Thursday, May 01, 2014

Ogoh-Ogoh dan Senter yang Berayun


Hari itu aku tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran Bahasa Indonesia. Sesekali melirik jam dan berharap waktu berputar lebih cepat dari biasanya. Sambil menggigit bolpoin, aku berkhayal menjadi sebuah pahlawan yang memiliki kekuatan besar dan senjata legenda, menyelamatkan bumi dari musuh besarku yang ternyata nantinya kuketahui adalah sisi lain dari diriku. Entahlah, terdengar kekanak-kanakan, namun itulah yang sering kulakukan untuk menepis kebosanan. Sejenak kulihat sekeliling kelasku, nampaknya 23 anak lainnya mengalami hal yang sama. Ada yang bermain hp, bercanda, menahan kantuk, bahkan teman disebelahku sendiri nampak asyik tertidur, tak bergerak sama sekali. Maklum, sekolah kami dimulai pukul 7 dan bari berakhir pukul 14.40, setiap harinya, kecuali jumat dan sabtu. Kutepuk pundak anak yang duduk di depan mejaku. 

Engko sido a mas?”, ucapku pada Mujib. Kemudian aku menatap Angga, mengatakan hal serupa padanya, sembari menggigit-gigit bolpoin merk standart yang kutemukan di kantin.
Iyo sido, tapi ijin o sek neng wong tuomu”, Mujib menjawab pertanyaanku dengan logat jawa khas nya, Angga menimpali dengan jawaban serupa.
Dan aku, kembali terbuai dalam khayalku.

**

Besok adalah perayaan hari raya Nyepi, hari raya milik agama hindu. Biasanya, para penganut agama hindu akan merayakan upacara pembakaran ogoh-ogoh, yaitu patung berwujud buto yang berwajah seram. Aku sendiri juga tidak tahu, aku hanya membuat definisi ogoh-ogoh dari apa yang aku lihat. Dan nanti, kami (Aku, Angga, dan Mujib) berencana untuk melihat proses pengarakan ogoh-ogoh, yang berawal dari Pura Mandhara Giri Semeru menuju ke sebuah tempat yang agak jauh dari jalan raya, untuk dibakar, kemudian dihanyutkan di aliran sungai gunung semeru. Menurut salah seorang narasumber, ogoh-ogoh sering digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada seperti naga, gajah, garuda bahkan patung para dewa. Prosesi ini sendiri, melambangkan keinsyafan manusia akan kekuatan alam semesta dan waktu yang mahadahsyat. “ Kekuatan itu meliputi buana agung (alam semesta) dan buana alit (diri manusia)," imbuhnya. Ia menambahkan, pawai Ogoh-ogoh bertujuan untuk menetralisir alam semesta beserta isinya yang selama ini dipengaruhi sifat-sifat negatif yang menimbulkan malapetaka agar kehidupan alam semesta menjadi tenang dan damai. " Perayaan ini, merupakan bentuk penyucian jiwa dari segala kekotoran dan tentunya ditahun mendatang kita akan menjadi manusia yang kembali suci.

Kami berencana menginap di rumah Mujib, karena memang rumahnya berada di desa Senduro, desa yang akan dipakai untuk upacara ogoh ogoh. Terletak pura/pure yang terbesar, se-apa-gitu, aku lupa. Ditambah lagi, banyak umat hindu yang datang ke pura ini untuk beribadah. Tak heran apabila upacara ogoh-ogoh dilaksanakan di desa tersebut.
Dan akhirnya, bel pulang berdering dengan kencang, seakan memicu kabahagiaan siswa-siswi SMPN 1 Lumajang. Senyum mengembang disetiap wajah teman-temanku, terkecuali teman sebangkuku yang baru saja terbangun sambil mengucek-ngucek matanya. Kami segera mengemas buku dan alat tulis kedalam tas kami, kemudian melakukan doa bersama sebelum pulang yang dipimpin oleh ketua kelas kami.
Aku dan Angga mempir kerumah Angga terlebih dahulu, karena memang rumahnya cukup dekat dengan SMP ku, selain untuk makan terlebih dahulu, kami juga menyiapkan baju dan peralatan lainnya seperti kamera, laptop dan lain-lain untuk dibawa kesana. Tentunya aku juga meminjam baju kepada Angga, karena aku lupa untuk membawa baju dari rumahku, kendati sudah diingatkan oleh Mujib. Beginilah, aku memang sangat pelupa di setiap hal. Sedangkan Mujib langsung mengambil jalan pulang ke Senduro dengan angkutan umum.
Sesampainya dirumah Angga, tanpa buang waktu kami langsung sholat asar, kemudian makan dan berkemas. Dan berangkatlah kami ke Senduro

**
“Assalamualaikum”, ucapku di pintu belakang rumah Mujib, mengetuk apapun yang bisa diketuk, karena memang pintunya terbuka. Dari belakang kami, muncul mbaknya Mujib. Kami langsung dipersilahkan naik kelantai 2, ke kamarnya Mujib. Langsung saja kurebut gitar dari tangan Mujib sambil tersenyum simpul, membiarkan dirinya sedikit menggerutu kepadaku, dan memainkan beberapa lagu untuk menunggu datangnya malam . Sedangkan Angga cukup disibukkan oleh game Football Manager dilaptopnya. Tak terasa, adzan maghrib berkumandang, memaksaku untuk berhenti memetik gitar. Aku mengambil wudlu di kamar mandi, dan cessss. Aku segera menarik kembali tanganku saat bersentuhan dengan air. Kulitku tak terbiasa menahan dinginnya air Senduro. Mau bagaimana lagi, kupaksakan saja. Gigiku bergemeletuk, syaraf krause, syaraf yang peka terhadap rangsangan dingin seperti meraung-raung di setiap bagian tubuhku yang bersentuhan dengan air. Aku menarik selimut dan membungkus tubuhku sedemikian rupa untuk mengusir dingin sambil menunggu Mujib dan Angga selesai berwudlu. Dan kamipun segera melaksanakan sholat maghrib di kamar Mujib.
Aku melihat dari jendela, sudah banyak kerumunan orang yang standby di tepi jalan. Aku semakin tak sabar untuk menyaksikan ogoh-ogoh. Kami turun kedapur, memasak mie instan dan memakan ala kadarnya untuk mengisi tenaga terlebih dahulu, karena kami berencana akan mengikuti proses pengarakan sampai ke tempat dimana ogoh-ogoh akan dibakar. Angga nampak gagah dengan pakaiannya, begitu pula Mujib. Aku sendiri memakai jaket dan sarung. Mengingat tentang sarung, aku sampai lupa berapa acara penting yang kudatangi dengan memakai sarung. Beberapa acara ulang tahun teman, reuni keluarga besar, makan di restoran, ke matahari supermarket ataupun gramedia di Jember, aku lebih sering memakai sarung. Bahkan, aku pernah sekali ke gramedia Jember, memakai sarung dan gempyak (bakiak:sandal super tebal yang terbuat dari kayu). Sontak saja, itu menarik perhatian pengunjung gramedia, apalagi bakiak mengeluarkan suara keras tiap aku melangkah. Memang aneh, aku juga tak tahu seberapa aneh diriku, aku hanya merasa lebih nyaman menggunakan sarung kemana-mana.
Di sebuah tempat yang ditentukan, kami bertemu dengan Iqbal, salah satu teman SMP kami. Mulai dari situ, kami mengikuti arak-arakan ogoh-ogoh. Ogogh-ogoh sendiri diangkat menggunakan bambu yang diletakkan sebagai pondasi, dimana bambu tersebut diangkat oleh para pemuda dan bapak-bapak. Ada juga sekumpulan anak-anak kecil yang ikut mengangkat ogoh-ogoh yang tentunya berukuran kecil pula. Ada saatnya ketika para pengangkat ogoh-ogoh kelelahan dan meletakkan ogoh-tersebut. aku mencoba mengangkatnya sendiri. ah, bahkan itu tidak terangkat sedikitpun. Kami sibuk memotret dan memotret, hingga ada seorang wanita berbaju kebaya kuning, menggunakan sewek (kain tradisional jawa) menarik perhatian kami. Diputuskan, kami akan menguntit wanita tersebut. baru 2 kilometer kami berjalan, telepon Iqbal berdering. Ia mendapat sms dari temannya yang menyampaikan pesan dari Pak Rohman, wali kelasku, kalau aku dicari orang tuaku. Seketika hatiku berdesir. Aku mengutuk ketidakmampuan diriku untuk mengingat apapun. Aku lupa bahwa aku belum meminta ijin kepada orang tuaku. Seketika itu aku meminjam, lebih tepatnya meminta pulsa di hp milik Angga untuk menghubungi orang tuaku. Aku merasa sangat bersalah. Sebenarnya, kenapa aku harus mengikuti arak-arakan? Kenapa pula aku harus melihat ogoh-ogoh? Bukankah lebih baik pulang, tidur dengan hangat di depan tv, dari pada harus berjalan dan berlarian berkilo-kilometer di medan yang cukup sulit dan gelap? Aku kehilangan gairahku. Berjalan dengan lesu, sedikit tertinggal di belakang teman teman ku. Mujib dan Iqbal yang sering menonton ogoh-ogoh kemudian bercerita tentang ogoh-ogoh, mungkin mereka ingin kembali membangun semangatku. Banyak cerita menarik mengenai filosofi dan asal mula ogoh-ogoh, mungkin lebih banyak dari apa yang tertera di internet. Aku kembali bergairah, ingin cepat-cepat datang ke tempat pembakaran ogoh-ogoh.
1.1. Penulis bersama barong. Klik untuk memperbesar
                                     

Kami tidak tahu, sudah seberapa jauh kami berjalan di jalan tanjakan dan terus berlari di jalan turun dan jalan datar. Nafas kami tersengal, kaki kami bergetar, peluh sudah membasahi masing-masing baju kami. Bahkan Iqbal yang memiliki tenaga dan fisik super menunjukkan raut muka lelah. Seandainya ditempuh dengan terus berjalan, kami tidak akan seperti ini. Terus dipaksakan, akhirnya kami sampai ke tempat tujuan. Aku dan Angga sumringah,maklum, diantara kami hanya aku dan Angga yang belum pernah melihat ogoh-ogoh. Langsung saja kami abadikan beberapa momen ogoh-ogoh, sebelum, saat, dan setelah ogoh ogoh terbakar. Lalu kami duduk sejenak untuk melepas lelah, tersenyum sambil memandang langit yang cukup gelap tertutup awan. Setelah puas bercengkrama, kami memutuskan untuk pulang. Kali ini rombongan kami bertambah satu orang anak, teman bermain Iqbal. Jalan yang kami lewati cukup sempit, dengan belantara pohon di kiri kanan jalan. Tak ada penerangan satupun dijalan tersebut. Iqbal menakut-nakuti kami dengan cerita hantu, aku sebenarnya tidak begitu takut. Namun semua temanku berlari setelah mendengar cerita Iqbal. Kami hanya memiliki satu penerangan, senter kecil yang dibawa oleh teman Iqbal. Itupun sangat-sangat tidak efektif, karena dia memegang senter sambil berlari, sehingga cahaya senter berayun-ayun tidak jelas. Tentu saja, kami tidak memiliki tenaga, namun ketidakinginan untuk berjumpa dengan hantu menjadi booster yang sangat efektif untuk kami. Akhirnya kami sampai kembali dirumah Mujib. Mungkin bukan hanya aku saja, we were exhausted. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan, kecuali minum bergelas gelas air dan tergeletak kelelahan. Sudah jam 01.30, yang artinya, sekarang sudah lebih dari tengah malam. Aku sangat lapar, tapi lelahnya tubuhku saat itu membuatku lupa kalau aku lapar. Aku segera mengambil wudlu, sholat isya, kemudian tidur mendahului ketiga temanku.

***