba mengangkatnya sendiri. ah, bahkan itu tidak terangkat sedikitpun. Kami sibuk
memotret dan memotret, hingga ada seorang wanita berbaju kebaya
kuning, menggunakan sewek (kain tradisional jawa) menarik
perhatian kami. Diputuskan, kami akan menguntit wanita tersebut. baru
2 kilometer kami berjalan, telepon Iqbal berdering. Ia mendapat sms
dari temannya yang menyampaikan pesan dari Pak Rohman, wali kelasku,
kalau aku dicari orang tuaku. Seketika hatiku berdesir. Aku mengutuk
ketidakmampuan diriku untuk mengingat apapun. Aku lupa bahwa aku
belum meminta ijin kepada orang tuaku. Seketika itu aku meminjam,
lebih tepatnya meminta pulsa di hp milik Angga untuk menghubungi
orang tuaku. Aku merasa sangat bersalah. Sebenarnya, kenapa aku harus
mengikuti arak-arakan? Kenapa pula aku harus melihat ogoh-ogoh?
Bukankah lebih baik pulang, tidur dengan hangat di depan tv, dari
pada harus berjalan dan berlarian berkilo-kilometer di medan yang
cukup sulit dan gelap? Aku kehilangan gairahku. Berjalan dengan lesu,
sedikit tertinggal di belakang teman teman ku. Mujib dan Iqbal yang
sering menonton ogoh-ogoh kemudian bercerita tentang ogoh-ogoh,
mungkin mereka ingin kembali membangun semangatku. Banyak cerita
menarik mengenai filosofi dan asal mula ogoh-ogoh, mungkin lebih
banyak dari apa yang tertera di internet. Aku kembali bergairah,
ingin cepat-cepat datang ke tempat pembakaran ogoh-ogoh.
![]() |
1.1. Penulis bersama barong. Klik untuk memperbesar |
Kami
tidak tahu, sudah seberapa jauh kami berjalan di jalan tanjakan dan
terus berlari di jalan turun dan jalan datar. Nafas kami tersengal,
kaki kami bergetar, peluh sudah membasahi masing-masing baju kami.
Bahkan Iqbal yang memiliki tenaga dan fisik super menunjukkan raut
muka lelah. Seandainya ditempuh dengan terus berjalan, kami tidak
akan seperti ini. Terus dipaksakan, akhirnya kami sampai ke tempat
tujuan. Aku dan Angga sumringah,maklum, diantara kami hanya
aku dan Angga yang belum pernah melihat ogoh-ogoh. Langsung saja kami
abadikan beberapa momen ogoh-ogoh, sebelum, saat, dan setelah ogoh
ogoh terbakar. Lalu kami duduk sejenak untuk melepas lelah, tersenyum
sambil memandang langit yang cukup gelap tertutup awan. Setelah
puas bercengkrama, kami memutuskan untuk pulang. Kali ini rombongan
kami bertambah satu orang anak, teman bermain Iqbal. Jalan yang kami
lewati cukup sempit, dengan belantara pohon di kiri kanan jalan. Tak
ada penerangan satupun dijalan tersebut. Iqbal menakut-nakuti kami
dengan cerita hantu, aku sebenarnya tidak begitu takut. Namun semua
temanku berlari setelah mendengar cerita Iqbal. Kami hanya memiliki
satu penerangan, senter kecil yang dibawa oleh teman Iqbal. Itupun
sangat-sangat tidak efektif, karena dia memegang senter sambil
berlari, sehingga cahaya senter berayun-ayun tidak jelas. Tentu saja,
kami tidak memiliki tenaga, namun ketidakinginan untuk berjumpa
dengan hantu menjadi booster yang sangat efektif untuk kami. Akhirnya
kami sampai kembali dirumah Mujib. Mungkin bukan hanya aku saja, we
were exhausted. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan, kecuali
minum bergelas gelas air dan tergeletak kelelahan. Sudah jam 01.30,
yang artinya, sekarang sudah lebih dari tengah malam. Aku sangat
lapar, tapi lelahnya tubuhku saat itu membuatku lupa kalau aku lapar.
Aku segera mengambil wudlu, sholat isya, kemudian tidur mendahului
ketiga temanku.
***