Bulan ke tiga setelah pertemuan pertama kita, di bawah pepohonan akasia.
Kubuka lagi sebuah lembar yang sudah cukup lusuh di salah satu kantong tasku. Kubaca sekali lagi, sebuah puisi yang kuminta tuliskan secara spontan untuk yang kesekian kalinya. Aku hanya ingin menuntaskan segala yang menggangguku beberapa waktu belakangan ini,
Yaitu puisi... Aku benar-benar penasaran dengan puisi yang tak sengaja kutemukan di balik lukisan yang kubeli. Puisi yang hampir tak terbaca karena ditulis menggunakan tinta yang berwarna putih agak perak di atas kanvas yang putih. Seakan-akan memang ingin disembunyikan, namun ingin ditampakkan. Entahlah. Ia juga tak pernah ingin menjawabnya saat aku menanyakan hal tersebut.
Bisa dibilang sok kenal sih, nekat juga...yah mau bagaimana lagi. Aku adalah tipe orang yang mudah penasaran. Tapi sebenarnya lucu juga, kita tak saling mengenal, namun tiap kali aku meminta padanya untuk bertemu, selalu saja aku meminta padanya untuk membuatkan puisi. Sampai di dua pertemuan terakhir kita, dia membawa bolpoin dan kertas sendiri karena sedang memprediksi akan diminta untuk membuatkan puisi lagi.
Tetapi, antara puisi dalam lukisan tersebut dan puisi-puisi yang dia buatkan untukku, aku merasa ada yang berbeda. Kedalaman rasanya, pemilihan bahasa, penafsiran makna, dan…seseorang di dalamnya. Mungkin itu memang tidak sedikit, dan mungkin memang puisi yang kupegang ini milikku, tapi sepertinya, puisi ini bukan untukku. Betapa kau harusnya tahu jika wanita memiliki 2 Indra perasa lagi yang terletak di hati selain 5 Indra yang dimiliki manusia pada umumnya.
Mungkin memang tidak seharusnya aku memaksamu menuliskan sebuah puisi yang bagiku terasa hambar ini. Bukan kejam, itu hanya menurutku saja. Tapi aku tetap menyukainya, hanyasaja… tentu ada perasaan yang sulit untuk di ungkapkan ketika kita tak menemui apa yang kita harapkan. Mungkin, ini yang disebut kecewa.
Ah, sudahlah… terlalu banyak “mungkin” di kepala. Seharusnya aku memang tak perlu mengenalnya terlalu jauh. Cukup sekedar lukisan langitnya saja yang akan menjadi kawan baikku, karena bertemu lukisannya semacam takdir untukku. Sudahlah, sepertinya tak lagi bertemu dengannya adalah pilihan terbaik untukku.
Tapi entahlah. Aku sebenarnya ingin terus bersama dan memang sudah nyaman berteman dengannya. Namun di sisi lain, ia seperti... Ah entahlah. Perasaan ini terlalu rumit bahkan untuk kupahami sendiri
Kumasukkan kembali kertas tersebut setelah kulipat Serapi mungkin. Lalu ku beranjak teduh bayang dedaunan akasia.
------------------
Bulan pertama sejak pertemuan pertama, jelang pertemuan ke tiga dengannya
Ah betapa bodohnya. Aku kan memiliki daftar nama pembeli-pembeli lukisanku. Hahaha, sepertinya usaha dia untuk menyembunyikan namanya di tiap kali kutanya ketika bertemu akan menjadi sia-sia. Kubuka-buka daftar pengunjung yang menghadiri pameran. Kubuka lagi pada daftar pembeli lukisanku. Tak sulit bagiku untuk menemukan namamu dari daftar yang hanya beberapa itu. M a l a R e n j a n a. Deretan abjad terangkai dan kubunyikan namamu. Mala renjana.
Aku jadi tak begitu heran, mengapa kau suka sekali meminta untuk dibuatkan puisi, karena namamu sendiri seakan-akan sudah menjadi bait puisi tersendiri. Tentu saja, aku langsung dapat mengetahui namamu karena kaulah satu-satunya perempuan yang membelinya di hari itu. Dari awal kau memang bukan orang yang bisa kulewatkan begitu saja. Betapa sorot mata dan keceriaan yang kau tampakkan, benar-benar mengingatkan ku pada sesuatu.
Dan langit…kenapa dari sekian banyak yang terpajang akhirnya kau jatuhkan pilihan pada lukisan langit?
Serta dilain waktu, kau juga telah menumpahkan kopi di salah satu lukisanku. Sepertinya kau ingin mengetahui reaksi diriku dengan melakukan hal tersebut, seakan-akan, kau ingin menghapus beberapa bagian yang ada disana. Ah, tapi darimana kau tahu lukisan itu menyimpan sejarah untukku?.
Baiklah…kali ini aku yang berlebihan. Dan sebentar lagi, aku memenuhi permintaanmu untuk kembali bertemu.
----------------
“Um…aku suka puisimu, hanya saja…ini sedikit berbeda. Sebenarnya aku berharap puisi ini akan sama seperti puisi sebelumnya” ucapnya sambil menggaruk kepala, setelah ia membaca puisi yang baru saja ia minta padaku untuk membuatkannya lagi.
“Puisi yang sebelumnya? Puisi apa? Puisi tempat pembuangan sampah?” Aku berusaha menangkap maksud perkataannya.
Tapi…memang aku bukan penulis puisi, itu tidak ada dalam list bakatku. Aneh saja tiba-tiba dia meminta bertemu dan tak cukup sampai disitu, dia juga meminta sebuah puisi padaku. Dan apa? Tempat Pembuangan Sampah? Apa tema itu serta-merta muncul setelah melihat tampilan lusuhku dan gerobak sampah yang kubawa bersamaku dan kutinggalkan di pohon mangga seberang? Hei, aku hanya menggantikan tetangga yang sedang sakit untuk sementara.
“Bukan... Itu... Mmm... Puisi yang ada di balik lukisan langitmu itu” jawabnya dengan nada bahagia. “Aku sangat menyukainya” deretan gigi yang rapi mempermanis senyumnya. "Ohya, ini ada makan sore untukmu. Maaf ya, ini cuma sekedar nasi sayur dan tempe saja. Hope you like it!", Ujarnya seraya mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya.
Aku menerimanya seraya berdebar setelah ia menyebutkan mengenai puisi tersebut.
DEG!
Puisi dibalik lukisan langit! Ah puisi itu, bukan aku yang membuatnya. Bahkan, kalau bukan keinginan dari pemilik puisi tersebut, tentu saja aku sama sekali tak akan menjualnya dengan harga berapapun. Puisi itu, aku juga menyukainya, teramat sangat menyukainya.
Kemudian aku hanya tersenyum simpul, tanpa berniat menjawab atau menjelaskan padanya. Toh dia juga buru-buru setelah menengok jam yang melingkar manis di tangannya. Kemudian dia pergi begitu saja setelah mengucapkan terimakasih atas puisi yang baru saja kubuatkan.
Sepertinya tak hanya sorot mata dan keceriaannya saja. Mulai dari cara tersenyum, cara berbicara dan memperlakukanku, sikap saat menungguku, dan beberapa hal lainnya benar benar mirip dengan seseorang.
Ah, berapa kali pun kau minta bertemu, pasti akan kusanggupi, Mala Renjana.
~bersambung
**********
Baca juga Serenjana Senja dan Serenjana Senja 2 (tulisan berwarna biru bisa di klik loo)



