Sunday, March 10, 2019

AWAS LGBT DI SEKITAR ANDA!

11



Jelang dhuhur tadi, saya beristirahat sejenak untuk menyempatkan qailulah[1] di sebuah masjid setelah semenjak shubuh tadi berputar-putar mengerjakan beberapa hal yang tak kunjung selesai :( . Baru saja sekitar satu menit memejamkan mata, ada seseorang berusia paruh baya yang tiba-tiba datang dan tiba-tiba memijiti kaki saya. Saya terbangun dan meminta kepada bapak itu untuk berhenti.

"Sudah pak, gak usah, sungkan saya", saya memohon pada beliau untuk menghentikannya, meskipun dalam hati, saya memang lagi ingin dipijit.

"Gak papa dik, kamu kelihatan capek. Gak papa, saya ini memang tukang pijat kok. Adik nggak usah bayar", begitulah jawabnya. Lalu pembicaraan dilanjutkan dengan basa-basi biasa seperti, 'dari mana asalnya? sekarang kerja apa?' dan lain-lain, sementara ia terus memijit kaki saya.

Ia meminta saya untuk berbaring kembali setelah saya dipijati dalam posisi duduk. Saya menurut saja, karena saya memang tak merasakan adanya gelagat-gelagat aneh. Selain itu, tempat ini adalah tempat yang suci dan ber-cctv, tak mungkin lah rasanya dia mau melakukan hal yang macam-macam. Saya kemudian berbaring sembari memejamkan mata. Pikir saya sih, lumayan, bisa tidur sambal dipijati secara gratisan. Tapi ternyata tidak lumayan sama sekali. Ketika sudah setengah tertidur, saya tersentak ketika tiba-tiba tangannya sudah masuk kedalam sarung saya dan memijit-mijit (maaf tanpa sensor) kemaluan saya yang tak saya sadari sudah menegang.

Sialan! Saya mengambil posisi duduk kembali

Tanpa mengurangi perasaan hormat dan kesopanan, saya meminta kepada bapak tersebut untuk berhenti. namun ia tetap memaksa untuk memijit saya. Saya memintanya untuk tak memijit bagian "itu" karena... yah... begitulah. Ia lalu memijit punggung dan bahu saya. Ah lumayan lah. 

Sampai akhirnya, ia memijiti kepala saya. Awalnya sih, memang ia memijit kepala, namun itu berlanjut ke hidung dan bibir.

Bajindul!

Seumur-umur saya dipijati dan memijat orang-orang sekitar, termasuk ketika saya belajar pijat terapi, tak pernah saya temukan pijatan pada bibir maupun hidung. Namun saya masih berprasangka baik. Barangkali, memang ada saraf-saraf yang memang butuh untuk dipijat pada kedua bagian tubuh itu.

Namun, ia tiba tiba mendekatkan wajahnya pada wajah saya hingga saya bisa merasakan nafasnya yang terdengar begitu memburu. Gilaaaa! Ia terus mendekat hingga kemudian jarak kami hanya terpisah beberapa centimeter saja. Tanpa mengurangi kesopanan, saya meminta izin kepada bapak itu untuk ke kamar mandi

“Oh, mau mandi dulu ya? Iya wes”, kurang lebih, begitulah ucapnya. 

Di kamar mandi, saya terngiang beberapa cerita teman-teman saya yang pernah mengalami hal serupa. Namun seingat saya, belum pernah ada yang bercerita kejadiannya terjadi di masjid. Saya kemudian memikirkan strategi yang pas untuk memberikan sedikit “pelajaran” padanya. Iya, saya akan kembali lagi padanya, meminta untuk dipijiti lagi, dan jika ia memang terbukti berbuat yang macam-macam, maka saya akan menggunakan sedikit ketegasan, sekaligus membuktian hasil latihan push-up dan angkat barble one-hand yang hampir tiap hari saya lakukan.

Tapi, andai saya kalah, ya saya tinggal teriak saja wkwkwk. Tapi teriaknya itu bukan karena saya pengecut. Lagipula saya tak suka cara kekerasan, apalagi kalau sampai terlibat perkelahian. Saya tak menyukainya, meskipun pernah beberapa kali berkelahi dengan beberapa orang. Terakhir kali berkelahi, saya berkelahi dengan mas-mas yang ternyata sudah jadi pelatih silat, dimana perkelahian tersebut berakhir dengan sebuah bantingan keras yang membuat pandangan saya gelap sesaat karena kepala jatuh terlebih dahulu. 

Setelah keluar dari kamar mandi dengan ide terebut, saya hendak mencari bapak itu kembali untuk meminta pijit lagi. Namun ternyata, ia sudah menemukan orang lain yang sedang ia pijat. Dan lagi-lagi, saya melihatnya sedang memijit-mijit kemaluan orang yang sedang ia pijit.

Saya berlalu seraya memandangnya datar-datar, ia memandang saya dengan menyeramkan. Saya lantas memutuskan untuk melaporkan kejadian tersebut pada satpam dan bersegera pulang.

Benar-benar kejadian yang entah harus bagaimana saya menyebutnya, karena sungguh tak lucu sama sekali kalau ternyata first kiss saya adalah seorang bapak-bapak bertubuh kekar.

Dari kejadian yang saya alami dan juga beberapa kejadian serupa yang dialami teman-teman saya, saya menghimbau kepada guru-guru dan orang tua khususnya untuk memberikan pendidikan akan hal ini kepada murid dan anak-anaknya mengenai bahaya ini. Karena modusnya bermacam-macam. Ada yang dikasih uang terlebih dahulu, ada juga yang diancam jika tak mau mengikuti kemauan pelaku. 

Dibakar hidup-hidup adalah pendapat imam Ali saat ditanya mengenai apa hukuman yang pantas bagi pelaku LGBT. Sedangkan ibnu Abbas berpendapat bahwa pelakunya harus dijatuhkan dari tempat yang tinggi, baru dihujani batu hingga meninggal. Saya tau kedua pendapat tersebut, namun masih tak kuasa untuk bertindak tegas saat mengalaminya. 
Punya ilmunya saja masih tak mampu bertindak tegas karena mesih mencoba untuk berbuat baik dan menghormatinya, apalagi tak punya ilmunya, apalagi digoda dengan iming-iming bermacam-macam!

Saya jadi ingat perkataan seorang teman pada suatu saat, “pada akhirnya, menjadi terlalu baik akan menghancurkanmu secara perlahan” 


Di masa-masa panasnya kontestasi politik ini, ada juga yang sedang panas dengan diri-diri mereka sendiri dan menginginkan adegan-adegan panas dengan sejenis mereka sendiri. Di masa-masa banyaknya hoax bermunculan ini, mereka-mereka juga mulai berani muncul, bahkan ditempat yang suci. 

Duhai calon istri (yang entah kau siapa, dimana, bagaimana, mengapa, kapan, dan apa) tolong jaga diri baik-baik ya... *tulisan berwarna biru bisa di klik loo

Salam dariku, calon suamimu, yang hampir saja disikat pria, bukan disikat olehmu. *tulisan berwarna biru bisa di klik loo



[1] Qailulah adalah tidur siang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قِيْلُوا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لاَ تَقِيْلُ
Qailulah-lah (istirahat sianglah) kalian, sesungguhnya setan-setan itu tidak pernah istirahat siang.” (HR. Abu Nu’aim dalam Ath-Thibb)



Saturday, February 09, 2019

Senyummu Mengalihkan Duniaku

9

"Sekarang, keluarlah. Temui mereka"


Sungguh, ia ingin menolak perintah tuannya, namun apa daya, hutang budi yang teramat besar membuatnya tak bisa menuruti jerit berontak hatinya.

Melangkahlah ia sekelebat, anggun nun tegap tanpa dibuat-buat. Seketika, kepadanya, seluruh pasang mata wanita dalam satu ruang menatap tanpa kejap sembari berucap, "Sungguh, Maha Besar Dia yang menciptakan seindah-indah ciptaan. Betapa ia bukanlah manusia. Ia bukanlah manusia. Ia adalah malaikat!". 

Dalam ruang yang telah tersuguh berbagai macam makanan, mereka tercekat. Pisau-pisau yang mereka gunakan untuk mengupas dan mengiris bebuahan tanpa disadari malah melukai jari-jari mereka sendiri. Saat itu, sakit tak lagi dirasa, hening menyelimuti suasana.

Betapa indah Alquran berkisah, mengenai bagaimana suatu keindahan menjadi fitnah.


***

Tiap kali ku membaca ataupun dibacakan kisahnya, tak bosan-bosannya ku bayangkan seperti apa ketampanan Yusuf alaihissalam. Ah, seperti apa ya? Karena, jika memang tak benar-benar rupawan, tak mungkinlah 'sekilas pandang' dari wanita-wanita tersebut menjadi anastesi yang begitu cepat nun hebat mereda nyeri! Hingga tak terasa tangan mereka teriris-iris oleh diri mereka sendiri. Ah, kok bisa ya?

Namun, rasa penasaran itu terjawab lengkap, saat tak sengaja kupandang senyummu, seiris lengkung pelangi yang lesung pipitnya berhias mungil disamping kanan bibirmu. 

Dan terus saja kupandang, sembari menancapkan satu persatu panah beracun hingga ke hampir setiap bagian tubuhku. 

Mana yang lebih parah? melukai tangan dan jemari atau menancapkan panah dalam diri? Betapa ku tersadar kemudian, bahwasanya aku jauh lebih buruk dari mereka yang terpesona akan ketampanan Yusuf alaihissalam

Terucap doa, "Duhai Engkau yang Mencipta, jikalau memang pernah ini sebuah kesalahan yang membinasakan, mohon jadikan wajah-Mu lebih kami harapkan untuk kami pandang dari pada ia yang kau ciptakan"

Pandangan (haram) adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Barangsiapa yang meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah akan memberi balasan iman kepadanya yang terasa manis baginya” (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 7875).










Tuesday, January 01, 2019

Sepasang Gerimis Sore

14



Sore ini, Tuhan mencipta sepasang gerimis…

Taman kota terguyur tipis
Begitu pula pohon beringin tua,
Yang bergurat namamu, manis

Sore ini awal Januari
Angin bertiup disana sini
Hingga berguguranlah daun-daun,
Begitu pula dedaunan beringin tua itu..

Yang daunnya tak jatuh pada tanah,
Ia bermuara, pada ingatan paling kenang


Angin bertiup disana sini
Bertiup dimatamu jua

Apa semilirnya mengganggu?
Hingga memerah matamu?

“Bukan karena angin, tapi sembilu darimu”, isakmu

Sembilu dariku? 

Aku lantas duduk
Namun tidak dengan pikiranku
Ia tak bisa duduk
Ia aruk
Ia mencoba menerka
Ia mengacak isi kepala
Ia menemukan… kenangan
Menari rancak…
Berteriak…
Acak…
Hingga...
Aku tersadar akan sesuatu…

Tapi aku masih pusing
Entah karena ku tak tidur semalam
Atau karena mabuk kepayang
Padahal hanya ku tenggak 3 cawan rindu, yang
diseduh jarak, disajikan waktu

Tapi kenapa bisa begitu memabukkan?

Mungkin tidur adalah obatnya
Sayangnya, ku tak mampu membeli obat tidur
Namun ku ingin tidur

Dan tak perlu terjaga sekalian

Kuraih cekam, kuselimutkan rapat-rapat
Padat-padat
Rekat-rekat
Erat-erat
Gelap-gelap

Mencoba menghilang, dalam ingatan sendiri
Namun tetap saja, aku tak kunjung tertidur

Degup ini terlalu memburu

Lalu kucoba berpuisi
Tanpa bahasa
Karena cinta, sudah tak sanggup lagi...
Dipuisikan...
Dalam bahasa apapun

Barangkali dengan berpuisi aku bisa tertidur
Dan tak perlu terjaga sekalian

Sementara itu... Sepasang gerimis mulai berlalu,
Seiring lambaian tanganmu
Juga senyummu, yang belum sempat kumiliki

-----------------------------------

*Info 

Ini bukan puisi. Ini sama seperti tulisan2 sebelumnya, namun mengalami pereduksian kata, lalu disusun sedemikian rupa  






Saturday, December 08, 2018

Membela Jokowi!

8


Ah, sebenarnya saya sudah berkomitmen untuk tak menulis konten blog dalam beberapa bulan kedepan. Tapi, masalah ini benar-benar penting dan harus saya tuliskan segera. Tak apalah, biar saya ceraikan dulu komitmennya sementara. Semoga nanti ia mau menerima kembali saat saya hendak mengajaknya rujuk lagi.

Haha

Entah kenapa, hampir dimanapun posisi dan keadaannya, pak Jokowi selalu saja menampilkan perbuatan dan mengeluarkan perkataan yang bully-able (mengakibatkan beliau diejek-ejek).

Nglakuin ini, dibully. Nglakuin itu, dibully. Heran saya. 

Lha kok rasa-rasanya kasihan ya beliau itu. Susah-susah  dan mahal-mahal jadi Presiden, eh malah jadi bahan bully-an. Mending jadi semen aja kalau gitu pak, bisa jadi bahan bangunan. Jadi terasi juga boleh, bisa jadi bahan sambel. Atau jadilah jurnal pak, sebagai bahan referensi pengerjaan proposal saya yang entahlah. Hiks hiks.

Padahal, disetiap perilaku dan perkataan beliau, ada makna lain yang bisa didapatkan oleh orang yang mau berbaik sangka. Cukup berbqik sangka, tak perlu memakai  teori hermeneutika dan aplikasi semantik Toshiko Itsuzu. Cukup dengan berbaik sangka saja. 

Mari, perkenankan saya mengajak njenengan-njenengan untuk sedikit merenungkan hal-hal dari beliau yang kemudian menjadi bahan bully-an.

1. Nyanyi lagu Sabyan

Akhir-akhir ini, video beliau menyanyikan lagu Deen As Salam menjadi viral.

Aptahiyah, wapsalam… ansaru ahlalkalam... jainuddin najiro... Kurang lebih, begitulah beliau berdendang.

Lha itu cuma nyanyi lagu dengan lirik salah lo bro. Lah ternyata malah menjadi bahan ejekan disana-sini. Ada yang bilang gak pantes lah, gak fasih lah, ngawur lah…

Swantay bro. Tarik nafas dulu.

Begini bro, nyanyi lagu dengan lirik yang salah itu dosa gak? Enggak kan sepertinya? Okelah, andai anda mengatakan itu dosa, lebih dosa mana dengan saat kita membaca Alquran tapi dengan salah-salah dan tak mau bersungguh-sungguh belajar memperbaikinya? Yang ada malah sibuk ngejek-ngejek pak Jokowi yang cuma salah ngucap lirik lagu. Padahal Alquran itu, salah ucap huruf sedikit saja, artinya bisa jauh berbeda.

Saya berkata demikian bukan karena bacaan Alquran saya baik. Bacaan Alquran saya juga buruk, hanyasaja saya tak “memperburuknya” dengan mengejek-ngejek seseorang hanya karena salah ucap lirik lagu!

2. Al-fateka

Masih ingat bagaimana kemudian pak Jokowi dihujat habis-habisan hanya karena kurang fasih menyebut Al-Faatihah?

Ummm, saya tak akan berkomentar, cukup kita lihat diri kita sendiri dulu.

Bagaimana kita saat menyebut Ali ‘Imron? Itu ‘Imronnya pakai ع lo. Tapi sepertinya, seringkali saya menyebutnya menggunakan Alif hamzah kasroh ( إ ). Ad Dhuha itu memakai ض (Dlod) lo. Tapi saya seringkali menggunakan د (dal) saat menyebut nama suratnya. Yaasin juga begitu. Sepertinya saya juga tak pernah menyebut surat yaasin dengan sebetul-betul ucapan; Yaasiiiiiin. Dan masih banyak lagi.

Eh tapi itu saya lo, kalau anda-anda sih, saya yakin insyaaAllah sudah fasih membaca Alquran, bahkan hingga ke pengucapan nama-nama suratnya.



Oyaaa. Yang biasa nyebut An-Naas, al-falaq dan Al ikhlas dengan sebutan triqul, ayo ngacung!! Wkwk

3. Laa haula wa laa quwwata illaa billaah

Ah ini juga, di salah satu pidatonya, sepertinya pak Jokowi “lidahnya keplecuk”. Seharusnya, beliau mengucapkan Laa haula wa laa quwwata illaa billaah, tapi yang terdengar malah “laa kalau kalau kata ila billah”.

Saya ingin bercerita sedikit mengenai ini. Umm, lidah keplecuk (kepleset) saat berbicara itu biasa bro. Apalagi saat di panggung. Pernah suatu saat, ada seorang ustadz yang khotbah jumat. Saat berdoa, sepertinya lidah beliau keplecuk, dari yang harusnya berkata اجتنابه menjadi اتباعه . Yang seharusnya doa tersebut artinya kurang lebih “berikanlah kami kemampuan untuk menjauhinya (menjauhi kebatilan)” malah menjadi “berikanlah kami kemampuan untuk mengikutinya (mengikuti kebatilan)”. Ya jelas itu fatal banget, lha bagaimana tidak fatal lhawong diaminkan orang se-masjid yang melek. Sedangkan yang ngantuk hingga kesirep-sirep cuma ngangguk-ngangguk doang, ya ngangguk-ngangguknya itu karena ngantuk. 

Terpeleset itu biasa. Tapi jangan membiasakan diri untuk terpeleset, apalagi mempelesetkan diri. 

Lagian bapak Jokowi itu cocoknya main pencitraan, bukan main plesetan

4. Memilih cawapres

Banyak yang menduga bahwa salah satu alasan beliau memilih cawapres adalah untuk merangkul hati umat muslim yang “tersakiti” oleh kebijakan-kebijakan rezim beliau.

Terlepas dari apapun alasan beliau, coba kita saya lihat dari sudut pandang yang lain.

Pak Jokowi mendekati ulama besar. Sedang kita saya? Coba kita saya bermuhasabah, siapa yang lebih sering kita saya dekati? Jangankan ulama. Jangan-jangan Kita saya malah sibuk dengan mendekati dia yang kita saya sangka adalah “tulang rusuk” dari pada mendekati ia yang surga berada di telapak kakinya!


Astaghfirullah

Namun, alangkah indahnya jika dipilihnya KH. Ma’ruf Amin sebagai cawapres ternyata adalah agar pak Jokowi bisa menyetorkan hafalan Alqurannya pada Kyai Ma'ruf seba’da shubuh sekaligus tahsin Alquran hingga syuruq, lalu belajar nahwu shorof di sore harinya setelah seharian penuh mengurus negara dan perekonomian umat, lalu ngaji sorogan tiap ba’da isya.

Andaikan benar begitu, anu pak. Ngaji fathul Izar dan qurotul uyun sepertinya asyik kalau sudah menikah. Karenaaa… bisa langsung dipraktekkan sepulang dari mempelajarinya. Haha. Kalau belum nikah mah, cuma bisa ngaplo sembari cemas-cemas berharap suatu saat akan ada jodoh berparas-prilaku manis nan sholih/ah yang sudi membersamai hingga akhir hayat nanti.

Kedekatan yang beliau bangun dengan kyai juga bisa membuat beliau dengan mudah mendengar kajian tauhid, siroh, fiqh, tafsir, dan adab di tiap akhir pekannya secara langsung dari KH. Ma’ruf Amin dan kyai-kyai besar lainnya. Enak pak. Semakin bapak paham mengenai agama, berarti itu tanda Allah menghendaki bapak jadi orang yang baik.

5. Tak dikenal rakyat sendiri

Jargon merakyat yang lekat pada diri beliau tak lantas membuat beliau dikenal oleh rakyatnya sendiri. Di salah satu video, ada bapak-bapak yang maju ke panggung Jokowi. Ia lalu mendapatkan pertanyaan dari Jokowi, "siapa nama saya?". Bapak tersebut menjawab "tidak tahu" (dalam bahasa madura). Sontak, penonton tergelak.

Umm, pernah tau cerita mengenai pengemis yahudi tua yang kemudian begitu menyesal saat ia baru tahu bahwa selama ini yang menyuapinya makan dengan kelembutan adalah Rasulullah SAW yang senantiasa ia hina? ia baru mengetahuinya setelah Rasulullah SAW wafat dan digantikan oleh Abu Bakar RA yang kemudian menceritakan pada pengemis tersebut mengenai siapa yang biasa menyuapinya.

Atau kisah mengenai seorang ibu yang berkata didepan Khalifah Umar bin Khattab yang baru saja membantunya, "Andai saja Khalifah Umar bin Khattab seperti dirimu!", tanpa mengetahui bahwa yang membantunya sedari tadi adalah Umar?

Umm, bisa jadi Jokowi tak terkenal di bumi, namun begitu terkenal di langit

Namun entah, terkenal karena apanya dan terkenal bagaimana. Semoga itu hal yang baik.

6. Sudahlah stop
 
Kalau dilanjutkan, kesannya malah gimanaa gitu. Seakan-akan kesalahan-kesalahan pak Jokowi itu banyak sekali. Padahal. Padahal, nggak baik lo mencari-cari kesalahan orang itu. Adapun kesalahan-kesalahan diatas itu saya sebutkan untuk membela beliau dan untuk kita renungkan. Sedangkan kesalahan-kesalahan beliau lainnya, tentu saja saya akan kesulitan, atau bahkan tidak akan bisa mencari pembelaannya.

Sudahlah, berdoalah agar beliau selalu dilimpahi kebaikan kebaikan, yaitu agar beliau dapat menyelesaikan jabatannya dengan baik, dan agar beliau mendapatkan pengganti yang jauh lebih baik. 

Salam 2 jari, pak!

*Sekedar pengumuman, domain blog ini akan habis. Mungkin Januari atau awal Februari 2019, mustofacoo.com tak lagi bisa diakses jika saya tak memperpanjangnya. Doakan supaya ada rezeki ya :)




Sunday, November 18, 2018

Berusaha Mencintaimu

18


Sore, cinta. Ingin ku menulis sesuatu untukmu. Semoga tulisan ini bisa menjawab keresahanmu yang sepertinya menyadari sesuatu, bahwasanya aku tak memberikan sepenuh hatiku untukmu.

Maaf, cinta. Mungkin kau memiliki prasangka ini. Maka kubenarkan saja prasangkamu. Iya, di hatiku, masih ada dia.

Baik, akan kuceritakan sedikit mengenai kisah ini padamu, cinta. Mengenai dia...

"Aku mencintaimu, dan sungguh ku ingin memilikimu" 

Ingin ku mengatakan hal ini padanya tiap kali berjumpa. Namun apalah daya. Aku hanyalah seorang pengecut, yang akan senantiasa menjadi pengecut karena ketidakpercayaan diriku benar-benar sangat... Ah entahlah. 

Aku mengingatnya, kami pertama kali bertemu di Surabaya. Aku melihatnya dalam suatu acara saat itu, namun sepertinya ia tak menyadariku. Disitu, aku mulai mendapatkan apa yang orang sebut, "love at first sight". Cinta pandangan pertama. Kali kedua, aku bertemu dengannya di Solo. Kami bertatapan sejenak saat itu. Aku mengingatnya, sedang dirinya sepertinya lupa. *Tulisan warna biru bisa diklik.

Aneh, justru kami bertemu diluar kota. Bukan di Jember yang merupakan domisiliku, dimana katanya, dia ternyata juga memiliki rumah di Jember.

Aku mulai menceritakannya dan menanyakan  mengenianya pada beberapa orang. Ternyata beberapa ada yang mengenalnya, dan mereka berkata bahwa aku pantas bersanding dengannya. Alasan mereka sebenarnya lucu, "Sepertinya, kalian itu sama lo. Selain itu, ya karena kamu itu orangnya gini dan gitu. Sukanya ini dan itu. Sedangkan dia itu begini dan begitu, bahkan dia itu bisa begini dan begitu". 

Haha, bagiku itu adalah alasan yang lucu. Karena, kerapkali hubungan (anu, itu lo, hubungan yang itu) yang baik itu dimulai dari perbedaan-perbedaan. Emm, seperti perbedaan jenis kelamin misalnya. Wkwkwk

Haha. Maaf. 

Tapi memang, di usia-usia ini aku harus segera memilih. Untuk itu, sempat ku pinta pada Rabb dalam beberapa istikharah untuk memantapkan pilihan. Karena, ini perkara yang besar. 

Eh sebentar, tapi itu bukan berarti kita meniadakan keberadaan-Nya saat perkara yang kita hadapi adalah perkara kecil.

Iya, ini perkara besar. Ini menyangkut masa depan yang amat panjang. Berbicara mengenai calon pendamping kelak, tentu saja banyak hal yang yang harus diperhitungkan. Baik secara tampilan 'luar', apalagi 'dalam'nya. Bukan tampilan yang terbungkus dalam baju, tapi dalam kepala dan hati. Haha, untuk tampilan dalam baju, mana bisa kulihat itu sebelum halal memiliki? Wkwkwk

Akhirnya, seba'da istikharah, setelah aku merasa pilihanku cukup dimantapkan  oleh-Nya, aku langsung memilihmu, sekalipun, aku tak mencintaimu. Hei, bahkan aku sama sekali tak mengenalmu sebelumnya. Aku baru tau mengenai dirimu di media sosial, setelah aku menanyakan beberapa hal pada orang-orang yang mengenalmu.

Maka saksikanlah, inilah aku yang berusaha untuk mencintaimu. 

Namun maaf, tentu saja, hatiku masih terpaut padanya. Karena sejak teman-temanku berkata ia pantas untukku dan begitu pula sebaliknya, aku mulai merasakan getaran aneh tiap kali berjumpa dengannya. Semacam perasaan-perasaan yang dirasakan oleh orang-orang yang jatuh cinta gitu.

Bahkan, maaf, sampai sekarang pun, aku tetap menyimpan hati untuknya. Dan sekali lagi maaf, sebenarnya kau hanyalah pelarianku. Aku memilihmu karena uangku untuk membelinya, si ultrabook dari Asus (biasanya tampil dalam seri ROG. Spesifikasi mantap) tak mencukupi, bahkan jauh dari apa yang sudah kutabung sekian lama. Akhirnya pilihanku jatuh padamu, Acer.

Tapi sebagaimana yang telah ku katakan tadi, aku akan tetap berusaha untuk mencintaimu. Karena bagaimanapun, kaulah pendampingku sekarang. Semoga kau awet ya, Acer, duhai cintaku yang sekarang...

*Foto diatas hanyalah ilustrasi untuk menggaet pemirsa agar blog ini tak sepi-sepi amat.



Thursday, October 25, 2018

Serenjana Senja 3

6



Bulan ke tiga setelah pertemuan pertama kita, di bawah pepohonan akasia.
Kubuka lagi sebuah lembar yang sudah cukup lusuh di salah satu kantong tasku. Kubaca sekali lagi, sebuah puisi yang kuminta tuliskan secara spontan untuk yang kesekian kalinya. Aku hanya ingin menuntaskan segala yang menggangguku beberapa waktu belakangan ini,

Yaitu puisi... Aku benar-benar penasaran dengan puisi yang tak sengaja kutemukan di balik lukisan yang kubeli. Puisi yang hampir tak terbaca karena ditulis menggunakan tinta yang berwarna putih  agak perak di atas kanvas yang putih. Seakan-akan memang ingin disembunyikan, namun ingin ditampakkan. Entahlah. Ia juga tak pernah ingin menjawabnya saat aku menanyakan hal tersebut.

Bisa dibilang sok kenal sih, nekat juga...yah mau bagaimana lagi. Aku adalah tipe orang yang mudah penasaran. Tapi sebenarnya lucu juga, kita tak saling mengenal, namun tiap kali aku meminta padanya untuk bertemu, selalu saja aku meminta padanya untuk membuatkan puisi. Sampai di dua pertemuan terakhir kita, dia membawa bolpoin dan kertas sendiri karena sedang memprediksi akan diminta untuk membuatkan puisi lagi.

Tetapi, antara puisi dalam lukisan tersebut dan puisi-puisi yang dia buatkan untukku,  aku merasa ada yang berbeda. Kedalaman rasanya, pemilihan bahasa, penafsiran makna, dan…seseorang di dalamnya. Mungkin itu memang tidak sedikit, dan mungkin memang puisi yang kupegang ini milikku, tapi sepertinya, puisi ini bukan untukku. Betapa kau harusnya tahu jika wanita memiliki 2 Indra perasa lagi yang terletak di hati selain 5 Indra yang dimiliki manusia pada umumnya.

Mungkin memang tidak seharusnya aku memaksamu menuliskan sebuah puisi yang bagiku terasa hambar ini. Bukan kejam, itu hanya menurutku saja. Tapi aku tetap menyukainya, hanyasaja… tentu ada perasaan yang sulit untuk di ungkapkan ketika kita tak menemui apa yang kita harapkan. Mungkin, ini yang disebut kecewa.

Ah, sudahlah… terlalu banyak “mungkin” di kepala. Seharusnya aku memang tak perlu mengenalnya terlalu jauh. Cukup sekedar lukisan langitnya saja yang akan menjadi kawan baikku, karena bertemu lukisannya semacam takdir untukku. Sudahlah, sepertinya tak lagi bertemu dengannya adalah pilihan terbaik untukku. 

Tapi entahlah. Aku sebenarnya ingin terus bersama dan memang  sudah nyaman berteman dengannya. Namun di sisi lain, ia seperti... Ah entahlah. Perasaan ini terlalu rumit bahkan untuk kupahami sendiri

Kumasukkan kembali kertas tersebut setelah kulipat Serapi mungkin. Lalu ku beranjak teduh bayang dedaunan akasia.

------------------

Bulan pertama sejak pertemuan pertama, jelang pertemuan ke tiga dengannya

Ah betapa bodohnya. Aku kan memiliki daftar nama pembeli-pembeli lukisanku. Hahaha, sepertinya usaha dia untuk menyembunyikan namanya di tiap kali kutanya ketika bertemu akan menjadi sia-sia. Kubuka-buka daftar pengunjung yang menghadiri pameran. Kubuka lagi pada daftar pembeli lukisanku. Tak sulit bagiku untuk menemukan namamu dari daftar yang hanya beberapa itu. M a l a R e n j a n a. Deretan abjad terangkai dan kubunyikan namamu. Mala renjana.

Aku jadi tak begitu heran, mengapa kau suka sekali meminta untuk dibuatkan puisi, karena namamu sendiri seakan-akan sudah menjadi bait puisi tersendiri. Tentu saja, aku langsung dapat mengetahui namamu karena kaulah satu-satunya perempuan yang membelinya di hari itu. Dari awal kau memang bukan orang yang bisa kulewatkan begitu saja. Betapa sorot mata dan keceriaan yang kau tampakkan, benar-benar mengingatkan ku pada sesuatu.

Dan langit…kenapa dari sekian banyak yang terpajang akhirnya kau jatuhkan pilihan pada lukisan langit? 

Serta dilain waktu, kau juga telah menumpahkan kopi di salah satu lukisanku. Sepertinya kau ingin mengetahui reaksi diriku dengan melakukan hal tersebut, seakan-akan, kau ingin menghapus beberapa bagian yang ada disana. Ah, tapi darimana kau tahu lukisan itu menyimpan sejarah untukku?.
Baiklah…kali ini aku yang berlebihan. Dan sebentar lagi, aku memenuhi permintaanmu untuk kembali bertemu. 

----------------

“Um…aku suka puisimu, hanya saja…ini sedikit berbeda. Sebenarnya aku berharap puisi ini akan sama seperti puisi sebelumnya” ucapnya sambil menggaruk kepala, setelah ia membaca puisi yang baru saja ia minta padaku untuk membuatkannya lagi. 

“Puisi yang sebelumnya? Puisi apa? Puisi tempat pembuangan sampah?” Aku berusaha menangkap maksud perkataannya. 

Tapi…memang aku bukan penulis puisi, itu tidak ada dalam list bakatku. Aneh saja tiba-tiba dia meminta bertemu dan tak cukup sampai disitu, dia juga meminta sebuah puisi padaku. Dan apa? Tempat Pembuangan Sampah? Apa tema itu serta-merta muncul setelah melihat tampilan lusuhku dan gerobak sampah yang kubawa bersamaku dan kutinggalkan di pohon mangga seberang? Hei, aku hanya menggantikan tetangga yang sedang sakit untuk sementara. 

“Bukan... Itu... Mmm... Puisi yang ada di balik lukisan langitmu itu” jawabnya dengan nada bahagia. “Aku sangat menyukainya” deretan gigi yang rapi mempermanis senyumnya. "Ohya, ini ada makan sore untukmu. Maaf ya, ini cuma sekedar nasi sayur dan tempe saja. Hope you like it!", Ujarnya seraya mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya.

Aku menerimanya seraya berdebar setelah  ia menyebutkan mengenai puisi tersebut.

DEG!

Puisi dibalik lukisan langit! Ah puisi itu, bukan aku yang membuatnya. Bahkan, kalau bukan keinginan dari pemilik puisi tersebut, tentu saja aku sama sekali tak akan menjualnya dengan harga berapapun. Puisi itu, aku juga menyukainya, teramat sangat menyukainya.

Kemudian aku hanya tersenyum simpul, tanpa berniat menjawab atau menjelaskan padanya. Toh dia juga buru-buru setelah menengok jam yang melingkar manis di tangannya. Kemudian dia pergi begitu saja setelah mengucapkan terimakasih atas puisi yang baru saja kubuatkan.

Sepertinya tak hanya sorot mata dan keceriaannya saja. Mulai dari cara tersenyum, cara berbicara dan memperlakukanku, sikap saat menungguku, dan beberapa hal lainnya benar benar mirip dengan seseorang.

Ah, berapa kali pun kau minta bertemu, pasti akan kusanggupi, Mala Renjana.

~bersambung

**********

Baca juga Serenjana Senja dan Serenjana Senja 2 (tulisan berwarna biru bisa di klik loo)