Saya tercenung agak lama setelah mendengar perkataan dari mbak Elza. Lalu saya coba pandang kembali "rumah tenda-rumah tenda" yang mereka dirikan untuk digunakan sebagai tempat beristirahat dan tempat penampungan sampah yang sudah mereka pilah dan kumpulkan.
Tak lama kemudian, sebuah truk pengangkut sampah mendekat pada kami. Saya bisa melihat dengan jelas wajah sumringah mereka saat sampah itu 'blek' diturunkan didepan mereka. Tak usah menunggu aba-aba, apa lagi menunggu kepastian dari dia yang nggantungin kamu, mereka langsung saja memunguti sampah plastik menggunakan tongkat besi yang sudah sedikit dimodifikasi untuk menusuk dan memisahkan sampah plastik dari kawanannya, lalu memasukkan sampah tersebut dalam keranjang-keranjang lusuh yang mereka siapkan.
"Betapa sesuatu yang hina menurut kita, masih diperebutkan oleh mereka", ucapan mbak Elza terngiang kembali di kepala saya.
Saya menghela nafas pendek. Sebenarnya ingin sekali sekali saya menghela nafas panjang, namun udara dan bau di TPS sepertinya tak memungkinkan bagi saya untuk dapat melakukannya dengan nikmat. Dalam perkara bernafas ini pun, saya menyadari sesuatu. Ah, betapa sangat kurangnya saya bersyukur atas udara segar yang selama ini kami hirup.
"Belum tentu kondisimu lebih baik, nak", ucapan mbak Elza yang baru saja terngiang kembali, berganti menjadi suara yang lain. Entah, itu suara siapa.
"Yang kami perebutkan dan kau sebut sesuatu yang hina hanyalah menurut pandangan matamu saja. Tidakkah kau menyadari? Justru kaulah yang tengah memperebutkan hal yang hina. Sedangkan yang kami lakukan ini hanyalah mencari rizki dan mengharap Ia meridhoi, nak", lanjutnya.
"Tidakkah kau ingat, nak? Bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bertanya pada sahabat sembari tangan beliau memegang telinga bangkai anak kambing, 'Siapa diantara kalian yang berkenan membeli ini seharga satu dirham?'. Begitu murah, namun tak ada yang mau membelinya, nak!. Semua menganggap kambing hina tersebut tak layak untuk dihargai sedemikian rupa."
"Demi Allâh, sungguh, dunia itu lebih hina bagi Allah daripada bangkai anak kambing ini bagi kalian!! Itulah yang kemudian ditegaskan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pada mereka, nak!"
"Sungguh, nak. Yang kami cari hanya rezeki untuk makan sehari-hari, agar kami bisa terus beribadah kepada-Nya dengan baik dan silaturrahmi dengan hamba-hambaNya tetap terjalin rapi. Jarang, bahkan mungkin tak terbersit sedikitpun pikiran dlaam diri kami untuk mencari 'dunia' sebagaimana yang kau cari. Renungkan, nak!"
"Apa tujuanmu sekolah tinggi-tinggi? Untuk merengkuh kenikmatan dunia lebih banyak lagi? Amboi. Ciamik betul cita-citamu, nak!"
"HP yang kau gunakan untuk memotret kami, ah, seberapa mahal itu nak? Katamu, mau membeli hp semahal itu untuk mempermudah pengerjaan amanah yang kau emban, juga mempermudah untuk menulis di blog ini. Padahal kau juga tahu kalau blog ini sepi pengunjung, bahkan yang mengunjunginya pun karena iseng-iseng saja mengklik link yang kau bagi di mana-mana."
"Ah, hidupmu memang enak, nak. Makan gratis, kuliah gratis, menuntut ilmu agama gratis, punya banyak teman-teman yang baik yang sering memberi traktiran gratis, orang tua yang peduli, orang-orang menghargaimu dan masih banyak lagi kenikmatan-kenikmatan yang kau miliki. Tapi tahukah dirimu, nak? Bisa jadi kenikmatan itu adalah kenikmatan akhiratmu yang disegerakan di dunia ini, hingga tak tersisa satupun kenikmatan akhirat yang akan engkau dapati!"
"Sedangkan kami, bolehlah kau pandang sengsara di dunia, namun bisa jadi kelak diakhirat, kami mendapati kenikmatan-kenikmatan yang memang Allah sediakan untuk kami sebagai ganti kenikmatan yang Ia tahan untuk kami di dunia, sehingga kami terlihat sengsara."
"Perkenankan kami bertanya, nak. Jadi siapa yang memperebutkan hal yang hina? Siapa yang lebih hina? Kami atau dirimu nak?"
Suara tersebut berhenti. Saya ingin menangis, namun tak bisa. Benar sepertinya, hati saya sudah mengeras karena terlalu cinta pada dunia, yang lebih buruk dari pada seonggok bangkai kambing sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam.
Duhai. Betapa kau, seorang yang teramat hina, Mustofa!
***
اَللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِيْ دِيْنِنَا وَلَا تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلَا مَبْلَغَ عِلْمِنَا
.
“Ya Allah, janganlah Engkau timpakan musibah dalam kepentingan agama kami. Janganlah engkau jadikan dunia sebagai cita-cita terbesar kami juga akhir dari ilmu kami”


